YLBHI Beberkan 11 Hambatan Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi
Terbaru

YLBHI Beberkan 11 Hambatan Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi

Antara lain melalui pendidikan, serangan digital, penghalang-halangan aksi, dan kriminalisasi.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ketua YLBHI Muhammad Isnur (kanan) dalam Diskusi & Peluncuran Laporan Studi Kerangka Hukum Pelindungan Civic Space di Indonesia: Melindungi Ruang, Menjaga Harapan dalam Seri Diskusi Forum Kajian Pembangunan (FKP) 2022, Rabu (21/12/2022). Foto: ADY
Ketua YLBHI Muhammad Isnur (kanan) dalam Diskusi & Peluncuran Laporan Studi Kerangka Hukum Pelindungan Civic Space di Indonesia: Melindungi Ruang, Menjaga Harapan dalam Seri Diskusi Forum Kajian Pembangunan (FKP) 2022, Rabu (21/12/2022). Foto: ADY

Demokrasi, dan kebebasan masyarakat sipil menghadapi berbagai tantangan dalam beberapa waktu terakhir. Tak sedikit laporan masyarakat sipil yang menunjukkan demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran dan kebebasan sipil semakin sempit. Salah satu bentuk kebebasan sipil adalah kebebasan berpendapat dan berekspresi. Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, mencatat sedikitnya ada 11 hambatan kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Pertama, melalui pendidikan. Isnur mengatakan pendidikan digunakan sebagai alat untuk menghambat kebebasan berpendapat dan berekspresi, misalnya dengan mengancam pemutusan beasiswa bagi mahasiswa yang ikut demonstrasi. Dinas pendidikan membuat edaran untuk melarang kegiatan demonstrasi. Intimidasi dilakukan pihak sekolah atau kampus.

“Ada juga kekerasan yang menyasar pelajar dan mahasiswa,” kata Muhammad Isnur dalam diskusi dan peluncuran Laporan Studi Kerangka Hukum Pelindungan Civic Space di Indonesia: Melindungi Ruang, Menjaga Harapan dalam Seri Diskusi Forum Kajian Pembangunan (FKP) 2022, Rabu (21/12/2022).

Baca Juga:

Kedua, hambatan kebebasan berpendapat dan berekspresi dilakukan melalui serangan digital, seperti penyebaran identitas pribadi (doxing), stigma, fitnah (hatespin), dan peretasan. Ketiga, penghalang-halangan demonstrasi, misalnya mencegat para demonstran di berbagai tempat mulai dari titik kumpul sampai di perjalanan. Penangkapan disertai kekerasan baik sebelum, ketika, dan setelah demonstrasi. Aparat kepolisian juga memaksa demonstran yang ditangkap untuk menandatangani pernyataan tidak akan melakukan lagi demonstrasi.

Keempat, kriminalisasi, Isnur mengatakan UU ITE kerap digunakan untuk melakukan kriminalisasi. Kelima, mengubah pemberitahuan demonstrasi menjadi izin. Keenam, framing dan fitnah terhadap peserta demonstrasi sebagai perusuh. Ada juga pihak yang sengaja menyebar poster palsu yang menyarankan kekerasan, dan pasukan pelaku kekerasan yang tidak diketahui identitasnya. Demonstran yang menggunakan pakaian serba hitam langsung dituduh sebagai perusuh.

Ketujuh, cara yang sering dilakukan untuk menghambat kebebasan berpendapat dan berekspresi yakni menggunakan ormas. Sekalipun UU Ormas melarang ormas bertindak seperti penegak hukum, tapi Isnur melihat aparat kepolisian membiarkan ormas melakukan tindakan seperti penegak hukum antara lain penangkapan. Bahkan polisi mengajak ormas untuk mengamankan demonstrasi.

Tags:

Berita Terkait