Tok!!! Uji Hak Angket KPK Ditolak, Skor 5:4
Berita

Tok!!! Uji Hak Angket KPK Ditolak, Skor 5:4

Bagi KPK sesuai putusan MK ini, penanganan perkara yang dilakukan KPK mestinya tidak bisa diangket. Tetapi, bagi DPR hasil dari penegakan hukum yang dilakukan KPK boleh diawasi, dicermati, dan dikritisi.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES

Meski tidak bulat, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Pasal 79 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) terkait hak angket DPR untuk KPK. Dengan putusan ini, DPR berwenang melayangkan hak angket terhadap KPK karena KPK dianggap bagian dari lembaga eksekutif yang juga termasuk obyek angket DPR.  

 

Putusan yang dimohonkan Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) bersama sejumlah mahasiswa magister UGM dan Universitas Sahid Jakarta ini diwarnai dissenting opinion (pendapat berbeda). Lima Hakim Konstitusi menyatakan menolak yakni Arief Hidayat, Anwar Usman, Manahan MP Sitompul, Aswanto, Wahiduddin Adams. Empat Hakim Konstitusi lain yakni Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, Saldi Isra, Suhartoyo mengajukan dissenting yang menilai seharusnya MK mengabulkan permohonan.

 

“Menolak permohonan provisi para pemohon dan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Majelis MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan bernomor 36/PUU-XV/2017 di Gedung MK Jakarta, Kamis (8/2/2018). (Baca Juga: Pemohon Ini Tetap Lanjutkan Uji Materi Hak Angket KPK)

 

Inti permohonannya, para Pemohon menilai hak angket yang dimiliki DPR dalam Pasal 79 ayat (3) UU MD3 hanya ditujukan bagi lembaga pemerintah, bukan KPK. Penjelasannya, disebutkan presiden, wakil presiden, menteri  negara, panglima  TNI, kapolri, jaksa  agung,  atau  pimpinan  lembaga  pemerintah nonkementerian. Hal ini sudah eksplisit dan limitatif, bukan lembaga, tetapi jabatan individu (pimpinan lembaganya). Dengan begitu, KPK bukan bagian dari lembaga pemerintah nonkementerian.

 

Pasal 79 ayat (3) UU MD3 berbunyi, “Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang- undangan.”

 

Dalam pertimbangan yang dibacakan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul disebutkan KPK sebenarnya dianggap sebagai lembaga eksekutif yang menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi. KPK yang merupakan lembaga eksekutif khusus agar pemberantasan korupsi dapat berjalan secara efektif, efisien dan optimal. Meski lembaga KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

 

“KPK jelas bukan masuk ranah lembaga yudikatif dan legislatif,” ucap Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.  

 

Menurut Mahkamah, tidak dapat dijadikan landasan hukum karena KPK sebagai lembaga independen tidak disebut sebagai lembaga pemerintah, sehingga bukan objek hak angket DPR. Sebab, secara tekstual KPK ialah lembaga eksekutif pelaksana UU (UU No. 30 Tahun 2002) di bidang penegakan hukum, khususnya pemberantasan tindak pidana korupsi.

 

Karena itu, DPR sebagai wakil rakyat berhak meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK sesuai UU. Dengan begitu, dapat disimpulkan KPK dapat menjadi objek angket dalam fungsi pengawasan DPR. Tetapi, dalam menjalankan fungsi pengawasan, DPR dapat menggunakan hak-hak konstitusionalnya (hak angket) terhadap KPK hanya sebatas berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewenangannya selain pelaksanaan tugas dan kewenangan yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan yudisialnya (penyelidikan, penyidikan, penuntutan).  

 

Namun, tidak selalu hasil penyelidikan DPR melalui penggunaan hak angket berujung pada hak menyatakan pendapat. “Sekali lagi hak angket harus dimaknai sebagai instrumen pelaksanaan fungsi pengawasan DPR. Temuan hak angket dapat menjadi rekomendasi dan acuan mengikat bagi langkah evaluasi dan perbaikan di masa mendatang atas suatu hal yang menjadi objek penyelidikan,” katanya.

 

Empat hakim dissenting

Sementara tiga Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Saldi Isra, dan Suhartoyo sependapat bahwa KPK tidak seharusnya menjadi objek hak angket DPR karena KPK sebagai lembaga independen yang bukan berada dalam cabang kekuasaan eksekutif.

 

Dalam beberapa putusan MK sebelumnya, berulang kali dinyatakan posisi kedudukan KPK sebagai lembaga independen dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Diantaranya, putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006 tertanggal 19 Desember 2006; putusan MK No. 19/PUU-V/2007 tertanggal 13 November 2007; putusan MK No. 37-39/PUU-VIII/2010 tertanggal 15 Oktober 2010; dan putusan MK No. 5/PUU-IX/2011 tertanggal 20 Juni 2011. “Dengan demikian, hak angket DPR tak dapat digunakan terhadap KPK,” tutur Suhartoyo

 

Karena itu, ketiga hakim tersebut berpendapat seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan a quo dengan menyatakan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “pelaksanaan suatu undang-undang” dalam norma Undang-Undang a quo tidak diartikan “pelaksanaan undang-undang oleh Pemerintah (eksekutif)”.

 

Hakim Konstitusi Marida juga berpendapat KPK bukan merupakan objek hak angket DPR yang sah. Meski begitu, Marida menilai KPK termasuk dalam ranah kekuasaan eksekutif yang berciri independen. Meskipun KPK tidak bertanggung jawab kepada presiden secara langsung dalam pelaksanaan tugas dan kewenanganya, melainkan kepada publik dan disampaikan laporannya secara terbuka kepada presiden.

 

“Tidak seharusnya KPK jadi objek hak angket DPR. Maka, permohonan para pemohon berasalan menurut hukum dan seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan a quo,” katanya.

 

Sementara dalam permohonan perkara lain yang menguji beberapa pasal UU MD3 dinyatakan tidak dapat diterima. Yakni, perkara No. 37/PUU-XV/2017 dengan pemohon Achmad Saifudin Dkk dan Perkara No. 40/PUU-XV/2017 dengan pemohon Harun Al Rasyid Dkk.

 

Usai persidangan, Ketua KPK Agus Raharjo menghormati putusan MK ini. Baginya, ada hal sangat menarik ketika empat hakim konstitusi mengajukan dissenting opinion. KPK masih akan mempelajari implikasi putusan MK ini, karena meski putusan ini ditolak, tetapi sepertinya bersifat limitatif. Artinya, penanganan perkara yang dilakukan KPK mestinya tidak bisa diangket

 

“Jadi, untuk urusan penyelidikan dan penyidikan kemudian penuntutan mestinya tidak bisa diangket,” kata Agus di Gedung MK. (Baca Juga: DPR Sebut Pembentukan Pansus Angket Konstitusional)

 

Senada, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif merasa kecewa terhadap putusan MK ini. Menurutnya, ada hal menarik dalam putusan ini, selain empat hakim berbeda pendapat, ketika KPK melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan itu bukan ranah eksekutif, tetapi ranah penegakan hukum. “Jadi, dalam hal menjalankan fungsi penegakan hukum maka tidak bisa diangket,” kata dia.

 

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP, Artheria Dahlan mengatakan sejak awal KPK ialah ranah eksekutif sama halnya dengan kepolisian dan kejaksaan. Karena itu, KPK dapat menjadi objek angket oleh DPR. Ia mengakui memang KPK independen dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di bidang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara korupsi.

 

“Ketika KPK melakukan fungsinya tidak boleh diintervensi, tetapi hasil dari penegakan hukum yang dilakukan KPK, boleh dong diawasi, dicermati, dan dikritisi,” kata dia.

Tags:

Berita Terkait