Suap Perkara Lippo Group, Nurhadi Disebut "Cawe-cawe"
Utama

Suap Perkara Lippo Group, Nurhadi Disebut "Cawe-cawe"

Keberatan dengan dakwaan, Doddy akan mengajukan eksepsi.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Nurhadi usai menjalani pemeriksaan di KPK. Foto: RES
Nurhadi usai menjalani pemeriksaan di KPK. Foto: RES
Pemberian uang sejumlah Rp150 juta dari Doddy Aryanto Supeno kepada Panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Edy Nasution ternyata untuk kepentingan perkara anak usaha Lippo Group. Sekretaris MA Nurhadi pun disebut "cawe-cawe" (ikut menangani, red). Hal ini terungkap dalam surat dakwaan Doddy yang dibacakan penuntut umum KPK, Fitroh Rohcahyanto.

Fitroh mengatakan, Doddy bersama-sama Wresti Kristian Hesti, Ervan Adi Nugroho, Hery Soegiarto, dan Eddy Sindoro memberikan uang kepada Edy untuk pengurusan dua perkara niaga, yaitu PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) melawan PT Kwang Yang Motor Co  Ltd (PT Kymco) dan AcrossAsia Limited (AAL) melawan PT First Media Tbk.

"Memberi uang sebesar Rp150 juta kepada Edy dengan maksud agar Edy menunda proses pelaksanaan aanmaning terhadap PT MTP dan menerima pendaftaran peninjauan kembali (PK) AAL meskipun telah lewat batas waktu yang telah ditentukan oleh undang-undang," katanya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (29/6).

Doddy adalah pegawai PT Artha Pratama Anugrah (APT) yang merupakan anak perusahaan dari Lippo Group dengan Presiden Komisaris Eddy Sindoro. Selain PT APT, Lippo Group juga memilki anak perusahaan, yakni PT MTP dengan Direktur Utama Hery Soegiarto dan PT Paramount Enterprise International dengan Presiden Direktur Ervan Adi Nugroho.

Dalam usaha menghadapi beberapa perkara, lanjut Fitroh, Eddy mengangkat Wresti dan Doddy sebagai pegawai PT APT. Wresti ditugaskan untuk melakukan pendekatan dengan pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara, sedangkan Doddy ditugaskan untuk melakukan penyerahan dokumen maupun uang kepada pihak-pihak lain terkait perkara.

Dari beberapa perkara yang dihadapi Lippo Group di PN Jakarta Pusat, dua diantaranya adalah perkara niaga antara PT MTP dengan PT Kymco dan AAL dengan PT First Media. Dimana, untuk penanganan kedua perkara tersebut, Wresti meminta bantuan kepada Edy. Pertama, untuk penundaan aanmaning antara PT MTP melawan PT Kymco.

Fitroh menjelaskan, berdasarkan putusan Singapore International Arbitration Center (SIAC) dalam perkara No.62 tahun 2013 tertanggal 1 Juli 2013, ARB No.178 tahun 2010, PT MTP dinyatakan melakukan wanprestasi dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada PT Kymco sebesar AS$11,1 juta.

Terhadap putusan SIAC, PT MTP belum melaksanakan kewajibannya, sehingga pada 24 Desember 2013, PT Kymco mendaftarkan putusan SIAC itu ke PN Jakarta Pusat agar dapat dieksekusi di Indonesia. PN Jakarta Pusat pun menyatakan bahwa putusan SIAC dapat dieksekusi di Indonesia.

PN Jakarta Pusat melakukan aanmaning kepada PT MTP melalui PN Tangerang agar PT MTP hadir di PN Jakarta Pusat pada 1 September 2015. Atas pemanggilan itu, PT MTP tidak hadir, sehingga PN Jakarta Pusat kembali melakukan pemanggilan kepada PT MTP untuk hadir pada 22 Desember 2015.

Mengetahui adanya panggilan aanmaning, Eddy memerintahkan Wresti untuk mengupayakan penundaan aanmaning. Pada 14 Desember 2015, Wreati menemui Edy di kantor PN Jakarta Pusat. Wresti menyetujui menunda proses aanmaning sampai bulan Januari 2016 dengan imbalan uang sebesar Rp100 juta.

Wresti melaporkan kepada Eddy tentang permintaan Edy. Kemudian, Wresti meminta persetujuan Eddy bahwa uang Rp100 juta akan diminta dari Hery Soegiarto. Eddy pun menyetujuinya. Setelah uang siap, Wresti menyuruh Wawan Sulistiawan mengambil uang Rp100 juta sekaligus menyerahkan kepada Doddy.

Fitroh mengungkapkan, pasca menerima uang Rp100 juta dari Wawan, pada 18 Desember 2015, Doddy membuat janji temu dengan Edy dan sepakat melakukan pertemuan di basement Hotel Acacia, Senen, Jakarta Pusat. "Dalam pertemuan itu, terdakwa menyerahkan uang Rp100 juta itu kepada Edy," ujarnya.

Kedua, terkait pengajuan PK perkara niaga AAL melawan PT First Media. Berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) No.214/Pdt.Sus-Pailit/2013 tanggal 31 Juli 2013, AAL dinyatakan pailit. Putusan itu telah diberitahukan oleh PN Jakarta Pusat kepada AAL pada 7 Agustus 2015.

Sampai batas waktu 180 hari sebagaimana ditentukan dalam Pasal 295 ayat (2) UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, AAL tidak mengajukan upaya hukum PK. Namun, untuk menjaga kredibilitas AAL yang sedang berperkara di Hongkong, Eddy, pada pertengahan Februari 2016, memerintahkan Wresti mengupayakan pengajuan PK ke PN Jakarta Pusat.

Menindaklanjuti perintah itu, menurut Fitroh, pada 16 Februari 2016, Wresti menemui Edy di kantor PN Jakarta Pusat. Wresti meminta agar Edy menerima pendaftaran PK AAL meski waktu pendaftarannya sudah lewat. Atas permintaan tersebut, Edy sempat tidak bersedia dengan alasan waktu pengajuan PK sudah lewat.

"Wresti menawarkan sejumlah imbalan kepada terdakwa dan terdakwa menyetujuinya. Selanjutnya, Wresti melaporkan kepada Eddy. Lalu, Eddy menyampaikan, uang akan disediakan oleh Ervan. Lantas, pada 2 Maret 2016, AAL mendaftarkan permohonan PK di PN Jakarta Pusat dan diterima oleh Edy," terangnya.

Edy memproses PK AAL dengan mengirimkan pemberitahuan pendaftaran PK kepada pihak termohon. Kemudian, pada 30 Maret 2016, berkas PK AAL dikirim ke MA, dimana sebelumnya, Edy mendapat telepon dari Sekretaris MA Nurhadi. Edy diminta Nurhadi untuk segera mengirimkan berkas PK AAL ke MA.

Pada 11 April 2016, Ervan menghubungi Wresti dan menyampaikan bahwa uang untuk Edy sudah bisa diambil. Wresti memerintahkan Wawan mengambil uang untuk diserahkan kepada Doddy. Pada 18 April 2016, Doddy menerima uang Rp50 juta dari Wawan. Rencananya, uang itu akan diserahkan hari itu juga kepasa Edy.

Akan tetapi, Edy berhalangan, sehingga disepakatilah penyerahan uang dilakukan pada Rabu, 20 April 2016 pukul 10.00 WIB di Hotel Acacia, Senen, Jakarta Pusat. Akhirnya, Doddy menyerahkan uang Rp50 juta dalam paper bag motif batik kepada Edy di basement Hotel Acacia. Sesaat setelah penyerahan, Doddy dan Edy ditangkap petugas KPK.

Fitroh menganggap, perbuatan Doddy bersama-sama Wresti, Ervan, Hery, dan Eddy memberikan uang yang seluruhnya berjumlah Rp150 juta kepada Edy bertentangan dengan kewajiban Edy selaku pegawai negeri MA sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 angka 8 Peraturan Pemerintah (PP) No.53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Selain itu, bertentangan pula dengan Pasal 5 ayat (2) huruf a, b, dan g Keputusan Sekretaris MA No.008-A/SEK/SK/I/2012 tentang Aturan Perilaku Pegawai MA yang isinya, antara lain melarang melakukan korupsi, serta melarang pegawai MA menyalahgunakan wewenangnya dengan tujuan memperkaya/menguntungkan diri sendiri/pihak lain.

Atas perbuatannya, Doddy dijerat dengan menggunakan dakwaan alternatif. Doddy didakwa melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor jo Pasal 65 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 65 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Menanggapi dakwaan penuntut umum, Doddy akan mengajukan nota keberatan atau eksepsi. Usai sidang, Doddy tidak mengeluarkan sepatah kata pun mengenai perkara yang melilitnya. Doddy langsung menyambangi keluarga dan para kerabatnya yang menunggu di kursi pengunjung. Terlihat Doddy menitikan air mata.

Pengacara Doddy, Ani Andriani menyatakan, peran kliennya hanya sedikit dalam perkara ini. "Tadi jelas di dakwaan, nama Doddy sedikit saja disebutkan dalam dakwaan. Nanti biar dilihat di keberatan kami tanggal 11 Juli 2016", tuturnya. Ketika ditanyakan, apa peran Doddy lebih sebagai perantara, Ani menjawab, "Dilihat saja keberatan tanggal 11".
Tags:

Berita Terkait