Vaksinasi Berbayar Berisiko Kurangi Stok Vaksin Gratis Individu
Terbaru

Vaksinasi Berbayar Berisiko Kurangi Stok Vaksin Gratis Individu

Membuka opsi berbayar untuk individu memang bisa mempercepat program vaksinasi tetapi kalau skemanya VGR, otomatis ketersediaan stok untuk karyawan swasta berkurang.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 6 Menit
Ilustrasi foto: RES
Ilustrasi foto: RES

Pemerintah mengizinkan vaksinasi Covid-19 untuk individu secara berbayar melalui program Vaksinasi Gotong Royong (VGR) yang diselenggarakan PT Kimia Farma Tbk. Ketentuan tersebut diatur dalam Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 19 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Permenkes No.10 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19. yang diteken Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada 5 Juli 2021.

Vaksin yang digunakan adalah vaksin Sinopharm yang harganya dipatok sebesar Rp Rp 879.140 per orang (dua kali dosis/suntikan). Awalnya, VGR dapat diakses individu secara berbayar mulai Senin 12 Juli 2021 melalui PT Kimia Farma Tbk. Namun, Kimia Farma memutuskan menunda program VGR hingga batas waktu yang belum ditentukan. Kemunculan program vaksinasi berbayar tersebut menimbulkan respons publik. Terdapat anggapan langkah ini dapat mengancam ketersediaan VGR gratis untuk para karyawan.

“Membuka opsi berbayar untuk individu memang bisa mempercepat program vaksinasi tetapi kalau skemanya VGR juga, maka otomatis ketersediaan stok untuk karyawan swasta berkurang,” jelas Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta, Senin (12/7).

Andree merujuk data Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menyebutkan ada sekitar 10 juta orang terdaftar dalam program ini. Namun stok vaksin Sinopharm yang masuk baru cukup untuk 750.000 orang. VGR untuk karyawan swasta pun baru menjangkau 465.000 orang. Beberapa hambatan VGR perusahaan di antaranya adalah harga vaksin yang dirasa memberatkan dan ketidakpastian jadwal pengiriman. (Baca: Tolak Vaksinasi Berbayar! Kesehatan Masyarakat Tidak untuk Dikomersialkan)

Dia menilai keterbatasan stok VGR membuat jadwal pengiriman sulit dipastikan dan ini membuat perusahaan ragu-ragu untuk berkomitmen, apalagi membayar uang muka atau down payment. Andree menambahkan bahwa perusahaan yang ragu-ragu malah bisa jadi batal atau drop out karena karyawan dianggap bisa beli vaksin sendiri. “Jadi alih-alih meningkatkan jumlah yang divaksinasi, yang terjadi sebenarnya adalah pergeseran peserta dari perusahaan ke individu,” imbuhnya.

Menurutnya, agar dapat berjalan dengan baik, usaha mempercepat VGR gratis untuk karyawan maupun berbayar untuk individu memerlukan penambahan pasokan, tidak saja dari segi jumlah tetapi juga jenis maupun merek vaksin. Perluasan jenis dan merek vaksin bisa memberikan opsi kisaran harga bagi perusahaan maupun individu dan memungkinkan mereka menyesuaikannya dengan kemampuan keuangan masing-masing. 

Namun mencari supplier baru tentu akan menambah beban pekerjaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Bio Farma yang ditunjuk sebagai satu-satunya pengimpor, produsen dan distributor vaksin di Indonesia.

“Pada akhirnya, cepat lambatnya program vaksinasi, baik pemerintah maupun swasta, akan tergantung dari kecepatan BUMN ini. Kalau pengadaan tetap harus melalui satu pintu saja, membuka jalur-jalur pasokan baru bisa menjejali pintu tersebut dan akhirnya meningkatkan risiko kemacetan,” ungkapnya.

Indonesia, ujar Andree, perlu mengembangkan dan mendiversifikasi jalur impor dan produksi vaksinnya untuk mengurangi risiko disrupsi. Ketergantungan pada satu produsen sangat berisiko karena Indonesia membutuhkan jumlah vaksin yang besar untuk mempercepat dan memperluas jangkauan vaksinasi. 

CIPS merekomendasikan Kementerian Investasi untuk mengidentifikasi hambatan regulasi di sektor manufaktur farmasi. Upaya tersebut bukan hanya merealisasikan investasi manufaktur vaksinnya bukan saja akan meningkatkan kapasitas produksi vaksin di dalam negeri, tetapi juga membantu regulator mengidentifikasi hambatan bagi partisipasi Indonesia yang lebih luas dalam rantai nilai global farmasi. Rencana memperluas program VGR perlu perencanaan jalur pasokan yang cermat agar dapat berjalan efektif dan tidak malah mengurangi dampak percepatan yang diharapkan. 

Sebelumnya, Direktur Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Rizki Argama menilai program VGR meskipun terdengar seperti kabar baik namun pelaksanaan vaksinasi berbayar individu dianggap tindakan tidak sensitif terhadap situasi genting saat ini serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

PSHK mencatat terdapat sejumlah persoalan rencana VGR individu ini. Pertama, perubahan definisi VGR dilakukan tanpa proses yang transparan dan partisipatif. Sebelumnya, Pasal 1 angka 5 Permenkes 10/2021 dan perubahannya (Permenkes 18/2021) mendefinisikan VGR sebagai pelaksanaan vaksinasi kepada karyawan dan keluarganya yang pendanaannya dibebankan kepada badan hukum/badan usaha. Namun, Permenkes 19/2021, pada pasal yang sama, memperluas definisi itu dengan memasukkan individu sebagai penerima VGR yang pendanaannya dibebankan kepada individu yang bersangkutan.

Gama menilai perubahan definisi tersebut bertentangan dengan sikap kritis masyarakat sejak awal 2021 yang menolak skema vaksinasi berbayar. Selain itu, proses perubahan Permenkes tanpa sepengetahuan masyarakat sebagai pemangku kepentingan juga diindikasikan bertentangan dengan Pasal 24 ayat (2) Permenkes 1/2020 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Bidang Kesehatan di Lingkungan Kementerian Kesehatan.

Pasal itu mewajibkan dilakukannya uji kelayakan (publik) dalam proses penyusunan rancangan Permenkes. Sulit bagi publik mempercayai Permenkes 19/2021 telah memenuhi aspek transparansi dan partisipatif mengingat para epidemiolog dan praktisi kesehatan justru banyak yang menolak skema vaksinasi berbayar,” ujarnya, Minggu (11/7).

Kedua, kebijakan vaksinasi berbayar ditetapkan tanpa proses sosialisasi yang layak. Naskah Permenkes 19/2021 baru tersedia di situs web Satgas Penanganan Covid-19 pada Minggu, 11 Juli 2021, sore hari. Sebelumnya, naskah tersebut hanya beredar melalui jalur tidak resmi pesan berantai dan hingga kini masih belum tersedia pada direktori regulasi pada situs web Kementerian Kesehatan.

Padahal, peraturan itu telah ditetapkan pada 5 Juli 2021 dan diundangkan pada 6 Juli 2021. Hal itu tidak sejalan dengan Pasal 34 ayat (3) Permenkes 1/2020 yang mengharuskan Permenkes yang telah diundangkan untuk disebarluaskan secara resmi melalui media cetak dan/atau elektronik.

Ketiga, kebijakan vaksinasi berbayar menunjukkan pemerintah berusaha melepaskan tanggung jawab di tengah kondisi darurat kesehatan masyarakat. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan, hingga awal Juli 2021, jumlah penduduk Indonesia yang telah divaksinasi dosis lengkap hanya sekitar 14 juta orang atau 5,4 persen dari total jumlah penduduk. Selain itu, jumlah tenaga medis dan tenaga kesehatan yang belum mendapat vaksin masih mencapai belasan ribu orang dengan jumlah tertinggi pada provinsi-provinsi terluar, seperti Aceh dan Papua.

“Dengan tingkat ketercapaian vaksinasi yang rendah serta tingkat penularan Covid-19 yang semakin tidak terkendali, pemerintah seharusnya memaksimalkan sumber daya yang dimiliki untuk menggencarkan Pelayanan Vaksinasi Program yang telah diatur dalam Permenkes 10/2021, bukan justru mencari keuntungan dengan vaksinasi berbayar melalui VGR individu,” kritiknya.  

Pada prinsipnya, dalam situasi wabah, seluruh upaya penanggulangan wabah—termasuk program vaksinasi—menjadi tanggung jawab negara. Hal itu sesuai Pasal 10 UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Penjelasan pasal itu juga menyebutkan bahwa biaya yang diperlukan dalam penanggulangan wabah ditanggung oleh pemerintah pusat, dengan tidak mengurangi kewajiban pemerintah daerah, swasta atau masyarakat.

“Pengaturan itu harus dipahami, pelaksanaan program vaksinasi pada dasarnya kewajiban dan tanggung jawab pemerintah pusat,” tegasnya.

Keempat, kebijakan vaksinasi berbayar berpotensi hanya menguntungkan golongan masyarakat dengan level ekonomi menengah ke atas. Hal itu jelas bertentangan dengan tujuan negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yakni untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, tanpa terkecuali.

Dengan skema berbayar, terlebih dengan tarif yang relatif tinggi, kata Gama, VGR individu jelas tidak ditargetkan untuk masyarakat dengan kemampuan ekonomi lemah. Padahal, hasil survei yang dirilis Dinas Kesehatan DKI, FKM UI, dan Lembaga Eijkman Indonesia, menunjukkan tingkat infeksi Covid-19 lebih banyak terjadi pada wilayah permukiman kumuh yang mayoritas dihuni masyarakat level ekonomi menengah ke bawah. Perluasan akses vaksinasi seharusnya diprioritaskan pada golongan masyarakat yang lebih berpotensi terinfeksi Covid-19 yaitu masyarakat miskin.

“Akses terhadap vaksin melalui skema berbayar ini tak sejalan dengan Pasal 28H ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang menjamin setiap orang mendapatkan hak pelayanan kesehatan serta kemudahan untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”

Keberadaan VGR individu juga berpotensi semakin melebarkan kesenjangan antara kelompok yang sudah divaksinasi dan belum divaksinasi. Permenkes 19/2021 tidak mengatur secara spesifik batasan atau persyaratan untuk mengakses VGR individu. Di lapangan, hal itu dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang telah mendapat vaksinasi dosis lengkap sebelumnya, tetapi ingin mendapat VGR sebagai booster.

“Dengan pengawasan yang minimal pada tataran pelaksanaan, hal ini akan berpotensi besar terjadi dan menyebabkan kelompok masyarakat yang belum terlindungi akan semakin sulit mengakses vaksin.”

Atas dasar itu, PSHK mendesak pemerintah melalui Menteri Kesehatan harus mencabut Permenkes 19/2021 serta membatalkan rencana pelaksanaan VGR individu. Pemerintah harus mengevaluasi kembali efektivitas pelaksanaan VGR untuk badan hukum/badan usaha sebagaimana diatur dalam Permenkes 10/2021 dan perubahannya (Permenkes 18/2021).

“Pemerintah harus memfokuskan dan hanya melaksanakan Pelayanan Vaksinasi Program bebas biaya sebagaimana diatur dalam Permenkes 10/2021 dengan cara memaksimalkan seluruh sumber daya yang dimiliki pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memastikan perluasan jangkauan vaksinasi sesegera mungkin,” pintanya.

Pemerintah harus berfokus penanganan situasi darurat kesehatan masyarakat dengan cara memastikan ketersediaan fasilitas kesehatan, seperti membuka rumah sakit lapangan; mengendalikan harga obat-obatan dan oksigen; serta menegakkan aturan protokol kesehatan dengan konsisten. Pemerintah harus melibatkan para ahli bidang kesehatan masyarakat, kedokteran, ahli-ahli bidang lain, serta mengedepankan pendekatan berbasis bukti ilmiah dalam setiap pengambilan kebijakan penanganan kondisi darurat Covid-19.

“DPR harus menggunakan fungsi pengawasannya untuk mengevaluasi kebijakan vaksinasi berbayar serta mendesak Presiden untuk memerintahkan Menteri Kesehatan membatalkan Permenkes 19/2021 sebelum dilaksanakan di lapangan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait