TNI Berpolitik Praktis, Wakil Ketua DPR: Tak Bisa!
Berita

TNI Berpolitik Praktis, Wakil Ketua DPR: Tak Bisa!

Memberikan hak politik kepada TNI sama halnya mengembalikan Indonesia ke era orde baru.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
LSM khawatir TNI kembali ikut campur dalam penegakan hukum seperti zaman orde baru. Foto: ilustrasi (Sgp)
LSM khawatir TNI kembali ikut campur dalam penegakan hukum seperti zaman orde baru. Foto: ilustrasi (Sgp)
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo meminta agar hak politik Tentara Nasional Indonesia (TNI) dikembalikan. Dengan begitu, TNI dapat lagi berpolitik seperti halnya di era orde baru. Namun permintaan tersebut menuai penolakan dari berbagai kalangan, khususnya di Parlemen.

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengtakan TNI sebagai lembaga merupakan alat negara. Tentara memegang senjata sejatinya tak diperbolehkan berpolitik praktis. Namun masih dimungkinkan TNI mendapatkan hak politik simbolis. Kepentingan TNI pun perlu diakomodir. “Tapi tidak bisa orang pegang senjata terus politik praktis,” ujarnya di Gedung DPR, Kamis (6/10).

Wakil Ketua Komisi I DPR, Ahmad Hanafi Rais mengatakan mengembalikan hak politik TNI bukan perkara mudah. Pasalnya mesti mengubah ketetapan MPR yang menyebutkan TNI tak memiliki hak dipilih dan memilih. Dengan kata lain, kata Hanafi, ketika TNI menginginkan hak politik maka terdapat konsekuensi hukum, yakni, mengamandemen Tap MPR. “Itu tentu secara registrasi bukan pekerjaan mudah,” ujarnya.

Menurut Hanafi, bila Panglima TNI menginginkan hak politik dengan mengacu pada negara lain, maka mesti memenuhi persyaratan. Pertama, mekanisme netralitas mesti diperketat. Dengan begitu, dapat menghindari adanya penyalahgunaan kekuasaan. Setidaknya, TNI tidak menggunaan peralatan persenjataan.

Sebab, TNI sebagai satu-satunya identitas negara yang dapat  menggunakan secara sah bentuk kekerasan. Sepanjang TNI hanya sekedar meminta hak politik memilih dalam pemilu tingkat lokal maupun nasional, Hanafi dapat memahaminya. Namun bila terlibat dalam politik praktis masih perlu dipertimbangkan secara matang.

“Tapi dengan syarat aturan jaminan netralitas dan tidak mengunakan instrumen kekerasan dalam bersenjata itu juga harus di atur,” katanya. (Baca Juga: Pro Kontra Pemulihan Hak Pilih TNI)

Lebih lanjut politisi Partai Amanat Nasional itu berpandangan TNI sebagai lembaga sah menggunakan tindakan kekerasan dalam mempertahankan negara. Namun ia khawatir, TNI dalam politik praktis dapat digunakan untuk mengintimidasi yang dapat mengancam kehidupan berdemokrasi. “Makanya boleh-boleh saja TNI mempunyai hak politik, tapi sekedar memilih saja,” ujarnya.

Wakil Ketua Komisi I DPR lainnya, Meutya Hafidz  mengatakan tak mengerti alur berpikir Panglima TNI. Mesti Panglima TNI menoleh ke belakang untuk melihat sejarah di era reformasi. Sewaktu era reformasi, masyarakat memperjuangkan agar TNI lepas dari praktik politik. Dengan begitu, kewenangan TNI dalam berpolitik dipreteli agar dalam menjalankan tugas dan fungsinya berjalan profesional.

Terkait dengan membandingkan negara lain, yang tentaranya memiliki hak politik, Meutya mempersilakan. Namun pilihan masyarakat Indonesia pada era reformasi sepakat TNI tidak memiliki hak politik. Ia khawatir bila TNI kembali terlibat dalam politik praktis bakal menimbulkan harapan bagi kelompok militer dalam berpolitik praktis. “Itu yang saya khawatirkan,” ujarnya.

Politisi Partai Golkar itu mengatakan dampak TNI memiliki hak politik sama halnya Indonesia kembali ke masa orde baru. Menurutnya pilihan meninggalkan dwi fungsi ABRI kala itu memberikan kesempatan agar TNI dapat melaksanakan tugasnya secara profesional dalam mempertahankan wilayah NKRI tanpa terpengaruh kepentingan politik.

“Saya tidak paham kalau ada yang ingin mengembalikan ini ke era yang lama,” pungkasnya. (Baca Juga: Panglma TNI Sebaiknya tidak Sejajar dengan Kabinet)
Tags:

Berita Terkait