Tolak Perusahaan Tambang, Warga Masyarakat Adat Dihukum Pengadilan
Berita

Tolak Perusahaan Tambang, Warga Masyarakat Adat Dihukum Pengadilan

Pengacara terdakwa berdalih karena perbuatan dilakukan masyarakat adat, maka kesalahan tak bisa ditimpakan kepada ketiga terdakwa.

Mys
Bacaan 2 Menit

 

Warga meminta rombongan berhenti. Warga berniat meminta penjelasan tentang maksud kedatangan tim. Sebagai Kepala Dusun Pelaik Keruap, Iyon meminta agar pembicaraan dilakukan di rumahnya. Tetapi lantaran ada anggota rombongan yang sakit, hanya Ahie dan Jabarudin yang ‘ditahan’ warga. Sebab, warga menilai rombongan ini telah melanggar adat masyarakat Pelaik Keruap. Anggota rombongan tak bisa memperlihatkan surat-surat lengkap izin survei tambang di lokasi tersebut. Warga menuntut uang adat sebesar Rp113 juta. Rombongan tak bisa memenuhi. Ahie dan Jabarudin akhirnya dibawa ke rumah kepala desa, sedangkan anggota rombongan lain diizinkan pulang.

 

Kabar tentang Ahie dan Jabarudin sampai ke telinga Camat dan Kapolsek Menukung. Sehari setelah insiden penahanan Ahie dan Jabarudin, rombongan Camat dan Kapolsek Menukung datang ke Pelaik Keruap. Negosiasi tidak berhasil karena wakil perusahaan tetap enggan membayar denda adat. Dua hari berselang, hampir seratus anggota Polres Melawi datang ke lokasi untuk membebaskan Ahie dan Jabarudin. Bambang, Iyon dan Selamat ditangkap karena dianggap sebagai orang yang berperan dalam aksi penahanan petugas.

 

Pengacara terdakwa mengecam pemikiran jaksa yang menganggap uang tuntutan adat sebagai aksi pemerasan, dan jika pelangar adat diamankan dari emosi massa justru ditafsirkan sebagai perampasan kemerdekaan atau perbuatan tidak menyenangkan. “Dengan cara apa dan sejak kapan suatu proses hukum adat yang berlangsung dengan segala wujudnya, mencegah dan mengamankan pelanggar adat agar memenuhi dan mematuhi ketentuan adat menjadi suatu delik?”. Pertanyaan inilah yang terus berulang ketika masyarakat hukum adat berhadapan dengan perusahaan bermodal besar.

 

Perdebatan tentang masyarakat adat ini coba dijawab majelis hakim dalam putusan sela 16 Februari 2010. “Memang, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya. Akan tetapi hal ini tidaklah mutlak dan semena-mena dilakukan, karena ada syarat-syarat yang membatasinya, yaitu sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat, dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur Undang-Undang”.

Tags: