Wibowo Mukti: Prakteknya, tak Mungkin Konsultan Bersedia Teken SPT
Terbaru

Wibowo Mukti: Prakteknya, tak Mungkin Konsultan Bersedia Teken SPT

RUU KUP ini ditunggu-tunggu oleh para pelaku bisnis tak terkecuali komunitas konsultan pajak. Mereka wajib ikut meneken SPT. Pasal tentang keberatan dan banding juga sempat menguras atensi. Meski boleh mengajukan banding, WP dihadang denda administratif nan tinggi jika keberatan ditolak.

Ycb
Bacaan 2 Menit

 

Berarti ada potensi besar pajak yang terutang?

Bisa jadi benar, kalau memang ada WP yang dari dulu belum melaporkan NPWP-nya. Misalnya orang pribadi pengusaha. Kita perlu memahami, struktur ekonomi kita kan masih banyak hidden economy. Jadi enak tidak pakai NPWP dan PKP bisa membesarkan usahanya. Seharusnya dari dulu dia mulai usaha yah harus punya NPWP. Kalau dia adalah subjek pajak dan punya objek pajak, dia bisa ditetapkan pajaknya lima tahun ke belakang. Lihat Pasal 24A. Ini cukup menarik karena memang baru.

 

Lalu, untuk SPT PPh Badan. Kalau dulu, maksimal adalah bulan ketiga setelah berakhirnya tahun pajak. Jika tutup buku 31 Desember (tahun takwim), berarti maksimal 31 Maret tahun depan. Sekarang dibedakan. Akan dikasih room tambahan satu bulan (Pasal 3 ayat 3c).

 

Dulu, untuk badan diberi kesempatan enam bulan memperbaiki laporan pajak. Soalnya, sulit setelah tutup buku merampungkan SPT selama tiga bulan. Tapi, saya lihat ada juga pembatasan, yang dahulu paling lama enam bulan (30 September), saat ini malah jadi tiga bulan (30 Juni). Makanya, ini tantangan bagi WP dan konsultan pajak untuk menyelesaikan laporan keuangan dan SPT lebih cepat.

 

Bagaimana dengan klausul tentang konsultan pajak harus ikut meneken SPT?

Dirjen Pajak memang bilang, WP kalau minta bantuan dari konsultan pajak, maka konsultan pajak juga harus ikut bertanggung jawab. Statement itu toh tidak tertuang dalam RUU ini. Dalam hal WP menunjuk kuasa khusus untuk mengisi SPT (Pasal 4 ayat 3). Sejarahnya begini. Sejak tahun 2001-an, memang ada kewajiban memberitahukan siapa konsultan pajaknya dalam SPT. Sebelumnya memang tidak ada keharusan tersebut. Menurut saya, kalau SPT ini ditandatangani oleh kuasa khusus (konsultan pajak), saya khawatir tidak applicable. Saya memprediksi nanti banyak konsultan pajak yang tidak mau meneken SPT.

 

Kenapa?

Sudah ada hak dan kewajiban masing-masing pihak. Konsultan pajak hanya memberi bantuan atau advise mengenai hak dan kewajiban pelaksanaan pajak, yang mungkin WP itu tidak mengerti sepenuhnya. Menurut saya, WP kalau mau mengisi SPT bisa dengan tenaga sendiri. Sekarang Ditjen Pajak punya kemajuan lebih modern dan tereformasi. Kalau mau mengisi SPT kan juga dapat buku petunjuk pengisian. Bagaimana bisa suatu tanggung jawab hak dan kewajiban pajak bisa beralih ke orang lain? Konsultan kan pihak ketiga. Secara hukum juga kurang masuk akal atau aneh.

 

Anehnya?

Kita bandingkan saja dengan profesi lainnya. Misalnya dengan akuntan publik. Akuntan publik memberi pendapat atau opini. Sedangkan konsultan pajak tidak memberi opini. Atas apapun yang terjadi atas laporan keuangan, itu tanggung jawab direksi, bukan tanggung jawab si akuntan. Ini reaksi konsultan pajak pada umumnya. Bukan cuma saya. Dan itu wajar saja. Konsultan pajak bukan dewa, bukan Tuhan, bukan psikolog.

 

Sebenarnya banyak faktor yang bersilangan. Assessment konsultan pajak hanya berdasarkan data yang diberikan oleh si WP. Konstulkan pajak tidak bisa melakukan audit. Dia betul-betul relay on data yang diberikan oleh si WP. Bisa jadi WP-nya nakal dengan memberikan data yang kurang memadai. Atau bisa jadi kualitas si konsultan yang minim. Maklum, kualitas kantor konsultan berfluktuasi satu sama lainnya.

Tags: