Tiga Aspek Ini Dinilai Masih Hambat Karya Seni Jadi Jaminan Utang
Terbaru

Tiga Aspek Ini Dinilai Masih Hambat Karya Seni Jadi Jaminan Utang

Kehadiran Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif diharapkan memberi kemudahan bagi pelaku industri kreatif dalam menjangkau pembiayaan. Namun, masih terdapat aspek yang menghambat implementasi aturan tersebut.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Tiga Aspek Ini Dinilai Masih Hambat Karya Seni Jadi Jaminan Utang
Hukumonline

Koalisi Seni, organisasi nirlaba yang bergerak di bidang advokasi kesenian, mengapresiasi disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif (PP Ekraf). Setelah diteken, PP ini memberi angin segar pada pelaku ekonomi kreatif karena mengatur produk kekayaan intelektual (KI) sebagai objek jaminan utang ke lembaga keuangan bank maupun nonbank. Dengan begitu, pelaku seni bisa menjaminkan objek KI, kontrak kerja, maupun hak tagihnya. Mekanisme serupa sudah diimplementasikan oleh negara lain seperti Singapura, India, dan Korea Selatan.

“Kendati demikian, Koalisi Seni menemukan masih adanya masalah struktural yang bisa menghambat penerapan PP Ekraf ini,” kata Wakil Ketua Koalisi Seni Heru Hikayat di Jakarta, Jumat (19/8).

Persoalan pertama, sistem kekayaan intelektual yang saat ini ada, belum memadai untuk melindungi hak para pencipta. Dalam proses mendapatkan hak cipta, misalnya. Peneliti kebijakan seni dari Koalisi Seni, Aicha Grade Rebecca, menjelaskan, selama ini seniman masih kerap terkendala tata kelola manajemen hak cipta yang masih bermasalah. Misalnya di sektor film, negara belum mengurus aturan royaltinya. Selama ini, aturan royalti hanya diatur dalam kontrak antara produser dengan pelaku industri.

Baca Juga:

Sedangkan di sektor musik, nominal penerimaan royalti performing rights masih menjadi isu. Royalti itu seharusnya dikelola transparan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). “Tarif royalti musik di Indonesia juga tergolong rendah,” kata Aicha. Adapun di sektor seni rupa, resale rights atau porsi royalti untuk pencipta dari transaksi pembelian yang bersifat publik, masih belum diterapkan di Indonesia.

Lain halnya di sektor penerbitan, pembagian royalti sangat bergantung pada kesepakatan yang tertera pada kontrak antara penerbit dan penulis. Sedangkan sektor pertunjukan teater dan tari, belum memiliki mekanisme valuasi yang spesifik atas karya yang dipertunjukkan. Masalah ini diperparah dengan kesadaran KI yang belum terbentuk dengan baik di Indonesia. 

Sistem yang belum mapan itu dikhawatirkan dapat mengurangi nominal jaminan utang yang dapat diberikan, seperti diatur dalam PP Ekraf. Pasal 12 PP itu mengatur, salah satu pendekatan yang dipakai dalam pemberian jaminan adalah melalui pendekatan pendapatan. Artinya, penilai akan mengkaji potensi komersial dari objek KI, lewat proyeksi pendapatan si calon debitur. Hasil penilaian itu nantinya akan menentukan nominal jaminannya. 

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait