Wibowo Mukti: Prakteknya, tak Mungkin Konsultan Bersedia Teken SPT
Terbaru

Wibowo Mukti: Prakteknya, tak Mungkin Konsultan Bersedia Teken SPT

RUU KUP ini ditunggu-tunggu oleh para pelaku bisnis tak terkecuali komunitas konsultan pajak. Mereka wajib ikut meneken SPT. Pasal tentang keberatan dan banding juga sempat menguras atensi. Meski boleh mengajukan banding, WP dihadang denda administratif nan tinggi jika keberatan ditolak.

Ycb
Bacaan 2 Menit

 

Apa tanggapan Anda atas RUU KUP ini?

Konsultan pajak memang harus membaca perubahan-perubahan yang terdapat dalam RUU KUP ini. Harus kita bandingkan dengan UU KUP sebelumnya, itu sudah pasti. Positifnya, apa yang sedang dinanti masyarakat perpajakan adalah kejelasan pengaturan. Apa yang belum jelas sebelumnya, atau apa yang dahulu hanya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) atau aturan di bawahnya, kini justru diangkat dalam RUU ini. Semua yang belum jelas sudah diatur dalam batang tubuh atau pasal-pasal di sini.

 

Apa misalnya?

Misalnya, pasal tentang penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Selama ini diatur oleh Keputusan Dirjen Pajak. Sekarang diangkat dalam batang tubuhnya. Lalu ada tambahan sanksi-sanksi baru yang sebelumnya tidak diatur. Kalau yang lain, yang bagus bagi masyarakat pajak, baik WP maupun konsultan pajak, adalah adanya kepastian hukum. Dulu, masa daluwarsa hingga 10 tahun. Sekarang, daluwarsa pemeriksaan dilipat jadi 5 tahun.

 

Lalu, filosofi pajak juga diangkat dalam Pasal 1. Pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa dengan tidak mendapatkan imbalan langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jadi orang semangatnya bayar pajak untuk kemanfaatan bersama. Selama ini kan kita berpikir, buat apa bayar pajak kalau pembangunan jalan tak ada hasilnya dan rusak melulu?

 

KUP adalah roh dari ketentuan perpajakan lainnya. KUP mengatur secara formal hak dan kewajiban WP, serta hak dan kewajiban si fiskus. Saya memandang hak dan kewajiban kedua pihak ini coba diseimbangkan.

 

Apa tidak ada sisi negatifnya?

Saya tak mau mengatakan ini sebagai risiko baru. Tapi memang ada sebuah ketentuan baru, bahwa orang bisa ditetapkan NPWP atau Pendapatan Kena Pajak (PKP) secara jabatan, dan Ditjen Pajak bisa melakukan penghitungan penetapan pajak lima tahun ke belakang. Itu konsekuensinya mungkin besar bagi WP selama ini.

 

Dalam konteks ekstensifikasi pajak, misalnya Anda punya gaji di atas PTKP. Dari dulu, seharusnya Anda punya NPWP. Bukan dari sekarang. Tapi kalau punya NPWP pun, kalau income hanya dari satu pemberi kerja, sebenarnya tidak ada efek langsung kepada Pemerintah dari sisi penerimaan. Cuma slip gaji ini dituangkan di SPT Pajak Penghasilan (PPh) WP pribadi. Sebenarnya bagi Pemerintah kan tidak ada pemasukan tambahan ke Kas Negara.

 

Tapi sekarang, itu relatif tidak jalan. Apalagi dulu Dirjen Pajak (Hadi Puromo, red) sempat merilis angka WP hingga 10 juta. Kenapa tidak bisa jalan pada Dirjen yang baru (Darmin Nasution, red)? Berarti ini implikasi yang cukup signifikan. Kita bisa balik ke belakang.

Halaman Selanjutnya:
Tags: