UU Pendidikan Kedokteran Perkuat Dokter Layanan Primer
Berita

UU Pendidikan Kedokteran Perkuat Dokter Layanan Primer

Dokter adalah gatekeeper Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

ADY
Bacaan 2 Menit
Dirjen BUK Kemenkes, Akmal Taher, sedang menyampaikan orasi ilmiah tentang BPJS Kesehatan di Jakarta, 5 Maret 2014. Foto: RES
Dirjen BUK Kemenkes, Akmal Taher, sedang menyampaikan orasi ilmiah tentang BPJS Kesehatan di Jakarta, 5 Maret 2014. Foto: RES
Pemerintah terus membenahi pelaksanaan BPJS Kesehatan. Termasuk menyiapkan tenaga dokter yang memberi layanan primer seperti puskesmas dan klinik. Menurut Dirjen Bina Upaya Kesehatan (BUK) Kemenkes, Akmal Taher, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah memasukan ketentuan terkait dokter pemberi layanan primer (DLP) dalam UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.

Dalam regulasi itu, Akmal menjelaskan, posisi DLP dibuat agar setara dengan spesialis. Selama, ini DLP kerap dipandang sebelah mata. Begitu pula dengan tingkat penghasilan yang lebih kecil dibanding dokter spesialis. Mengingat peran DLP sangat penting dalam pelaksanaan JKN, UU Pendidikan Kedokteran akhirnya memuat aturan DLP sebagai penghargaan kepada mereka.

Peningkatan penghargaan kepada DLP sangat penting mengingat hal utama dalam pelayanan program JKN bukan hanya kuratif, tapi juga promotif dan preventif. Sehingga kuantitas dan kualitas peserta yang sakit dapat menurun. Sayangnya, pelayanan di fasilitas kesehatan primer saat ini menurut Akmal masih mengarah pada kuratif. “Makanya kita perlu perkuat dokter di layanan primer,” katanya dalam orasi ilmiah tentang BPJS Kesehatan di FKUI Jakarta, Rabu (05/3).

DLP berpengaruh terhadap kelancaran proses rujukan berjenjang yang diterapkan dalam JKN. Alhasil, tidak semua peserta yang sakit dapat langsung bertandang ke fasilitas kesehatan (faskes) lanjutan seperti Rumah Sakit (RS). Mereka harus mengunjungi faskes pemberi pelayanan primer terlebih dulu. Karena itu, DLP berfungsi sebagai gatekeeper. Kecuali darurat, tidak semua penyakit harus dilayani di RS.

Akmal menjelaskan yang masih jadi pembahasan saat ini apakah mahasiswa kedokteran yang baru lulus bisa menjadi DLP atau tidak. Namun, Kemenkes memutuskan DLP harus punya kekhususan dalam menjalankan profesinya. Sebab DLP memerlukan pengalaman untuk melakukan kegiatan promotif dan preventif di faskes primer. Adanya keahlian yang lebih tinggi ketimbang dokter yang baru lulus menurut Akmal selaras dengan ketentuan yang ada dalam UU Pendidikan Kedokrteran. “Untuk menghadapi JKN, dokter layanan primer akan menjadi andalan kita,” ujarnya.

Dalam standar pelayanan primer yang diberikan kepada peserta, Akmal melanjutkan, meliputi acuan yang diterbitkan konsil kedokteran. Dari ketentuan itu DLP dituntut mampu menangani 155 diagnosis penyakit. Ratusan penyakit itu harus mampu ditangani oleh dokter di faskes pemberi pelayanan primer. Selaras hal tersebut pemerintah masih membahas peraturan pelaksana tentang standar kompetensi DLP sebagaimana amanat UU Pendidikan Kedokteran. Serta standar pendidikan pelayanan primer dan kurikulumnya. Pada periode 2014-2019 pemerintah menargetkan melatih 9600 dokter menjadi spesialis layanan primer.

Menanggapi hal tersebut guru besar FKM UI, Hasbullah Thabrany, menjelaskan selama ini pola gatekeeper dalam pelayanan kesehatan sudah digembar gemborkan di Indonesia. Namun, pelaksanaannya tidak maksimal karena setiap pasien membayar biaya pelayanan kesehatannya sendiri-sendiri. Namun, dengan adanya BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara, pola gatekeeper terutama terkait sistem rujukan berjenjang diharapkan dapat terlaksana sesuai harapan. Sebab, BPJS Kesehatan bertindak sebagai juru bayar atas pelayanan kesehatan yang diberikan faskes primer kepada peserta.

Namun, persoalan DLP yang ada di Indonesia bagi Hasbullah berkaitan dengan belum adanya standar kompetensi. Padahal, di negara-negara maju DLP itu setara dengan dokter spesialis. Tentu saja hal itu dipengaruhi oleh kondisi masyarakat di sebuah negara. Namun yang jelas peran DLP dalam pelaksanaan JKN yang digelar BPJS Kesehatan sangat penting. “Dokter di Indonesia kenapa menolak memberikan layanan di faskes primer karena pendapatannya rendah. Makanya mereka lebih memilih menjadi dokter spesialis,” paparnya.

Sekalipun ada standar kompetensi untuk DLP, Hasbullah menandaskan, implementasinya harus dikawal oleh pemangku kepentingan seperti organisasi profesi kedokteran. Sebab, kompetensi yang dimiliki DLP bakal berpengaruh terhadap kualitas pelayanan yang diberikan kepada peserta.

Namun, jika jumlah DLP belum mampu menyebar sampai ke berbagai daerah di Indonesia sesuai kebutuhan program JKN, bagi Hasbullah tidak menutup kemungkinan untuk impor tenaga dokter. Menurutnya hal itu dapat digunakan sebagai solusi jangka pendek guna mengatasi keterbatasan jumlah dokter spesialis untuk memberikan layanan primer. “Yang penting jangan mengorbankan masyarakat (peserta),” tukasnya.
Tags:

Berita Terkait