Terdakwa Kasus Hilton Tuntut Imunitas Advokat
Utama

Terdakwa Kasus Hilton Tuntut Imunitas Advokat

Hak imunitas advokat tidak berlaku dalam hal ditemukannya unsur pidana dalam pelaksanaan pekerjaan tersebut.

Rzk
Bacaan 2 Menit
Terdakwa Kasus Hilton Tuntut Imunitas Advokat
Hukumonline

 

Namun, tim penasihat hukum memiliki penafsiran tersendiri. Mereka memandang makna frasa sidang pengadilan dalam Pasal 16 tidak terbatas pada proses peradilan saja. Apa yang dilakukan Ali, menurut Bonaran, masih dalam kapasitasnya sebagai advokat yang mana ditandai dengan penggunaan kepala surat kantor Ali Mazi dan Rekan dalam pembuatan surat kuasa dan aktivitas korespodensi lainnya.

 

Jadi tidak beralasan dan melanggar hak imunitas advokat serta melanggar UU Advokat, sangkaan yang ditujukan kepada Ali Mazi, tegasnya. Bonaran menambahkan meskipun Ali melakukan perbuatan sebagaimana yang disangkakan kepadanya, namun tanggung jawab hukumnya tetap berada pada si pemberi kuasa. Argumen ini didasarkan pada Pasal 18 ayat (2) UU Advokat yang menyatakan Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.

 

Sementara itu, advokat senior Luhut Pangaribuan berpendapat berdasarkan penafsiran sistematis terhadap seluruh isi UU Advokat, maka hak imunitas advokat atas tuntutan pidana atau perdata dapat diperluas tidak hanya pada aktivitas disidang pengadilan. Selama masih relevan dengan lingkup tugasnya baik di dalam maupun di luar pengadilan, advokat berhak atas imunitas dari tuntutan hukum. Perluasan ini, menurut Luhut, sejalan dengan definisi advokat itu sendiri yang dalam UU Advokat diartikan secara luas.

 

Pasal 1 ayat (1)

Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.

 

Jadi kalau advokat menjalankan pekerjaannya di luar pengadilan tetapi sesuai dengan ruang lingkup yang diberikan klien, dan sesuai juga perundang-undangan yang berlaku, maka advokat tersebut berhak mendapat imunitas, jelas Luhut yang juga penulis buku ‘Advokat dan Contempt of Court'. Namun, dia menegaskan bahwa hak imunitas advokat tidak berlaku dalam hal ditemukannya unsur pidana dalam pelaksanaan pekerjaan tersebut. 

 

Tidak berlaku surut

Penggunaan UU Advokat sebagai dasar pengajuan permohonan perlindungan hukum oleh tim penasihat hukum Ali Mazi ternyata terbentur asas non-retroaktif. Pasalnya, tempus delictie (waktu kejadian, red.) kasus Hilton sendiri terjadi tahun 1999, sementara UU Advokat diundangkan sejak 5 April 2003.

 

Hal ini diamini oleh Bonaran, namun dia berdalih walaupun UU Advokat tidak bisa dijadikan dalil karena melanggar asas non-retroaktif, namun kasus ini dapat merujuk pada kode etik advokat dan juga yurisprudensi dalam kasus Yap Thiam Hien. Kasus yang dimaksud adalah kasus penghinaan pejabat negara yang dilakukan oleh Yap saat membela kliennya di persidangan. Mahkamah Agung (MA) kemudian membebaskan Yap dengan pertimbangan apa yang disampaikannya adalah pembelaan diri dalam rangkaian proses persidangan.

 

Terkait hal ini, Luhut menegaskan bahwa asas non-retroaktif mutlak tidak boleh dilanggar. Dia juga menilai penggunaan yurisprudensi kasus Yap Thiam Hien untuk kasus ini tidak tepat karena hak imunitas yang diminta tim penasihat hukum terkait tindakan advokat di luar persidangan, sementara kasus Yap Thiam Hien terjadi dalam persidangan. Itu tidak analog dan jelas beda, tukasnya.

Tak seorang pun di dunia ini yang rela menyandang status terdakwa, apalagi kalau merasa tidak bersalah. Mungkin itu yang kini dirasakan Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi terdakwa kasus korupsi perpanjangan HGB Hotel Hilton yang diduga merugikan negara Rp 1,9 triliun. Dalam beberapa kesempatan, Ali berulang kali menegaskan bahwa dirinya tidak bersalah karena pada saat kejadian dia hanya berstatus sebagai kuasa hukum dari PT Indobuild co untuk mengurusi perpanjangan HGB No. 26 dan No. 27 atas tanah Hotel Hilton seluas 13,7 hektar.

 

Oleh karena itu, Ali melalui tim penasihat hukum pimpinan Bonaran Situmeang memohon perlindungan hukum kepada Presiden, Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus). Permohonan ini didasarkan pada Pasal 16 UU No. 18/2003 tentang Advokat. Untuk itu kami mengajukan surat permohonan agar penuntutan atas perkara ini dihentikan dengan pertimbangan UU Advokat, demikian disampaikan Bonaran dalam jumpa pers yang digelar di Hotel Intercontinental Jakarta (30/8).                                                          

 

Pasal 16

Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.

 

Penjelasan

Yang dimaksud dengan sidang pengadilan adalah sidang pengadilan dalam setiap tingkat pengadilan di semua lingkungan peradilan.

 

Perlindungan hukum tidak hanya ditempuh melalui instansi pemerintahan saja, tetapi juga organisasi advokat. Bonaran menyampaikan pada Selasa kemarin (29/8) telah menyurati Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN). Dalam surat tersebut, tim penasihat hukum meminta perhatian kedua organisasi advokat tersebut atas kasus Ali Mazi yang tercatat sebagai anggota IKADIN Jakarta Barat, sebelumnya akhirnya non-aktif sejak memangku jabatan Gubernur Sulawesi Tenggara.

 

Ruang lingkup hak imunitas

Bonaran heran mengapa Ali ikut terseret dalam kasus ini padahal kliennya itu hanya menjalankan surat kuasa yang diberikan oleh Indobuild. Penjelasan Pasal 16 dengan tegas menjabarkan yang dimaksud sidang pengadilan adalah sidang pengadilan dalam setiap tingkat pengadilan di semua lingkungan peradilan. Sementara, sebagaimana diutarakan Bonaran, surat kuasa Indobuild kepada Ali hanya menyangkut pengurusan perpanjangan HGB pada kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang berarti di luar kegiatan advokat di pengadilan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: