Tolak Praperadilan SDA, Hakim: Penetapan Tersangka Bukan Upaya Paksa
Utama

Tolak Praperadilan SDA, Hakim: Penetapan Tersangka Bukan Upaya Paksa

Hakim mengacu ke pendapat ahli M Yahya Harahap dan Prof. Andi Hamzah.

Hasyry Agustin
Bacaan 2 Menit
Hakim Tati Hadiati saat memeriksa perkara permohonan praperadilan yang diajukan Suryadharma Ali. Foto: RES.
Hakim Tati Hadiati saat memeriksa perkara permohonan praperadilan yang diajukan Suryadharma Ali. Foto: RES.

Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) Tati Hadiati menolak permohonan praperadilan mantan Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali (SDA) karena menilai penetapan tersangka bukanlah termasuk upaya paksa.

Dalam pertimbangannya, Hakim Tati mengutip pendapat dua ahli hukum acara pidana mantan Hakim Agung M Yahya Harahap dan Prof. Andi Hamzah. Dua ahli ini menyatakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sudah mengatur upaya paksa, yakni penggeledahan, penyitaan, penangkapan yang telah merugikan tersangka dapat diajukan praperadilan. Sedangkan, penetapan tersangka bukanlah termasuk upaya paksa.

“Menimbang bahwa penetapan tersangka bukan upaya paksa, hanya  proses administrasi penaikan status seseorang. Menimbang menurut hakim Penetapan status tidak atau belum merupakan upaya paksa melainkan hanya awal dan untuk melakukan tindakan upaya paksa. Menimbang bahwa dalam keterangan saksi dan bukti surat belum dilakukan penahanan sehingga penetapan tersangka bukan upaya paksa. Dengan demikian penetapan tersangka bukan objek praperadilan,” jelas Tati di ruang sidang utama PN Jaksel, Rabu (8/4).

Selain itu, Tati juga menyatakan bahwa objek praperadilan sudah diatur secara limitatif di KUHAP sehingga tidak bisa dilakukan perluasan.

“Menimbang dapat disimpulkan bahwa objek praperadilan yang diatur dalam Pasal 1 angka (10) KUHAP jo Pasal 77 KUHAP Jo 82 ayat (1) huruf b KUHAP sifatnya limitatif dan sudah tegas dan jelas. Sehingga apa yang diluar pasal tidak bisa diuji di praperadilan. Sehingga petitum  3 dan 4 ditolak, dengan ditolaknya petitum 3 dan 4 maka petitum 2, 5, dan 6 juga ditolak,” jelas Tati.

Lebih lanjut, terkait masalah ada atau tidaknya kerugian negara sebagai alat bukti yang dituntut oleh SDA, Tati mengatakan sudah memasuki substansi pokok perkara sehingga bukan menjadi kewenangan lembaga praperadilan. "Ada atau tidaknya bukti permulaan setidak-tidaknya dua alat bukti yang sah sudah memasuki substansi pokok perkara yaitu tentang pembuktian yang bukan kewenangan lembaga praperadilan," tambahnya.

Tim Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdul Basir menyambut baik putusan ini.  “Saya mengapresiasi putusan hakim dan makin optimis ini bisa jadi sumber hukum yang kuat. Prinsip dari amar putusan kami mengapresi, sedangkan apakah jadi sumber hukum tentu bisa. Kami juga berharap praktek berhukum dikembalikan ke KUHAP yang sudah secara jelas mengaturnya,” ujar Abdul ketika ditemui usai sidang.

Kuasa hukum SDA, Jhonson Pandjaitan mengatakan tim kuasa hukum akan berkonsutasi terlebih dahulu dengan kliennya. Selain itu, pihaknya terus akan berjuang untuk mendapatkan keadilan, salah satunya dengan mengikuti seluruh proses hukum yang sedang berjalan.

“Yang pertama, prinsipnya klien kami akan mengikuti seluruh proses hukum yang sedang berjalan, keputusan seperti ini yang jelas SDA akan terus berjuang untuk menghadapi keadilan. Tinggal kita hadapi pokok perkara, bagaimana KPK menghitung rugi negara, memeriksa berkas perkara. Hakim praperadilan ini tidak berani dan masih masuk ke sistem yang lama, walaupun hak konstitusi itu sudah jadi bagian dalam praperadilan,” ujarnya.

Sekadar mengingatkan, Suryadharma Ali ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka dalam kasus korupsi penyelenggaraan haji di Kementerian Agama periode 2012-2013. Ia mengajukan permohonan praperadilan atas penetapan tersangka itu ke PN Jaksel. Ia meminta agar hakim menyatakan surat perintah penyidikan (Sprindik) Nomor Sprin.Dik-27/01/05/2014 dan Sprin.dik-27A/01/12/2014 tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.

Selain itu, ia juga memohon agar hakim menyatakan tidak sah penetapan tersangka, proses penyidikan, dan tindakan lebih lanjut yang dilakukan KPK terkait penyidikan tersebut.

Dalam materi gugatannya, Suryadharma mempermasalahkan kewenangan KPK dalam menangani tindak pidana korupsi sesuai Pasal 11 huruf a Undang-Undang KPK.

Tags:

Berita Terkait