Teguh Maramis: Partner yang Komentator Bola
Profil

Teguh Maramis: Partner yang Komentator Bola

Dengan latar-belakang pendidikan hukumnya, Teguh mampu memberikan sentuhan berbeda.

Oleh:
RZK
Bacaan 2 Menit
Foto: www.lsmlaw.co.id
Foto: www.lsmlaw.co.id

Ada pandangan miris yang mengatakan komentator sepakbola kita justru lebih jago dibandingkan pemain sepakbola nasional. Bahkan, ada yang dengan lebih miris mengatakan Indonesia justru akan berbicara banyak di kancah internasional apabila ada kompetisi komentator.

Adanya pandangan-pandangan miris tersebut sangat mungkin berpangkal pada rasa pesimis masyarakat Indonesia yang sudah sangat lelah menunggu tim nasional Indonesia berprestasi. Biaya dan tenaga yang telah dikeluarkan sepertinya tidak ada artinya karena belum satu trophy pun bertambah di kantor PSSI, bahkan di tingkat ASEAN sekalipun.

Terlepas dari itu semua, seiring dengan maraknya tayangan sepakbola di stasiun televisi nasional, komentator-komentator handal memang mulai bermunculan. Sebut saja M. Kusnaeni, Rayana Djakasurya, Ronny Pattisarani, dan nama-nama lain. Mereka umumnya adalah wartawan olahraga atau mantan pemain sepakbola.

Namun, di tengah-tengah para komentator yang latar-belakangnya memang bersentuhan atau setidaknya pernah bersentuhan dengan dunia sepakbola, 'terselip' seorang pengacara bernama Teguh Irianto Maramis. Ia kini tercatat sebagai Partner pada kantor pengacara Dewi Soeharto Maramis & Partners.

Perkenalan Teguh dengan dunia komentator sepakbola bisa dikatakan 'berbau' kebetulan karena tawaran pertama untuk menjadi komentator justru datang dari teman-temannya sendiri. Ketika itu, mereka yang kebetulan bekerja di RCTI menawarkan Teguh menjadi komentator untuk perhelatan Piala Dunia 1990 di Italia. Sayangnya, dengan alasan ingin berkonsentrasi di karir pengacara, Teguh menampik tawaran tersebut.

Tak patah arang, selang 13 tahun kemudian, teman-temannya yang kini telah eksodus ke SCTV kembali menawarkan Teguh untuk menjadi komentator Liga Italia Seri A pada tahun 2003. Kali ini tanpa pikir panjang, Teguh akhirnya menerima tawaran tersebut.

Pada awal kiprahnya, Teguh mengaku sebenarnya tidak terlalu 'pede' menjadi komentator Liga Italia karena ia sebenarnya tidak fasih tentang Liga Italia. Sejak kecil, Teguh yang mengidolakan Liverpool, terlanjur jatuh cinta dengan Liga Inggris. Namun demi menjalankan tugas, Teguh yang mengaku belum pernah berhadapan dengan kamera televisi sebelumnya, akhirnya mulai mempelajari seluk-beluk Liga Italia. Referensi utama Teguh selain majalah dan buku adalah internet.

Bermodalkan referensi bacaan yang lengkap serta dukungan moril dari awak SCTV yang notabene juga temannya, debut Teguh ternyata cukup memuaskan. Komentar dan analisanya dinilai cukup tajam dan informatif. Dalam waktu singkat, Teguh mampu mensejajarkan diri dengan komentator-komentator ternama, dan kini menjadi andalan SCTV untuk tayangan-tayangan sepakbola, termasuk Piala Dunia 2006 di Jerman.

Dengan latar-belakang pendidikan hukumnya, Teguh bahkan mampu memberikan sentuhan berbeda. Dalam analisa-analisanya, Teguh mencoba menampilkan perspektif lain seperti aturan-aturan pertandingan yang dikeluarkan FIFA ataupun peran wasit dalam suatu pertandingan.

"Wasit di pertandingan kadang-kadang analoginya sedikit mirip dengan peran hakim karena yang akhirnya dituju adalah keadilan, bukan setiap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan," tutur Teguh.

Seorang wasit seperti halnya seorang hakim, menurut Teguh, harus menunjukkan ketegasan di lapangan serta memiliki pemahaman yang komprehensif dan tidak sepotong-potong dalam menilai suatu peristiwa. Apabila diperlukan, wasit sama seperti hakim memiliki diskresi untuk melakukan kompromi selama hal itu masih dalam koridor aturan-aturan yang telah ditetapkan. 

Selama menjadi komentator, Teguh harus pintar-pintar membagi waktu karena biar bagaimanapun profesi utama yang ia geluti adalah pengacara. Sebelum bertugas menjadi komentator, Teguh biasanya meluangkan waktu yang cukup lama sekitar 3-4 jam untuk memperkaya pengetahuan atau wawasan mengenai kompetisi atau klub yang akan disiarkan.

"Jadi kalau pertandingannya malam, sore saya sudah baca, saya bikin catatan-catatan sendiri, punya format sendiri walaupun mungkin pas siaran tidak selalu digunakan," tuturnya lagi.  

Gandrung sepakbola
Di balik sejarah karier Teguh sebagai komentator, sepakbola sebenarnya dapat dikatakan sebagai 'setengah' dari jiwa kehidupan Teguh. Kepada hukumonline, Teguh menceritakan ia menggandrungi sepakbola sejak kecil. Ketika itu, dengan informasi yang tidak sebanyak sekarang, Teguh kecil harus bersusah payah hanya untuk mendapatkan informasi tentang perkembangan sepakbola.

"Jadi kalau kita mau dapat informasi sepakbola kita dapatnya dari video yang dipinjamkan dari temen-temen, atau kita cuma nonton pertandingan-pertandingan yang disiarkan sama TVRI," kata Teguh, yang ketika dihubungi hukumonline via telepon (28/6) sedang berada di Jerman.

Kegemaran Teguh akan sepakbola berlanjut ketika ia duduk di bangku SMP dan SMA. Teguh yang kebetulan memiliki orang tua yang juga gemar sepakbola, aktif di ekstra kurikuler sepakbola. Teguh yang merupakan alumni SMA 3 Jakarta, bahkan pernah turut berpartisipasi membela sekolahnya di Mahakam Cup, ajang kompetisi sepakbola antar SMA se-Jakarta.

Saking gilanya dengan sepakbola, Teguh dalam beberapa perhelatan Piala Dunia rela terbang ke negara penyelenggara hanya untuk menonton langsung aksi pemain-pemain sepakbola kelas dunia. Sejak Piala Dunia 1990 di Italia hingga Piala Dunia 2006 di Jerman, Teguh yang selalu menjagokan Jerman ini hanya terlewat dua Piala Dunia yakni tahun 1998 di Perancis dan 2002 di Korea Selatan-Jepang.    

Sayangnya, aktivitas sepakbola Teguh sempat mengendur ketika ia mulai memasuki bangku kuliah. Teguh yang masuk sebagai mahasiswa Fakultas Hukum UI (FHUI) tahun 1983, praktis tidak pernah terlibat dengan kegiatan sepakbola. Anehnya, dia justru sempat membela nama fakultas untuk cabang lain, yakni Bola Basket.

Selepas menamatkan kuliahnya di FHUI tahun 1988, Teguh mulai memfokuskan diri pada karier pilihannya sebagai pengacara. Sebelum akhirnya berlabuh di DSMD, Teguh sempat bekerja di dua kantor hukum besar yakni Lubis, Hadiputranto, Ganie, Surowidjojo (LHGS yang kini menjadi LGS) dan Hadinoto, Hadiputranto, Dermawan (HHD yang kini menjadi HHP).

Ketika menjadi pengacara, Teguh tak kuasa menahan diri untuk menebar virus sepakbolanya. Pada tahun 1994, Teguh bersama-sama dengan koleganya sesama pengacara menggagas pertandingan sepakbola persahabatan antar empat kantor hukum terbesar saat itu yakni LGS, HHP, Makarim dan ABNR. Ajang inilah yang kemudian menjelma menjadi acara olahraga multicabang Pertandingan Persahabatan Antar Konsultan Hukum (PPAKH) se-Jakarta.

Selayaknya maniak sepakbola lainnya di tanah air, Teguh juga memiliki mimpi Tim Nasional Indonesia dapat berkiprah di ajang sekelas Piala Dunia. Sayangnya, mimpi itu sangat jauh untuk direalisasikan. Dia mengatakan setidaknya ada dua syarat agar Indonesia berpeluang untuk bermain di Piala Dunia. Pertama, kompetisi sepakbola Indonesia harus mapan terlebih dahulu. Kedua, Indonesia harus tunduk pada segala aturan yang dikeluarkan FIFA.

"Kalau kita tidak ikut segala macam aturan yang ditetapkan oleh FIFA, jangan harap kita lolos ke piala dunia," tandasnya.

Tags: