Status Kejiwaan Ryan Tentukan Pertanggungjawaban Pidana
Berita

Status Kejiwaan Ryan Tentukan Pertanggungjawaban Pidana

Polisi bakal memeriksa kejiwaan tersangka mutilasi dan pembunuhan berantai Verry Idham Henyaksah. Kalau tidak normal, ada dua kemungkinan: sakit jiwa atau kelainan jiwa. Psikologi forensik tak mengenai pembedaan demikian. Pasal 44 KUHP kurang detil menafsirkan.

Nov
Bacaan 2 Menit

 

Bila hukum pidana bisa membedakan sakit jiwa dan kelainan jiwa dari sisi pertanggungjawaban hukum, tidak demikian halnya dengan psikologi forensik. Ketua Asosiasi Psikologi Forensik Seluruh Indonesia, Yusti Prabowo Rahayu menjelaskan, dalam psikologi forensik tidak ada perbedaan mendasar antara kelainan jiwa dan sakit jiwa. Para ahli psikologi forensi lazimnya hanya menggunakan satu terminologi, yakni orang yang bermasalah secara kejiwaan. Memang, kategorinya macam-macam. Ada yang psikopat, schizofren, dan neurosis. Jadi, kita tidak membedakan kategori kelainan jiwa dan sakit jiwa, ujarnya kepada hukumonline melalui sambungan telepon.

 

Pasal 44 KUHP yang mengatur masalah pertanggungjawaban pidana bagi pelaku yang mengalami gangguan kejiwaan, kata Yusti, dapat dipermasalahkan. Sebab, tidak dijelaskan mendetail maksud dan cakupan istilah gangguan kejiwaan. Harusnya gangguan kejiwaan itu didefinisi operasionalkan secara lebih jelas. Agar ada kepastian, tukas Yusti.

 

Menurut Yusti, bagi ahli kesehatan jiwa Pasal 44 itu masih kontradiktif sekali karena hanya berbicara tentang mereka yang terganggu jiwanya. Biasanya putusan pengadilan untuk orang-orang yang terkategorikan seperti Pasal 44 akan dilepaskan dan biasanya di kirim ke rumah sakit jiwa.

 

Problematiknya, bahasa hukum dengan bahasa kesehatan jiwa juga belum sejalan. Definisi antara ahli kesehatan mental, psikolog dan psikiater, dengan orang hukum belum ada satu kata sepakat. Bisa saja yang menurut ahli kejiwaan, orang ini layak dilepaskan dan diberi perawatan, tapi kata orang hukum tidak, tukas pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Surabaya ini.

 

Misalnya, kasus Astini di Jawa Timur yang memotong-motong anak tetangganya. Kita melihatnya sebagai orang yang bermasalah juga, dalam artian psikopat. Tapi, dari sisi hukum orang akan melihat keanehan, pelaku sudah membunuh kok tetap dilepaskan. Kemudian, Robot Gedek yang suka memperkosa anak kecil.

 

Pandangan Rudy tentang ada unsur kehendak untuk bertindak dengan bebas sehingga tindak pidananya dapat dipertanggungjawabkan, ditepis Yusti. Inilah bedanya orang hukum dengan ahli jiwa. Pada dasarnya orang yang mempunyai gangguan kejiwaan itu, memang secara sadar melakukan tindak pidana. Hanya saja, psikopat itu adalah orang yang punya gangguan di masalah hubungan sosial. Ia memiliki normanya sendiri. Agresinya kuat dan empatinya rendah. Secara psikologis orang ini bermasalah. Untuk itu, perlu ditelusuri secara individu apa penyebabnya.

 

Kerja Sama dengan Psikolog

Seharusnya antara pihak hukum dengan rumah sakit punya kerja sama yang baik. Jadi, begitu ada pelaku tindak pidanan yang terkategori memiliki gangguan kejiwaan. Harusnya ia masuk ke rumah sakit jiwa dan harus di rawat di bawah supervisi hukum. Itu mestinya. Jangan sampai dia dilepas karena berbahaya bagi masyarakat, harap Yusti.

Tags: