Tiga Catatan YLBHI Soal Persetujuan Perppu Cipta Kerja Jadi UU
Terbaru

Tiga Catatan YLBHI Soal Persetujuan Perppu Cipta Kerja Jadi UU

Persetujuan DPR terhadap Perppu Cipta Kerja menjadi UU dinilai melanggar konstitusi, karena telah menghilangkan objek Putusan MK No. 91/PUU-XVII/2020. Yakni perbaikan terhadap pembentukan UU Cipta Kerja.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur. Foto: Ady
Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur. Foto: Ady

Persetujuan DPR terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU terus menuai respon dari berbagai kalangan elemen masyarakat sipil dan serikat pekerja. Kendatipun tidak bulat di parlemen, namun mayoritas fraksi partai memberi persetujuan. Dengan demikian, Perppu 2/2022 bakal berubah menjadi UU penetapan Perppu Cipta Kerja.

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai, persetujuan Perppu 2/2022  menjadi UU sengaja dibuat dengan cara yang sarat pembangkangan, penghianatan dan kudeta terhadap konstitusi. Perppu 2/2022 dianggap memiliki ‘wajah’ otoritarianisme rezim pemerintahan Joko Widodo dalam praktik legislasi. Nahasnya, didukung oleh DPR dengan menghilangkan marwah dan harga dirinya tanpa memperdulikan masifnya gelombang penolakan oleh berbagai elemen masyarakat.

“YLBHI menilai persetujuan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang sengaja dibuat dengan upaya licik yang sarat akan pembangkangan, pengkhianatan serta kudeta terhadap konstitusi UUD NRI 1945,” ujarnya melalui keterangan tertulis , Rabu (22/3/2023) kemarin.

Baca juga:

Terhadap persetujuan DPR terhadap Perppu 2/2022 menjadi UU, YLBHI memberikan tiga catatan. Pertama, persetujuan DPR terhadap Perppu Cipta Kerja menjadi UU dinilai melanggar konstitusi, karena telah menghilangkan objek Putusan MK No. 91/PUU-XVII/2020. Yakni perbaikan terhadap pembentukan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Persoalan paling serius menyoal presiden dan DPR mengulang cara pembentukan UU dengan tidak memberikan ruang partisipasi publik yang bermakna alias meaningful participation kepada masyarakat secara maksimal.

Menurut Isnur, Putusan MK No. 91/PUU-XVII/2020 menyatakan partisipasi publik yang bermakna harus dilakukan. Setidaknya dalam tahapan pengajuan Rancangan Undang-Undang(RUU), tahapan pembahasan bersama antara DPR dan presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden dan DPD sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD 1945. Kemudian persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.

Kedua, keberadaan aturan ini menandakan pemerintah dan DPR telah ditundukkan oleh oligarki. Secara materi muatan tidak satupun pasal-per pasal dari Perppu 2/2022 menguntungkan masyarakat kecil. Seperti buruh, petani, masyarakat adat, nelayan serta elemen masyarakat lainnya. Perppu 2/2022 secara ambisius ditujukan hanya memberikan jalan mulus bagi oligarki untuk mengeksploitasi lingkungan hidup, keringat buruh, tanah, hutan, pesisir serta pulau-pulau kecil dan sektor-sektor sumber daya lainnya.

Tags:

Berita Terkait