Suap Rp6,234 M Nyaris Tak Terbukti, Hakim Gunakan Pasal Lain
Berita

Suap Rp6,234 M Nyaris Tak Terbukti, Hakim Gunakan Pasal Lain

Hakim gunakan dakwaan primair kedua untuk buktikan penerimaan uang Rp6,234 miliar.

NOV
Bacaan 2 Menit
Jamalueddin Malik di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES
Jamalueddin Malik di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES
Perbuatan mantan Direktur Jenderal Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi (Dirjen P2KTrans) pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jamaluddien Malik yang menerima uang sejumlah Rp6,234 miliar nyaris tidak terbukti. Sebab, ada salah satu unsur dalam pasal yang digunakan penuntut umum KPK untuk mendakwa perbuatan Jamaluddien tidak terpenuhi.

Jamaluddien didakwa melakukan dua perbuatan korupsi secara kumulatif. Untuk pemerasan Rp6,234 miliar, Jamaluddien didakwa Pasal 12 huruf e UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, dan untuk penerimaan hadiah atau janji Rp14,65 miliar, Jamaluddien didakwa Pasal 12 huruf a UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Keduanya disubsidairkan dengan Pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Penuntut umum menggunakan Pasal 12 huruf e UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP untuk mendakwa perbuatan Jamaluddien yang menerima uang Rp6,234 miliar. Dimana, salah satu unsurnya adalah “Memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri”.

Namun, majelis hakim yang diketuai Mas’ud berpendapat, unsur “Memaksa dst..” itu tidak terpenuhi, meski unsur-unsur sebelumnya, seperti unsur “Pegawai negeri atau penyelenggara negara”, “Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain”, dan “Secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya” telah terpenuhi dan ada dalam perbuatan Jamaluddien.

Walau begitu, majelis tetap meyakini bahwa penerimaan uang sejumlah Rp6,234 miliar telah terbukti, sehingga perbuatan itu dikualifikasikan ke dalam Pasal 12 huruf a UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Padahal, pasal itu merupakan pasal yang digunakan penuntut umum untuk mendakwa perbuatan kedua Jamaluddien, yaitu menerima hadiah atau janji Rp14,65 miliar.

Dalam pertimbangannya, hakim anggota Anwar mengatakan, setelah Jamaluddien menandatangani Petunjuk Operasional Kegiatan (POK) pada Ditjen P2KTrans Tahun Anggaran (TA) 2013, Jamaluddien mengadakan pertemuan dengan pejabat eselon II pada Ditjen P2KTrans, yakni Achmad Said Hudri, Arif Pribadi, Aloysius Eko Hascaryanto, Sodiq, Conrad Hendarto, dan Asyad Nurdin.

Jamaluddien menyampaikan kepada para pejabat eselon II, ada kebutuhan Ditjen yang harus ditanggung masing-masing direktorat. Pelaksanaannya akan dikoordinir oleh Achmad Said selaku Sesditjen. Sebelum pelaksanaan kegiatan tersebut, Jamaluddien memanggil Achmad Said, Abdul Hadi, dan Sudarso.

Kemudian, Jamaluddien meminta mereka untuk menyetorkan uang kepadanya paling sedikit Rp50 juta dengan cara memerintahkan kepada seluruh PPK pada Ditjen P2KTrans untuk melakukan pemotongan anggaran tahun 2013 pada masing-masing Direktorat dan Sekretariat Ditjen P2KTrans. Adapun teknis dan jumlah pemotongan dikoordinir oleh Achmad Said.

Menindaklanjuti perintah Jamaluddien, Achmad Said meminta para PPK melakukan pemotongan dua sampai lima persen dari beberapa mata anggaran TA 2013. Modus semacam ini juga dilakukan Jamaluddien pada TA 2014. Apabila diakumulasikan, baik dari TA 2013 maupun 2014, maka telah terkumpul dana yang berasal dariPPK melalui Sudarso dan Syafruddindengantotal Rp6,234 miliar.

Namun, menurut Anwar, tidak seluruh uang Rp6,234 miliar dinikmati Jamaluddien. “Juga dipergunakan oleh Achmad Said Hudri sebesar Rp30 juta, I Nyoman Suisnaya Rp147,5 juta, Dadong Irbarelawan Rp50 juta, dan khusus kepada Muhaimin Iskandar (kala itu Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi) sebagaimana keterangan saksi Sudarso, ada penerimaan sebesar Rp400 juta,” ujarnya.

Perbuatan Jamaluddien melalui Ahcmad Said yang meminta para PPK melakukan penyetoran hasil pemotongan beberapa mata anggaran TA 2013 dan 2014 ini dianggap majelis adalah perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU No.17 Tahun 2003, Pasal 3 ayat (3) UU No.1 Tahun 2004 dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Atas dasar itu, majelis berpendapat, unsur “Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain” dan “Secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya” telah terpenuhi. Akan tetapi, tidak begitu dengan unsur “Memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri”.

“Bahwa dalam aplikasinya terjadi penekanan-penekanan PPK yang dilakukan Achmad Said Hudri selaku orang yang ditunjuk sebagai koordinator dan seolah-olah penekanan itu sebagai perintah terdakwa. Maka, majelis berpendapat penekanan dan pemaksaan itu dilakukan oleh Achmad Said Hudri, bukan oleh terdakwa. Dengan demikian, unsur ‘memaksa seseorang dst’ tidak terpenuhi,” terang Anwar.

Meski dakwaan primair kesatu dianggap tidak terbukti, majelis tetap berpendapat Jamaluddien telah menerima pemberian dari para pejabat di lingkungan Ditjen P2KTrans melalui Sudarso dan Syafruddin sebagaimana terungkap di persidangan. Untuk itu, majelis mempertimbangkan penerimaan Rp6,234 miliar itu dalam pertimbangan unsur-unsur dakwaan primair kedua.

Dalam pertimbangan dakwaan primair kedua, Jamaluddien dianggap terbukti menerima fee Rp14,65 milar dari Kepala Dinas yang membidangi transmigrasi atau calon rekanan dalam pengadaan barang/jasa yang akan dibiayai dari dana Tugas Pembantuan TA 2014. Dari uang Rp14,65 miliar, sebagian diberikan kepada pihak lain, sisanya Rp4,48 miliar digunakan untuk kepentingan Jamaluddien.

"Diberikan kepada Charles Jones Mesang (anggota Komisi IX DPR) melalui Achmad Said Hudri, sekira bulan November sampai dengan Desember 2013 sejumlah  Rp9,75 miliar yang ditukarkan dalam bentuk dollar Amerika Serikat sebagai wujud realisasi komitmen 6,5 persen dari jumlah dana optimalisasi. Kemudian, sebagian diberikan kembali kepada Achmad Said Hudri sejumlah AS$20 ribu," tutur Anwar.

Selanjutnya, ada pula uang yang diberikan Jamaluddien kepada Achmad Said sejumlah Rp200 juta, Syafruddin Rp115 juta, dan Dadong Rp105 juta. Anwar menambahkan, selain itu, sebagaimana yang telah majelis pertimbangkan dalam dakwaan primair kesatu, Jamaluddien juga telah menerima setoran dari para PPK di Ditjen P2KTrans untuk TA 2013 dan 2014 yang dikumpulkan Sudarso dan Syafruddin dengan total Rp6,234 miliar.

Dengan demikian, semua unsur dalam dakwaan primair kedua telah terpenuhi. Ketua majelis hakim, Mas’ud menyatakan Jamaluddien terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan primair kedua. “Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa selama enam tahun dan denda Rp200 juta subsidair satu bulan kurungan,” ucapnya.

Jamaluddien juga dihukum untuk membayar uang pengganti sebesar Rp5,417 miliar. Apabila uang pengganti tersebut tidak dibayar paling lambat satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta benda Jamaluddien akan disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti. Jika tidak mencukupi, maka Jamaluddien dipidana penjara selama satu tahun.

Selain itu, dalam amar putusan, Mas’ud menyatakan bahwa pemblokiran terhadap perpanjangan Surat Tanda Kendaraan Bermotor (STNK) Mobil Pajero Sport Dakkar tahun 2012 dengan nomor polisi  B 150 JMK di Samsat Polda Metro Jaya harus dibuka. Atas putusan majelis, penuntut umum dan Jamaluddien masih pikir-pikir untuk mengajukan banding. “Setelah konsultasi dengan penasihat hukum, pikir-pikir,” tandas Jamaluddien.
Tags:

Berita Terkait