Tembak di Tempat Pembakar Hutan Bertentangan dengan Perkap
Berita

Tembak di Tempat Pembakar Hutan Bertentangan dengan Perkap

Ada beberapa tahapan sebelum melakukan tembak di tempat. Pemerintah harus mengeluarkan kebijakan pencabutan izin usaha korporasi.

Oleh:
RFQ/ADY
Bacaan 2 Menit
Tembak di Tempat Pembakar Hutan Bertentangan dengan Perkap
Hukumonline
Pembakaran hutan oleh pihak tak bertanggungjawab dipandang sebagai tindak pidana berat. Dampak dari pembakaran,bukan hanyamerusak ekosistem hutan, tetapi berdampak pada kesehatan. Upaya hukum yang digunakan penegak hukum tampaknya tidak menimbulkan efek jera. Belakangan,ada perintah tembak di tempat oleh aparat kepolisian terhadap pelaku pembakaran hutan.

Kepala Divisi Pembelaan hak-hak Ekonomi dan Sosial Kontras, Syamsul Munir,menilai perintah tembak di tempat merupakan tindakanrepresif. Selain itu, perintah tersebut bertentangan dengan Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian. Menurutnya,perintah tembak di tempat akan menimbulkan persoalan baru dalam penegakan hukum.

“Dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM),” ujarnya dalam siaran pers, Senin (24/3).

Dalam menggunakan kekuatan senjata melakukan tembak di tempat harus melalui tahapan sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) Perkap No. 1Tahun 2009. Pertama, kekuatan yang memiliki dampak pencegahan. Kedua, perintah lisan. Ketiga, kendali tangan kosong lunak. Keempat, kendali tangan kosong kerang. Kelima, kendali senjata tumpul atau alat lain sesuai standar Polri. Keenam, kendali dengan menggunakan senjata api alat alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan yang dapat menyebabkan luka parah.

“Kapolri telah melawan Peraturan diinternal mereka sendiri yakni Perkap No. 1 tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian, dimana tindakan polisi yang akan menggunakan kekuaatan senjata untuk tembak ditempat harus melalui beberapa tahapan-tahapan,” ujarnya.

Dikatakan Munir, perintah tembak di tempat dikhawatirkan menjadi sumir. Pasalnya, tindakan itu dapat ditafsirkan berbeda oleh aparat kepolisian di lapangan. Bahkan, perintah tersebut melanggar konstitusi terkait hak atas rasa aman dan hak perlakukan diskriminasi. Selain itu, pengawasan dan pengendalian di tubuh internal Polri berkaitan dengan perintah tembak di tempat masih menimbulkan jatuhnya korban yang luas dan tidak berkaitan dengan target polisi.

Manager Kebijakan dan Pembelaan Hukum Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi),Muhnur Satyahaprabu, mengatakanupaya hukum tembak ditempat bukanlah tindakan yang tepat. Menurutnya,pemerintah harus membuat kebijakan yang intinya melakukan pencabutan terhadap korporasi yang melakukan aksi pembakaran hutan.

Ia menyayangkan penegak hukum sedemikian represif terhadap masyarakat kecil yang mengambil keuntungan sedikit dari hutan. Padahal,boleh jadi masyarakat tersebut merupakan masyarakat adat yang telah bermukim lama di sekitar hutan.

“Membiarkan penjahat lingkungan sebenarnya, yaitu korporasi-korporasi pemegang izin pengelolaan hutan dan lahan,  terus mendapatkan izin pengelolaan hutan dan lahan. Harus ada hukuman bagi penjahat-korporasi (corporate criminal) yang membuat efek jera, jangan masyarakat terus yang disalahkan,” ujarnya.

Manager Kampanye Hutan dan Kebun Skala Besar, Walhi, Zenzi Suhadi menambahkan peran korporasi atas aksi pembakaran hutan sedemikian besar. Menurutnya, kabut asap yang kerap terjadi akibat aksi pembakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau bukanlah sebuah bencana, melainkan aksi kejahatan yang telah direncanakan yang dampaknya luar biasa.

Zenzi berpandangan,aksi pembaran lahan hutan merupakan dampak dari kebijakan pemerintah yang mengeluarkan perizinan perkebunan skala besar. Misal, perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI). Ia berpendapat,dalam rangka melakukan upaya penghentian bencana asap di wilayah Indonesia, pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang luar biasa dampaknyaseperti kebijakan pencabutan izin usaha korporasi dan merampas aset perusahaan.

“Kesalahan fundamental Menteri Kehutanan adalah ketidakpahamannya tentang apa dan bagaimana pembakaran hutan dan lahan ini terjadi,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait