Jerat Hukum Bagi Pelaku dan Konsumen VCS & Open BO
Terbaru

Jerat Hukum Bagi Pelaku dan Konsumen VCS & Open BO

Faktanya, baik penyedia jasa VCS & open BO maupun pengguna jasanya bisa dipidana. Keduanya sama-sama melanggar hukum. Simak ancaman pidananya!

Tim Hukumonline
Bacaan 6 Menit
Ilustrasi. Sumber: pexels.com
Ilustrasi. Sumber: pexels.com

Media sosial kini jadi salah satu tempat di mana penawaran VCS (video call sex) atau layanan prostitusi daring marak ditemukan. Jumlah tawaran akan VCS kian meningkat dari waktu ke waktu. Konon, tarif VCS tidaklah mahal. Namun, apakah “kepuasan” yang diberikan sepadan dengan jerat hukum yang mengintai? Simak ulasan selengkapnya.

Pengertian Open BO dan VCS

Bila membahas VCS, istilah open BO juga perlu dilibatkan. Sebab, kemunculannya hampir selalu bersamaan dan keduanya sama-sama merupakan layanan prostitusi daring.

VCS adalah jasa layanan seksual daring yang menggunakan gawai dan aplikasi media sosial sebagai sarananya. Aplikasi dengan penawaran VCS video atau yang dikenal juga sebagai VCS real saat ini makin banyak bentuknya, seperti layanan VCS Twitter, VCS Instagram, VCS Telegram, VCS Whatsapp (WA), bahkan ada pula yang menawarkan layanan grup VCS WA sebagai medianya.

Berbeda dengan arti VCS, open BO berarti ‘open booking’ alias melakukan “pemesanan”. Runutan transaksi open BO tidak sepenuhnya daring. Penawaran dan pemesanan memang dilakukan secara daring. Namun, “transaksi” yang dikehendaki akan dilaksanakan secara langsung di lokasi yang telah disepakati. Open BO dapat disebut juga sebagai layanan prostitusi dengan mengandalkan media sosial sebagai media promosi.

Bahaya VCS dan Open BO

Dari definisi, baik VCS dan open BO jelas masuk dalam kategori kejahatan seks elektronik atau cybersex crime. Medical Journal Indonesia (MJI) menerangkan bahwa aktivitas cybersex mengacu pada semua aktivitas penggunaan internet yang mencakup konten seksual untuk rekreasi, hiburan, eksplorasi, pendidikan, perdagangan, hingga mencari pasangan seksual atau romantis. VCS masuk dalam kategori rekreasi dan hiburan seksual, sedangkan open BO masuk dalam kategori perdagangan dan mencari pasangan seksual.

Hukumonline.com

MJI menyebutkan bahwa ada konsekuensi atau bahaya yang mengintai pelaku cybersex. Ada tiga konsekuensi yang dapat terjadi, yakni aspek kemampuan interpersonal, psikologis, dan kriminalitas. Jika tidak dideteksi sejak dini, akan lebih banyak perilaku berisiko lainnya yang dapat mengintai. Berikut uraian lengkap ketiga risiko tersebut.

● Kemampuan Interpersonal

Hubungan pelaku cybersex dengan orang lain akan memburuk. Tidak hanya itu, aktivitas seksual dengan pasangan juga akan ikut memburuk. Hal senada juga dikemukakan oleh IOSR Journal of Humanities and Social Science yang menerangkan bahwa harga yang harus dibayar untuk aktivitas cybersex bukan hanya persoalan uang, namun hubungan dengan orang lain. Pasalnya pelaku cybersex akan merasa terpuaskan di awal.

Di fase selanjutnya, mereka akan mulai ketagihan kemudian merasa dunia daring sebagai sarana eksplorasi dan menjauh dari hubungan dengan orang lain. Kemudian, di fase akhir, mereka kehilangan minat dan tidak lagi merasa terpuaskan. Belum lagi hubungan dengan pasangan atau orang terdekat yang rusak karena perceraian atau penilaian negatif cybersex sebagai aib.

● Psikologis

Marcus R. Squirrell melakukan penelitian terhadap 1.325 responden yang menghabiskan waktu sekitar 12 jam dalam seminggu untuk aktivitas cybersex. Dari hasil penelitian itu, diterangkan bahwa 92% responden mengalami gangguan psikologis. Sebanyak 27% mengalami depresi berat, 30% mengalami kecemasan tinggi, dan 35% merasa tertekan dengan aktivitasnya. Intensitas cybersex yang semakin lama akan semakin memperburuk tingkat depresi dan kecemasan seseorang.

Sebuah survei yang dilakukan pada sejumlah siswa di 2004 menunjukkan bahwa siswa yang tidak menggunakan internet untuk konten seksual memiliki dukungan sosial dan lingkungan yang lebih sehat daripada siswa yang menggunakan internet untuk memenuhi kebutuhan seksual mereka. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa paparan konten erotis dapat mempengaruhi pembentukan perilaku seseorang, salah satunya dapat mengurangi minat seseorang pada pasangannya dan meningkatkan keinginan untuk menjalin hubungan tanpa komitmen.

● Kriminalitas

Seseorang yang kecanduan cybersex dapat menghabiskan banyak uang untuk meneruskan aktivitasnya. Belum lagi perasaan terkucil, rasa bersalah, rendah diri, dan aktivitas cybersex yang membuat pelaku sulit bergaul dengan lingkungan sosial. Cybersex dapat meningkatkan risiko kecanduan seksual dan medianya pun mudah didapat untuk mengekspresikan kecanduan yang sudah ada sebelumnya. Paparan kronis terhadap konten seksual online dapat meningkatkan risiko kecanduan seksual pada orang yang sudah memiliki faktor risiko, seperti gangguan keterikatan, penyalahgunaan zat dan obat, serta impulse control disorder. Pria yang memiliki perilaku cybersex agresif berisiko empat kali lipat lebih agresif jika mereka meneruskan aktivitas cybersex-nya terus menerus. 

Jerat Hukum bagi Penyedia Jasa Open BO dan VCS

Adakah cara VCS yang benar alias tidak melanggar hukum? Tidak. Cybersex, baik VCS dan open BO, termasuk dalam perbuatan yang melanggar hukum. Ada beberapa hukum yang dilanggar, yakni UU Pornografi, UU ITE dan perubahannya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hingga peraturan daerah. Agar lebih jelas, hukum yang dilanggar akan dibagi berdasarkan pelaku; penyedia jasa dan konsumen pemakai jasa.

Aktivitas seksual cybersex open BO merupakan aktivitas yang dilakukan tanpa pemaksaan alias suka sama suka. Sehubungan dengan itu, adakah hukum yang dilanggar? Aktivitas cybersex open BO dan VCS yang dilakukan oleh penyedia jasa prostitusi melanggar Pasal 4 ayat (2) UU Pornografi yang menyebutkan bahwa setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang: a). menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; b). menyajikan secara eksplisit alat kelamin; c). mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau d). menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.

Penyedia jasa sebagai pelanggar Pasal 4 ayat (2) UU Pornografi tersebut dapat dijerat dengan ancaman pidana berupa penjara dan denda. Aturan ini dimuat dalam Pasal 30 UU Pornografi yang menyebutkan bahwa setiap orang yang menyediakan jasa pornografi dipidana dengan pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama enam tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250 juta dan paling banyak Rp3 miliar.

Selain melanggar UU Pornografi, mengingat aktivitas open BO dan VCS merupakan perbuatan hukum dengan media elektronik, perbuatan asusila ini berarti juga melanggar ketentuan dalam UU ITE. Menawarkan jasa VCS dan open BO termasuk dalam kategori perbuatan yang dilarang. Pasal 27 ayat (1) UU ITE melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

Karena termasuk dalam perbuatan yang dilarang, penyedia jasa open BO dan VCS dapat dijerat dengan Pasal 45 ayat (1) UU ITEjo. UU 19/2016 yang menerangkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.

Jerat Hukum bagi Konsumen Jasa Open BO dan VCS

Apakah konsumen jasa open BO dan VCS dapat dipidana? Bisa. Akan tetapi, pengguna atau konsumen jasa open BO dan VCS tidak dapat dapat dijerat dengan UU Pornografi. Pasal ini hanya mengancam penyedia jasa saja. Sebagaimana Pasal 4 ayat (2) UU Pornografi yang disebutkan di atas.

Akan tetapi, bila sudah menikah, konsumen jasa open BO dapat diadukan pasangan sahnya dengan alasan zina. Persoalan dan hukumannya diatur dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP yang berbunyi:

Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:

1. a). Seorang pria yang telah kawin yang melakukan mukah (overspel) padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;

b). Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan mukah.

2. a). Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin.

b). Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku baginya.

Selain dijerat KUHP, konsumen jasa open BO juga dapat dikenakan sanksi atas pelanggaran peraturan daerah. Contohnya, semisal konsumen merupakan warga yang tinggal di DKI Jakarta, berarti terjadi pelanggaran akan Pasal 42 ayat (2) Perda DKI 8/2007 yang menerangkan bahwa setiap orang dilarang: a). menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk menjadi penjaja seks komersial; b). menjadi penjaja seks komersial; dan c). memakai jasa penjaja seks komersial.

Pasal 61 ayat (2) Perda DKI/2007 menyebutkan bahwa orang yang melanggar ketentuan tersebut dikenakan ancaman pidana kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp500 ribu dan paling banyak Rp30 juta.

Apakah VCS dapat dilaporkan untuk konteks zina? Konsumen jasa VCS tidak dapat dijerat dengan alasan zina karena tidak adanya “persetubuhan” dalam aktivitasnya. Akan tetapi, mengingat VCS merupakan komunikasi dua arah, di mana penyedia jasa dan konsumen berperan dan mentransmisikan proses komunikasi, keduanya dapat digugat dengan UU ITE dan perubahannya, yakni Pasal 45 ayat (1) UU ITEjo. UU 19/2016.

Diterangkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.

Tags:

Berita Terkait