UU Otsus Terbaru, Harapan Baru Orang Asli Papua
Utama

UU Otsus Terbaru, Harapan Baru Orang Asli Papua

Afirmasi dan proteksi bagi masyarakat asli Papua menjadi kunci agar pelaksanaan UU Otsus Papua terbaru dapat meningkatkan taraf hidup dan hak-hak masyarakat Papua, pemerataan pembangunan, hingga membentuk tata kelola pemerintahan daerah yang baik.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Sejumlah narasumber dalam webinar bertajuk 'UU Otsus Papua Untuk (Si) Apa?', Kamis (5/8/2021). Foto: RFQ
Sejumlah narasumber dalam webinar bertajuk 'UU Otsus Papua Untuk (Si) Apa?', Kamis (5/8/2021). Foto: RFQ

Keberpihakan negara terhadap Orang Asli Papua (OAP) menjadi poin penting dalam UU No.2 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua. Beragam perubahan aturan agar dapat diimplementasikan dalam pembangunan di bumi Cenderawasih menjadi harapan bagi semua masyarakat Papua, termasuk pemerintah pusat. Sebab, sepanjang 20 tahun pelaksanaan Otsus Papua jilid 1 tak berjalan sesuai harapan.

Pelaksana Harian (Plh) Direktur Penataan Daerah, Otsus dan DPOD Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Valentinus Sudarjanto Sumito mengatakan kebijakan Otsus Papua merupakan bentuk pelaksanaan dari Pasal 18B UUD Tahun 1945. Pasal tersebut menjadi landasan perwujudan pengakuan negara terhadap Papua yakni memberikan afirmasi keberpihakan, proteksi terhadap OAP.

“Antara lain meningkatkan taraf hidup masyarakat OAP. Kemudian mewujudkan pemerataan pembangunan, pemenuhan hak-hak masyarakat Papua, hingga membentuk tata kelola pemerintahan daerah yang baik,” ujar Valentinus Sudarjanto Sumito dalam webinar bertajuk UU Otsus Papua Untuk (Si) Apa?”, Kamis (5/8/2021). (Baca Juga: Melihat 7 Substansi RUU Otsus Papua yang Disahkan Jadi UU)

Valentinus menyadari pelaksanaan UU 21/2001 selama 20 tahun di Papua tak berjalan optimal. Seperti pelaksanaannya belum terarah, belum adanya pedoman sepanjang berlakunya UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua. Kemudian, arah penggunaan Dana Otsus Papua masih bersifat umum. Alhasil, dana Otsus Papua dapat digunakan apa saja tidak sesuai perencanaan. Misalnya, ketika terjadi kebutuhan mendesak, saat itulah anggaran Otsus digunakan.

Pengalokasian anggarannya hanya pada tingkat provinsi, sehingga muncul pandangan yang menilai alokasi dana Otsus belum berkeadilan dan merata. Berkaitan dengan pembinaan dan pengawasan, kata Valentinus, tak adanya pengaturan secara spesifik dalam penggunaan anggaran. Pengawasan pun masih bersifat umum tanpa out come atas dana yang telah digunakan.

Dia menerangkan, kondisi geografis Papua yang besar serta medan yang berat dipandang menjadi kendala dalam percepatan pembangunan, sehingga dampak terhadap biaya aktivitas pemerintahan yang tinggi serta rendahnya akses pelayanan publik. Kondisi ini menunjukan dominasi wilayah pegunungan berkaitan dengan erat tingginya biaya ekonomi. Seperti, harga semen bisa mencapai 3 sampai 10 kali lipat dari harga semen di pulau Jawa.

Menurutnya, kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukan pengawasan pemerintah pusat belum maksimal. Seperti fungsi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang hanya melaksanakan pemeriksaan rutin hanya pada anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). Itu pun pemeriksaan hanya dilakukan di tingkat kota, akibat kondisi geografis Papua yang berat.  Kemudian, BPK per 2021 memberi catatan terkait penggunaan dana Otsus yang belum maksimal dan bermanfaat.

Tags:

Berita Terkait