Tidak Boleh Ajukan PK atas Praperadilan
Berita

Tidak Boleh Ajukan PK atas Praperadilan

Persoalan legal standing seharusnya sejak awal diputuskan di pengadilan negeri.

Oleh:
Rfq
Bacaan 2 Menit
Ketua MA Harifin A. Tumpa menyatakan tidak boleh ajukan PK atas<br> praperadilan. Foto: Sgp
Ketua MA Harifin A. Tumpa menyatakan tidak boleh ajukan PK atas<br> praperadilan. Foto: Sgp

Mahkamah Agung mengambil sikap di tengah perdebatan apakah putusan praperadilan bisa dimohonkan peninjauan kembali atau tidak. Dalam putusan atas perkara praperadilan atas SKPP Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto, majelis hakim agung yang langsung dipimpin Ketua Mahkamah Agung Harifin A. Tumpa menyatakan permohonan peninjauan kembali dari pemohon tidak dapat diterima.

 

Alasan majelis terbilang sederhana. Undang-Undang Mahkamah Agung melarang putusan praperadilan untuk dikasasi. Upaya kasasi merupakan upaya hukum biasa. Praperadilan dilarang untuk dikasasi. Jika untuk upaya hukum biasa saja dilarang, apalagi upaya hukum luar biasa seperti peninjauan kembali. Ketentuan yang melarang kasasi atas praperadilan, demikian Mahkamah Agung “berlaku mutatis mutandis terhadap upaya hukum luar biasa”. Itu sebabnya, permohonan peninjauan kembali atas praperadilan  tidak dapat diterima.

 

Putusan No. 123 PK/Pid/2010 ini adalah mengenai praperadilan yang diajukan lembaga swadaya masyarakat Hajar, Laskar Empati Pembela Bangsa (Lepas), dan Persatuan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI). Diwakili Eggi Sudjana dan kawan-kawan, para pemohon mempersoalkan kembali Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) dua impinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Menurut pemohon, SKPP terbitan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan itu tidak sah, sehingga harus dibatalkan.

 

Di level pertama, Pengadilan Negeri Jakarta menganulir hak ketiga lembaga swadaya masyarakat untuk mengajukan praperadilan. Ketiga pemohon dipandang tidak memiliki kapasitas sebagai subjek hukum yang berhak mengajukan praperadilan. Dalam memori peninjauan kembali, pemohon menilai argumentasi hakim tunggal tingkat pertama, Kusno,  terlalu sempit dan subjektif. Oleh karena itu, para pemohon langsung mengajukan upaya PK lantaran Undang-Undang tegas melarang kasasi terhadap praperadilan.

 

Larangan itu tegas diatur dalam pasal 45 A Undang-Undang Mahkamah Agung (terakhir diperbarui dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009). Pasal ini melaang kasasi untuk praperadilan, perkara pidana yang diancam pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau denda, serta perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah yang bersangkutan. Jika tidak memenuhi persyaratan formal, permohonan itu harus dinyatakan tidak dapat diterima.

 

Dihubungi hukumonline, Eggi membenarkan putusan MA namun belum menerima salinan resmi meskipun sudah diputus Mahkamah Agung sejak tahun lalu. Meskipun belum membaca lengkap pertimbangan majelis, Eggi menyayangkan putusan Mahkamah Agung tersebut.

 

Kalau persoalannya mengenai legal standing atau hak pemohon mengajukan praperadilan, kata Eggi, seharusnya sejak awal sudah tidak dapat diterima. Menurut dia, putusan yang menolak legal standing sedari pengadilan tingkat pertama hingga PK merupakan upaya menciderai rasa keadilan masyarakat.

 

Dalam praperadilan, pihak ketiga ketiga berkepentingan memang diberikan hak untuk mengajukan praperadilan terhadap sesuatu perkara yang dianggap merugikan korban. Nah, perihal berhak tidaknya pemohon mengajukan praperadilan sudah diatur dalam Pasal 80 KUHAP. Kendati begitu, KUHAP memang tidak menyebutkan secara gamblang perihal siapa pihak ketiga berkepentingan. Sebagaimana diketahui, hakim Kusno di pengadilan tingkat pertama hanya merujuk pada Pasal 80 dengan menjabarkan pihak ketiga berkepentingan dalam arti sempit yakni saksi dan korban yang berkait dengan peristiwa. Ketiga LSM yang diwakili Eggi mesti menelan ‘pil pahit’. Sehingga, permohonan praperadilan di tingkat pertama.

 

Menurut Eggi, kalau memang sedari awal penolakan lantaran mempersoalkan legal standing, pada saat mendaftarkan upaya praperadilan semestinya ditolak. Bukan malah melakukan proses persidangan. Sebab, ujar dia pada saat mendaftarkan pihak pengadilan malah melakukan proses persidangan selama satu pekan. “ Logikanya, kalau legal standing ditolak, kenapa sejak awal mendaftar tidak ditolak hakim,” ujarnya.

Tags: