Sudah 6 Korporasi Jadi Tersangka Setelah Perma No. 13 Tahun 2016
Berita

Sudah 6 Korporasi Jadi Tersangka Setelah Perma No. 13 Tahun 2016

KPK terus mengawasi dan melakukan intervensi dalam pengelolaan Sumber Daya Alam. Potensi kerugian negara akibat korupsi di sector SDA sangat besar.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

Kehadiran Perma ini memudahkan penanganan perkara korupsi terutama di sektor sumber daya alam. Apalagi korupsi di sektor ini multikompleks, tak mudah diungkap, dan dampaknya besar bukan hanya terhadap masyarakat sekitar tetapi juga terhadap negara. “Korupsi SDA sangat massif, menyandera kepentingan negara,” kata mantan hakim agung, Rehngena Purba.

Dari hasil pengembangan kasus alih fungsi hutan di Riau, KPK telah menetapkan PT PS sebagai tersangka korporasi. Korporasi ini diduga memberikan suap kepada (eks) Gubernur Riau Annas Maamun terkait pengajuan revisi alih fungsi hutan. Perbuatan PT PS diduga memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Budiman Ginting memberikan dukungan atas penerapan Perma No. 13 Tahun 2016. Sebelum Perma ini, penuntutan terhadap korporasi menggunakan Peraturan Jaksa Agung No. 28 Tahun 2014. Lahirnya Perma No. 13 Tahun 2016, kata Guru Besar Fakultas Hukum USU itu mengisyaratkan kehendak kuat Mahkamah Agung untuk memperbarui sistem pertanggungjawaban pidana koruporasi, terutama mempertajam hubungan antara pembuktian kesalahan korporasi dengan perbuatan atau dampak perbuatan pengurus korporasi. “Adanya kesalahan merupakan unsur mutlak yang bisa mengakibatkan korporasi dimintai pertanggungjawaban pidana,” ujar Budiman.

(Baca juga: Seluk Belum Penghukuman Korporasi Sebelum dan Sesudah PERMA).

Budiman menunjuk ketentuan Pasal 4 ayat (2) Perma. Di sini, diatur bahwa hakim dapat menilai kesalahan korporasi sebelum menjatuhkan putusan pidana melalui beberapa aktivitas. Pertama, korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut, atau tindak pidana dilakukan untuk kepentingan korporasi. Kedua, korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana. Ketiga, korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.

Tags:

Berita Terkait