Telaah Implementasi Denda Damai dalam Perspektif Dominus Litis
Kolom

Telaah Implementasi Denda Damai dalam Perspektif Dominus Litis

Telaah implementasi denda damai dalam perspektif dominus litis dapat dicermati dalam konteks normatif maupun pro-kontra pemaknaan restorative justice.

Bacaan 9 Menit

Satu-satunya ketentuan hukum yang secara khusus berkenaan dengan korupsi kecil-kecilan demikian tertuang dalam Surat Edaran Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Nomor: B113/F/Fd.1/05/2010 perihal Prioritas dan Pencapaian dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi tanggal 18 Mei 2010. SEJA tersebut berisi perintah kepada kepala kejaksaan di seluruh Indonesia agar memprioritaskan perkara tipikor yang bersifat big fish (berskala besar, dilihat dari pelaku dan/atau nilai kerugian) dan perkara tipikor yang dilakukan terus menerus (still going on).

SEJA ini menekankan bagi masyarakat yang melakukan tindak pidana korupsi dengan kerugian kecil (petty corruption), di bawah Rp100 juta dan telah mengembalikan kerugiannya, maka dapat digunakan konsep keadilan restoratif.

Melalui SEJA ini, tergambar bahwa tidak semua tindak pidana korupsi harus ditangani sebagai extra ordinary crime. Penilaian dan penegakan hukum tersebut menjadi diskresi kewenangan jaksa dalam penuntutan sebagai perwujudan dominus litis. Terlebih Kejaksaan memiliki kewenangan atributif untuk menggunakan asas oportunitas sebagaimana diatur dalam formulasi Pasal 35 UU Kejaksaan. Bahkan pada rumusan Pasal 35 ayat (1) UU No.11 Tahun 2021 mengatur pula mengenai denda damai.

Adapun pada sisi kontra atas pemikiran yang mengimplementasikan denda damai dalam perspektif dominus litis pada petty corruption, dilengkapi pula dengan argumen yang lestasionist dan bersifat positivistik. Di antara beberapa argumentasi yang kontra dikemukakan oleh Ketua Klinik Hukum Universitas Pancasila, Rocky Marbun. Marbun mengemukakan bahwa kebijakan yang diwacanakan Jaksa Agung sebenarnya sudah ada sejak 2010 melalui Surat Edaran Jaksa Agung Muda Pidana Khusus No.113 Tahun 2010. Selain asas cepat, sederhana, dan biaya ringan, kebijakan itu juga menggunakan asas keadilan restoratif.

Namun demikian, Marbun menegaskan, telah terjadi pemikiran yang keliru ketika restorative justice diterapkan untuk memberikan pengampunan terhadap pelaku tindak pidana. Seharusnya, idealitas dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi yang diselesaikan melalui restorative justice, selain rasa malu yang diprioritaskan, pelaku secara sukarela mengembalikan kerugian negara dan rela untuk menerima jika dihukum. Argumentasi yang bersifat positivistik juga dikemukakan oleh Marbun berkenaan dengan ketentuan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor yang tidak mengatur mengenai mekanisme penyelesaian keadilan restoratif selain pidana penjara, denda, dan uang pengganti.

Pandangan kontra juga dikemukakan oleh Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitah Sari. Pada konteks demikian, Sari mengingatkan kepada para pelaku tindak pidana korupsi meskipun kerugian keuangan negaranya sama atau di bawah Rp50 juta, harus tetap melalui proses pidana meskipun telah mengembalikan kerugian keuangan negara. Secara normatif positivistik, ketentuan Pasal 4 UU Pemberantasan Tipikor menjadi pagar pembatas yang tegas bahwa pengembalian kerugian keuangan negara, tetap tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak memproses pelaku secara pidana. Pasal 4 UU Pemberantasan Tipikor menyebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi. Karena itu, meski pengembalian kerugian keuangan negara bertujuan untuk mewujudkan pelaksanaan proses hukum yang cepat, sederhana, dan biaya ringan, akan tetapi peniadaan pidana tidak mungkin terjadi.

Argumentasi penolakan juga dikemukakan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang menegaskan korupsi merupakan perilaku tercela terlepas dari berapapun kerugian keuangan negara yang ditimbulkan. Oleh sebab itu, karena aspek hukum bukan sekadar tentang kerugian keuangan negara, namun juga aspek penjeraan dan sebagai pernyataan penghinaan terhadap perilaku yang tercela yang tidak melihat dari berapapun kerugiannya, maka penghindaran pemidanaan (pidana badan) tidak mungkin dilakukan. Pandangan demikian tentu saja diliputi oleh perspektif lestasionist.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait