Tersangka Korupsi Persoalkan Makna Penyidikan ke MK
Berita

Tersangka Korupsi Persoalkan Makna Penyidikan ke MK

Majelis menilai permohonan ini lebih merupakan implementasi norma.

ASH
Bacaan 2 Menit
Kuasa Hukum Pemohon Ardian Hamdani dan Fauzi Novaldi saat menyampaikan dalil-dalil permohonan dalam sidang perdana uji materi KUHAP, Kamis (13/11). Foto: Humas MK
Kuasa Hukum Pemohon Ardian Hamdani dan Fauzi Novaldi saat menyampaikan dalil-dalil permohonan dalam sidang perdana uji materi KUHAP, Kamis (13/11). Foto: Humas MK
Dinilai mengandung kelemahan menyangkut, definisi “penyidikan” dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dipersoalkan ke MK. Pemohonnya adalah Mawardi, tersangka korupsi pengadaan alat kesehatan catchlab di Rumah Sakit Stroke Nasional (RSSN) Bukittinggi, Sumatera Barat.

Di depan majelis hakim konstitusi Aswanto, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Wahidudin Adams, kuasa hukum pemohon menjelaskan inti substansi permohonannya. “Persoalan Pasal 1 angka 2 KUHAP yaitu kewenangan tunggal yang dimiliki penyidik tidak ada pengawasan, sehingga penyidik dapat melakukan apa saja kepada tersangka,” kata Fauzi Novaldi, kuasa hukum Mawardi, Kamis (13/11).

Pasal 1 angka 2 KUHAP menyebutkan “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”

Fauzi menilai kerugian konstitusional yang dialami pemohon karena rumusan pasal tersebut tidak memberikan kepastian hukum terkait kewenangan penyidik. Sebab, kewenangan tersebut diartikan sebagian orang bahwa penyidik memiliki kewenangan tunggal menetapkan seseorang sebagai tersangka dan melakukan tindakan penyidikan lainnya tanpa pengawasan dari luar instansi penyidik. “Hal ini tentu menjadi rawan disalahgunakan,” kata dia.

Menurutnya, Pasal 1 angka 2 KUHAP yang penerapannya tanpa pengawasan itu potensial melanggar prinsip penghormatan dan pengakuan terhadap jabatan Jaksa Agung selaku instansi yang seharusnya mengawasi proses penyidikan. “Pasal itu tidak proporsional dan berlebihan dengan sendirinya melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” ujarnya.

Karena itu, dalam provisi permohonan ini, pemohon meminta agar MK memerintahkan kepada Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat untuk menghentikan kasus korupsi pengadaan alat kesehatan catchlab di Rumah Sakit Stroke Nasional (RSSN) Bukittinggi. Atau setidak-tidaknya menunda penyidikan terhadap tersangka Mawardi (rekanan), Sri Ambarwati (pejabat pembuat komitmen), dan Dani Setiawan (panitia penerima barang) sampai adanya adanya putusan MK permohonan ini.

“Dalam pokok perkara,  meminta MK menyatakan Pasal 1 angka 2 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya,” pintanya.

Menanggapi permohonan ini, Wahidudin mengungkapkan Pasal 1 angka 2 KUHAP hanya berisi definisi penyidikan. Jika permohonan ini dikabulkan, maka pasal-pasal yang berkaitan dengan penyidikan akan “buyar”. “Kalau ini dikabulkan akan berdampak pada pasal-pasal lain dalam penyidikan. Pasal 1 angka 2 ini, definisi penyidikan yang menjadi acuan pasal-pasal lain. Ini harus dipikirkan baik-baik,” Wahidudin mengingatkan.

Ahmad Fadlil Sumadi melanjutkan Pasal 1 angka 2 KUHAP ini menentukan definisi pengertian penyidikan yang menjadi acuan dalam pasal-pasal selanjutnya, tidak mengandung norma.  “Bagaimana Saudara menyimpulkan penyidik itu tunggal yang menyebabkan kesewenang-wenangan? Coba Saudara perjelas lagi,” saran Fadlil

Dia menilai permohonan pemohon lebih menyangkut penerapan norma dalam KUHAP, bukan persoalan konstitusionalitas. “Penyalahgunaan itu bukannya implementasi? Coba Anda pikirkan kembali!”

Sedangkan Aswanto menganggap permohonan ini menyangkut pelaksanaan norma yang mengakibatkan kerugian bagi pemohon. “Seharusnya, apabila pemohon mempertanyakan tidak ada pengawasan dalam penyidikan, Saudara bisa melapor ke Komisi Kepolisian Nasional, kecuali rumusan normanya bermasalah baru bisa ke MK. Ini perlu jadi bahan renungan pemohon,” kata Aswanto.

Usai persidangan, Fauzi mengakui permohonan ini diajukan buru-buru karena ada indikasi rekayasa kasus penetapan kliennya sebagai tersangka korupsi alat kesehatan catchlab Rumah Sakit Stroke Nasional (RSSN) Kota Bukittinggi ini. “Kami ajukan buru-buru, sebenarnya bukan hanya definisi penyidikan, tetapi juga Pasal 7 KUHAP yang merupakan normanya. Pasal 7 KUHAP ini akan dimasukkan dalam perbaikan permohonannya dan masukkan nasehat yang diberikan majelis tadi,” katanya.
Tags:

Berita Terkait