Surat Telegram Kapolri Dinilai Langgar Hak Kebebasan Berpendapat
Utama

Surat Telegram Kapolri Dinilai Langgar Hak Kebebasan Berpendapat

Kapolri diminta segera merevisi dan menghapus peraturan yang mengancam kebebasan berekspresi, khususnya penghinaan presiden dan pejabat. Komnas HAM mengusulkan pihak yang melanggar terkait penanganan Covid-19, sanksinya bisa denda dan kerja sosial, bukan pidana.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Usman menilai Surat Telegram itu bertentangan dengan rencana pemerintah untuk membebaskan 30 ribu tahanan demi menekan penyebaran Covid-19. Hal ini akan memperburuk situasi penjara yang penuh, apalagi jika wabah ini belum berhasil dikendalikan. Karena itu, Usman berpendapat Surat Telegram ini justru berpotensi meningkatkan jumlah orang yang masuk penjara atas tuduhan penyebaran berita palsu dan penghinaan terhadap Presiden ataupun pejabat negara.

 

Menurut Usman, banyak lapisan masyarakat yang dirugikan oleh kebijakan pemerintah yang sejak awal mengabaikan dampak negatif penyebaran wabah Covid-19. Pelaksanaan Surat Telegram Kapolri itu akan membuat orang yang tadinya ingin memberi pendapat, malah menjadi takut bersuara karena ancaman hukuman pidana

 

“Tanpa saran dan kritik, pemerintah akan semakin kesulitan untuk mengetahui apa yang perlu diperbaiki dalam menangani wabah,” ujarnya.

 

Terakhir, Usman mendesak pemerintah atau Kapolri untuk segera merevisi dan menghapus peraturan yang mengancam kebebasan berekspresi. Terutama menghapus pasal karet yang terdapat dalam KUHP dan UU ITE. Amnesty International Indonesia mencatat sampai saat ini sedikitnya 13 orang ditangkap karena dituduh menyebarkan berita bohong dan menyesatkan terkait Covid-19.

 

Bukan sanksi pidana

Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam mengatakan kritik yang ditujukan terhadap kebijakan pemerintah pada dasarnya dilindungi konstitusi, dan aparat kepolisian tidak boleh membatasinya dengan dalih Covid-19. Namun, kalau berita bohong atau hoax sangat membahayakan semua pihak.

 

“Kritik kebijakan penting dalam situasi apapun, bahkan dalam kondisi darurat ini. Karena akan menguji apakah kebijakan yang telah diambil tepat atau tidak,” kata Anam ketika dihubungi, Selasa (7/4/2020).

 

Anam melihat akar persoalannya yakni kebijakan yang diterbitkan pemerintah tidak solid. Padahal yang dibutuhkan saat ini pencegahan yang maksimal untuk mencegah jatuhnya banyak korban. Misalnya, imbauan untuk tidak berkumpul dan berkerumun, seharusnya diterjemahkan lebih jelas dan detail dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri Kesehatan.

Tags:

Berita Terkait