Tantangan KPPU dalam Melaksanakan Fungsinya di Era Teknologi Informasi
Terbaru

Tantangan KPPU dalam Melaksanakan Fungsinya di Era Teknologi Informasi

Bisnis digital yang kian berkembang harus diselaraskan dengan pembentukan regulasi yang cepat dan tepat, serta meningkatkan kapasitas pengawasan melalui penguasaan teknologi, agar bisa memahami konsep penyelenggaraan bisnis digital.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 7 Menit
Ilustrasi Era Teknologi Informasi. Foto: Freepik.
Ilustrasi Era Teknologi Informasi. Foto: Freepik.

Dalam Rapat Terbatas (Ratas) mengenai Hilirisasi Ekonomi Digital yang dipimpin oleh Presiden Jokowi disampaikan ekonomi digital pada tahun 2030 diprediksi tumbuh hingga delapan kali lipat di tahun 2030. Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyatakan pertumbuhan ekonomi digital ini dari Rp632 triliun menjadi Rp4.531 triliun, di mana e-commerce akan memerankan peran yang sangat besar, yaitu 34% atau setara dengan Rp1.900 triliun.

Hal serupa juga ditegaskan kembali oleh Yudho Taruno Muryanto, Dosen Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Beliau menerangkan pada tahun 2020, valuasi ekonomi digital Indonesia mencapai US$ 44 miliar meningkat 11% dibandingkan tahun 2019, atau sekitar 40% dari total valuasi ekonomi digital kawasan Asia Tenggara. Beliau menambahkan, valuasi pasar unicorn dan decacorn Indonesia juga mendominasi dunia startup Asia Tenggara. Adapun startup Indonesia bergerak di berbagai bidang seperti e-commerce, transport and food, online travel, financial services, pendidikan dan kesehatan.

Menurut Yudho, terdapat beberapa faktor yang mendorong pesatnya pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia. Pertama, Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar dengan total jumlah penduduk mencapai 270,20 juta jiwa dan penetrasi internet yang cukup tinggi. Kedua, pertumbuhan middle class tinggi, dapat menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi digital. Masyarakat kelas menengah memiliki tren perilaku dan preferensi belanja dan transaksi online di Indonesia.

Adapun menurut Asep Ridwan selaku Ketua Indonesian Competition Lawyers Association (Asosiasi Advokat Persaingan Usaha Indonesia), istilah ekonomi digital diperkenalkan oleh Don Tapscott pada tahun 1995 dalam bukunya berjudul The Digital Economy. Pada prinsipnya digital economy adalah kegiatan ekonomi yang berbasis digital internet. Dengan kata lain, konsep penyelenggaraan ekonomi digital ini bertumpu pada pemanfaatan teknologi dalam berbagai kegiatan usaha.

Salah satu satu ciri khas model ekonomi digital yang berkembang saat ini adalah sharing economy, sehingga kita melihat berbagai perusahaan ekonomi digital bekerja sama dengan banyak pihak terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (“UMKM”), di mana perusahaan digital bertindak sebagai penghubung antara supplier dengan customer. Yang menarik, karena kegiatan ekonomi dilakukan secara digital, perusahaan-perusahaan digital melakukan pengumpulan data pribadi kepada setiap member dalam jumlah yang besar (big data). Semakin banyak member yang terdaftar pada perusahaan digital tersebut, semakin memberikan daya tarik tersendiri bagi pihak lain termasuk para pengiklan (network effect). Terakhir, Asep menambahkan model bisnis digital juga bersifat borderless, dalam arti lintas transaksinya sudah melewati batas-batas negara.

Namun dalam pelaksanaannya, pertumbuhan bisnis digital ini berpotensi menimbulkan ragam persoalan lainnya. Asep menerangkan, persoalan-persoalan yang berpotensi muncul menyangkut isu perlindungan data pribadi, karena umumnya perusahaan digital mengumpulkan data pribadi para member-nya. Isu lainnya terkait perlindungan konsumen, seperti misalnya apabila barang tidak kunjung dikirim, barang yang dikirim tidak sesuai, dan lain-lain. Selain itu, kegiatan ekonomi digital juga dapat berpotensi menyangkut isu persaingan usaha.

Isu persaingan usaha juga berpotensi muncul di era ekonomi digital antara lain seperti isu extra-teritorialitas, mengingat kegiatan perdagangan di era ekonomi digital bersifat lintas batas negara. Akan menjadikan isu yang menarik mengenai perluasan kewenangan otoritas persaingan usaha yang sifatnya bukan hanya bersifat domestik tetapi juga bisa menjangkau ke negara lain terhadap pelaku usaha yang memberikan dampak pada pasar di Indonesia. Begitu juga dengan isu-isu lain yang mungkin berkaitan dengan larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, meskipun perlu melibatkan proses pembuktian yang tidak sederhana dan cenderung melibatkan banyak sisi

(multi-sided).

Pengawasan Bisnis Digital oleh KPPU

KPPU merupakan lembaga yang unik karena memiliki dua kewenangan yang diberikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“UU 5/1999”) dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (“UU UMKM”). Sebagai suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain, KPPU diberikan kewenangan berdasarkan UU 5/1999 untuk mengawasi persaingan usaha antar pelaku usaha. Sementara itu, UU UMKM memberikan kewenangan KPPU untuk mengawasi pelaksanaan kemitraan seperti yang telah ditegaskan dalam Pasal 36 ayat (2) UU UMKM. Bahkan, di KPPU sendiri telah terdapat Direktorat Kemitraan untuk menindak pelanggaran kemitraan.

Dalam praktiknya, kini tidak bisa dipungkiri, baik kewenangan mengawasi persaingan usaha maupun mengawasi pelaksanaan kemitraan dengan UMKM, keduanya bersentuhan dengan ekonomi digital. Terkait pengawasan bisnis digital ini, menilik ketentuan yang diatur oleh UU UMKM, pelaku UMKM memiliki kedudukan mitra yang setara dengan usaha besar, yakni misalnya pelaku usaha penyedia teknologi. Untuk itu, usaha besar dilarang memiliki atau menguasai UMKM sebagai mitra usahanya.

Akan tetapi, perlu dipahami, hubungan hukum antar pelaku usaha dalam praktik dilandasi oleh adanya perjanjian yang tunduk pada ketentuan hukum perdata. Meski demikian, Yudho kembali menjelaskan, Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) menyebutkan adanya 4 syarat sahnya perjanjian, salah satunya suatu sebab yang tidak terlarang, di mana sebab itu dilarang oleh undang-undang, bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum seperti yang disebutkan dalam Pasal 1337 KUH Perdata.

Yudho menegaskan, meskipun termasuk sebagai ranah keperdataan, tapi jangan sampai dalam konteks perjanjian yang dilarang menurut undang-undang. Apabila perjanjian tersebut patut diduga melanggar ketentuan persaingan usaha, maka KPPU berwenang untuk menindak.

Sebagai informasi, dikutip dari Laporan Tahunan KPPU Tahun 2020, sepanjang tahun 2020 terdapat 13 laporan dugaan pelanggaran persaingan usaha yang masuk. Dari jumlah ini, 12 di antaranya merupakan laporan pelanggaran persaingan usaha dan 1 laporan pelanggaran kemitraan dengan persentase laporan ditutup sebesar 69%, laporan ditindaklanjuti dengan penyelidikan 23%, dan laporan ditindaklanjuti hingga pemeriksaan 8%. Atas laporan ini bisa diambil simpulan bahwa tidak semua laporan akan ditindaklanjuti, bahkan sebagian besar laporan tersebut ditutup.

Kemudian perlu dipahami, pada saat KPPU menjalankan tugasnya, terdapat prinsip per se illegal dan rule of reason. Untuk per se illegal secara tegas diatur normanya, sedangkan rule of reason menunggu akibat dari kegiatan bisnis tersebut. Jika kita melihat pertumbuhan bisnis digital itu kompleks, cepat, melibatkan banyak pihak, serta jaringan luas, namun sayangnya menurut Yudho seringkali regulasi itu tidak dapat mengikuti petumbuhan bisnis digital dengan cepat, dan memang regulasi yang mengatur spesifik mengenai bisnis digital belumlah banyak.

Selain regulasi, kewenangan KPPU terkait cakupan wilayah juga jadi faktor lain. Sebagaimana disebutkan Pasal 1 angka 5 UU 5/1999, hanya ditunjukkan bagi pelaku usaha yang didirikan dan melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Padahal yang namanya bisnis digital itu tidak mengenal batas dan yurisdiksi, bisa saja kita berinteraksi dengan pelaku usaha di luar negeri. Oleh sebab itu, akan menjadi persoalan, apakah definisi pelaku usaha dalam UU 5/1999 bisa menjangkau mereka yang berada di luar Indonesia?

Selanjutnya, tentang penentuan subjek hukum dalam bisnis digital, harus jelas apakah subjek itu merupakan pelaku usaha atau konsumen. Misalnya dalam pola business to business, business to consumer, atau consumer to consumer, siapa saja subjeknya? Artinya, diperlukan kejelasan siapa saja para pihak yang terlibat dalam bisnis digital, sebab mengingat domain KPPU adalah para pelaku usaha, dan bukan mencakup konsumen. Ini perlu digarisbawahi agar definisi yang dimaksud tidak bertabrakan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Terakhir, Yudho mewanti-wanti adanya monopoli digital yang dilakukan platform besar yang mengintegrasikan beberapa platform sekaligus, di mana provider akan dapat mengendalikan atau mengontrol provider lainnya, dan berpotensi akan timbulnya penguasaan pasar.

Sementara Asep berpendapat, KPPU mempunyai peranan strategis dalam melakukan pengawasan kegiatan ekonomi digital, namun KPPU juga perlu building capacity termasuk dari segi penguasaan teknologi untuk mengawasi perkembangan kegiatan ekonomi digital. Namun demikian, KPPU juga tetap perlu secara obyektif memperhatikan dampak positif dari era ekonomi digital di mana terlihat terdapat efisiensi sehingga harga-harga lebih kompetitif. Jumlah pemain yang berada di platform digital juga banyak, sehingga terdapat banyak pilihan bagi customer. Lebih lanjut, kehadiran bisnis digital juga membuka peluang untuk mendapatkan penghasilan bagi masyarakat. Oleh karena itu, otoritas persaingan usaha tetap perlu berhati-hati dan objektif dalam mengawasi kegiatan usaha ekonomi digital agar tidak bersifat kontraproduktif. Hukum persaingan usaha tidak melarang perusahaan untuk tumbuh semakin besar sepanjang dilakukan sesuai ketentuan hukum yang berlaku termasuk hukum persaingan usaha.

Sebagai gambaran akan penegakan hukum pengawasan bisnis digital, Asep kemudian mencontohkan klausul most favored nation (“MFN”) yang diterapkan platform marketplace Amazon. Klausul ini melarang perusahaan retail pihak ketiga untuk menawarkan produk lebih murah di platform lain dibandingkan dengan yang ditawarkan di Amazon. Otoritas persaingan Jerman kemudian khawatir jika klausul ini dapat mengurangi persaingan antar online marketplace, menghalangi pelaku usaha potensial masuk ke pasar, dan mempengaruhi harga yang ditetapkan penjual di platform. Pada Agustus 2013, Amazon akhirnya memutuskan untuk menghapus klausul ini. Otoritas persaingan Jerman lalu menutup penyelidikan kasus ini pada November 2013.

Strategi Pengawasan Bisnis Digital oleh KPPU

Guna menegakkan fungsi pengawasan KPPU khususnya terkait bisnis digital, KPPU perlu memahami karakteristik bisnis atau industri ekonomi digital agar dapat mengeluarkan kebijakan atau keputusan yang tepat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Asep menegaskan, “Otoritas juga jangan memaksakan adanya perkara apabila selama ini kegiatan ekonomi digital tumbuh secara positif, mampu memberikan efisiensi serta menimbulkan dampak positif lainnya terhadap banyak pihak (kolaborasi).”

Kedua, KPPU juga dapat melakukan pengawasan terhadap pola-pola kemitraan dalam bisnis digital, supaya dalam pola relasi antara perusahaan besar dengan perusahaan kecil, termasuk perusahaan digital dengan para mitranya yakni UMKM bisa berjalan secara seimbang.

Lain halnya menurut Yudho, pertama, kedudukan KPPU perlu diperkuat terkait kewenangannya melakukan penyelidikan dan pemeriksaan saja, sehingga seharusnya KPPU bisa memiliki kewenangan lebih.

Kedua, harus ada kerja sama KPPU dengan instansi terkait, misalnya jikalau bisnis digital tentu berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika, khususnya pengaturan tentang data seperti kedaluwarsa, data pribadi, dan data-data lainnya yang memiliki nilai ekonomi. Selanjutnya, koordinasi dengan Kementerian Perdagangan mencakup jenis-jenis kegiatan usaha yang bisa terkategorikan ranah bisnis digital. Serta termasuk pula Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, yang mana UMKM bukan hanya semata-mata menggolong-golongkan kriteria usaha, karena apabila telah memasuki digitalisasi, batasan-batasan tersebut menjadi kabur.

Koordinasi antar instansi terkait ini adalah penting dilakukan agar pembentukan regulasi di kemudian hari menjadi lebih tepat, baik mencakup merumuskan siapa saja para pihak yang terlibat hingga bagaimana konsep bisnis digital itu sendiri.

 

Catatan:

Tim publikasi Hukumonline telah melakukan wawancara dengan Dr. Yudho Taruno Muryanto, S.H., M.H., Dosen Hukum Bisnis FH Universitas Sebelas Maret, pada 27 Juli 2021, dan dengan Asep Ridwan, S.H., M.H., Ketua Indonesian Competition Lawyers Association (ICLA), pada 29 Juli 2021.

Tags: