Telaah Implementasi Denda Damai dalam Perspektif Dominus Litis
Kolom

Telaah Implementasi Denda Damai dalam Perspektif Dominus Litis

Telaah implementasi denda damai dalam perspektif dominus litis dapat dicermati dalam konteks normatif maupun pro-kontra pemaknaan restorative justice.

Bacaan 9 Menit

Sedangkan dengan nada yang relatif sama, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana juga mengingatkan bahwa hingga saat ini Pasal 4 UU Pemberantasan Tipikor masih berlaku. Regulasi itu menyebutkan pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pemidanaan pelaku tindak pidana. Pada konteks ini, patut diingat bahwa mengembalikan dana hasil praktik korupsi hanya dapat dijadikan dasar meringankan tuntutan dan hukuman, bukan justru tidak ditindak. Kurnia menilai pernyataan Jaksa Agung perihal penghapusan pidana pelaku korupsi di bawah Rp50 juta jika mengembalikan kerugian keuangan negara kurang didasari argumentasi hukum yang kuat. Pernyataan Jaksa Agung seolah memberi jaminan bahwa para pelaku korupsi dengan kerugian negara di bawah Rp50 juta tidak akan menjalani proses hukum.

Maka ketika mencermati pro kontra yang terjadi berkenaan dengan implementasi denda damai dalam perspektif dominus litis pada petty corruption, sesungguhnya terletak pada perbedaan pemaknaan restorative justice. Ketika restorative justice dilihat dari akar pemikiran hukum kritis, maka beragam diskresi yang bersumber dari dominus litis dapat muncul sebagai langkah penegakan hukum oleh Kejaksaan dalam koridor abolisionist. Pembacaan dalam melaksanakan pemaknaan restorative justice yang dituju tidak hanya sebatas literal, akan tetapi hingga mencapai aspek eksistensial (triadik-teks, konteks dan kontekstualisasi) yang bermuara pada kemanfaatan hukum.

Namun demikian, dalam praktik penegakan hukum oleh aparat penegak hukum, diskresi demikian harus dipayungi dengan ketentuan undang-undang maupun peraturan lembaga negara agar tidak terjebak dalam kondisi underlegislation. Hal demikian tentu saja sangat berbeda ketika pemaknaan restorative justice dibaca secara positivistik yang menelaah sisi literal sehingga mengutamakan kepastian teks. Maka ketika dalam Pasal 4 UU Pemberantasan Tipikor menegaskan pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan pidana, maka pembacaan literal akan menghasilkan kepastian ketiadaan diskresi meskipun terhadap petty corruption sekalipun.

Penutup

Telaah implementasi denda damai dalam perspektif dominus litis dapat dicermati dalam konteks normatif maupun pro-kontra pemaknaan restorative justice. Pada konteks normatif, implementasi denda damai dalam tindak pidana ekonomi merupakan salah satu bentuk penerapan asas oportunitas yang dimiliki Jaksa Agung dalam melaksanakan penuntutan terhadap tindak pidana perpajakan, kepabeanan, cukai, maupun tindak pidana ekonomi lainnya berdasarkan UU.

Namun ketika denda damai demikian diwacanakan untuk diimplementasikan pula pada korupsi kecil (petty corruption), hal demikian menuai polemik. Ketika restorative justice dilihat dari akar pemikiran hukum kritis, maka beragam diskresi yang bersumber dari dominus litis dapat muncul sebagai langkah penegakan hukum oleh Kejaksaan dalam koridor abolisionist. Pembacaan dalam melaksanakan pemaknaan restorative justice yang dituju tidak hanya sebatas literal, akan tetapi hingga mencapai aspek eksistensial yang bermuara pada kemanfaatan hukum. Namun ketika pemaknaan restoratuve justice dibaca secara positivistik yang menelaah sisi literal sehingga mengutamakan kepastian teks. Maka ketika teks undang-undang menegaskan pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan pidana, maka pembacaan literal akan menghasilkan kepastian ketiadaan diskresi meskipun terhadap petty corruption sekalipun.

*)Dr. H. Shalih Mangara Sitompul, S.H., M.H.,Wakil Ketua Umum DPN Peradi Periode 2020-2025.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait