Upaya Menggantang Asap: Deregulasi dan Debirokratisasi
Kolom

Upaya Menggantang Asap: Deregulasi dan Debirokratisasi

Ketidakpastian hukum, setidaknya di Indonesia, tidak serta merta mengakibatkan keruntuhan dunia seperti yang dibayangkan dalam adagium Justitia et Pereat Mundus.

Bacaan 6 Menit

Kendati begitu, dalam kehidupan sehari-hari, kita manusia biasa, sebagai warga-negara (citizen), baik untuk kepentingan pribadi atau sebagai pengusaha tidak berhadapan dengan negara atau pemerintah. Sebagai warga negara untuk mendapatkan layanan publik kita akan berhadapan dengan pegawai negeri (aparatur sipil negara) di dalam ruangan, di belakang meja (biro) atau loket, dan yang dapat memerintahkan kita untuk melakukan apa saja. Bagaimana mereka yang duduk di belakang biro melaksanakan-mewujudkan-mengimplementasikan kewenangan (authority) atau kekuasaan (power) jelas berpengaruh terhadap kehidupan warga negara yang membutuhkan layanan yang hanya mereka yang bisa dan boleh berikan. Pada tahap ini kekuasaan pemerintah bersalin menjadi kekuasaan biro (birokrasi).

Dari sudut pandang hukum, birokrat baik dalam arti perorangan atau kantor-kedinasan sampai dengan kementerian, mendapatkan kekuasaan atau kewenangan dari peraturan perundang-undangan. Sementara perundang-undangan (baik dalam arti sempit atau luas) dibuat oleh legislatif dan juga eksekutif (pemerintah). Itu juga berarti bahwa birokrasi, sebagai institusi atau birokrat sebagai individu dapat membuat hukum dan mengatur lingkup kewenangan mereka sendiri. Lebih dari itu, birokrasi yang semula adalah sekadar pelaksana, dalam praktik, berhadapan dengan situasi konkret, dan mereka yang meminta-menuntut layanan publik, menafsir ulang dan bahkan mengembangkan kebijakan peraturan (policy rules) atau sekadar kebijakan (policy) atas dasar diskresi (discretionary power) yang sejalan atau berbeda dari apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan.

Tapi juga perlu disadari bahwa pemerintah pusat terbagi ke dalam badan-badan negara, kementerian, direktorat, kedinasan, unit kerja. Hal serupa terjadi di tingkat pemerintah daerah sampai dengan desa. Singkat kata, kita tidak pernah dapat berbicara tentang adanya satu pemerintah (tunggal-utuh) dengan satu birokrasi yang sama utuhnya. Mengikuti pembagian-pemecahan pemerintah ke dalam kementerian, badan, lembaga dstnya, terjadi pula multiplikasi dan fragmentasi birokrasi secara eksponensial. Sekaligus, sekian banyak biro yang menafsir dan mengembangkan lingkup kerja dan kewenangan mereka yang dapat saja bersinggungan, bersentuhan atau bahkan bisa jadi berbenturan dengan kewenangan biro dalam satu lembaga atau lintas lembaga. Bersamaan dengan fragmentasi pemerintah ke dalam banyak biro dengan lingkup kewenangan seperti di atas, bermunculan pula regulasi yang sama banyaknya dengan kecenderungan serupa. 

Maka fragmentasi pemerintah (dan kekuasaan-kewenangan pemerintah) ke dalam bentuk kementerian, direktorat jenderal sampai dengan unit pelaksana di tingkat paling rendah berjalan seiring berkembangnya kekuasaan biro yang meluas dan sistematis. Terjadi tidak saja pembagian, tetapi pemencaran kekuasaan dan kewenangan membuat regulasi. Ini semua sekaligus berakibat pada multiplikasi regulasi yang tidak niscaya utuh atau selaras satu sama lain. Juga dapat ditambahkan bahwa kementerian dari waktu ke waktu ditata-ulang, dirombak, bahkan dihapuskan (sekalipun akan muncul kembali dalam wujud lain). Maka dapat dibayangkan bahwa regulasi yang dikembangkan birokrasi berkembang, tumbuh bahkan mati, bersamaan dengan perombakan cabinet atau struktur organisasi tata pemerintahan. Singkat kata, over-regulation disebabkan multiplikasi biro-biro pemerintahan (biro yang berkuasa).

Hal lain yang juga sering dikeluhkan adalah ego-sectoralism-siloism. Masing-masing biro hidup, bekerja dan mengembangkan kebijakan dan regulasi terfokus pada pandangan tentang tugas pokok dan fungsi. Untuk ini ditawarkan solusi koordinasi-integrasi-sinkronisasi-simplifikasi. Wujud konkret yang dapat dicermati adalah pembentukan birokrasi berbeda: menteri koordinator sampai dengan layanan satu pintu-satu atap dan kebijakan deregulasi dengan/tanpa debirokratisasi.

Sumber hukum tidak pernah hanya peraturan perundang-undangan

Apa akibat dari pemencaran kewenangan pemerintah ke dalam sekian banyak biro-biro pada pemahaman kita akan sumber hukum? Dalam konteks ini apa artinya metode yuridis normatif atau dogmatis atau doktriner? Dari uraian di atas jelas bahwa dalam menemukan hukum apa yang berlaku dalam situasi konkret tertentu, merujuk pada sumber hukum formal (tertulis buatan negara atau peraturan perundang-undangan) tidak memadai.

Bahkan juga apa yang disebut statutory approach tidak lagi sepenuhnya relevan karena apa yang seharusnya menjadi hukum tidak lagi dapat begitu saja ditemukan dalam peraturan perundang-undangan (hukum negara tertulis; statutory). Apa yang lebih penting adalah mencari dan menemukan apa yang menjadi kebijakan, kebijakan tertulis atau aturan yang dibuat oleh birokrasi yang kebetulan berkuasa atas layanan publik yang kita perlukan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait