Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum Dipertanyakan
Utama

Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum Dipertanyakan

Konperensi Negara Hukum dibuka, membahas beragam isu hukum penting.

Mys
Bacaan 2 Menit
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud MD. Foto: Sgp
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud MD. Foto: Sgp

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud MD merasa risau dan mempertanyakan apakah yurisprudensi masih layak dijadikan sebagai sumber hukum di Indonesia. Pertanyaan itu muncul karena Mahfud melihat masih banyak putusan hakim yang bertentangan dengan akal sehat.

Mahfud mempertanyakan posisi yurisprudensi sebagai sumber hukum saat tampil sebagai pembicara kunci sekaligus membuka Konperensi dan Dialog Nasional Negara Hukum, di Jakarta, Selasa (09/10). Konperensi ini memperingati satu dasawarsa amandemen UUD 1945, dan dihadiri sejumlah pemangku kepentingan. Isu yang dibahas pun beragam.

Yurisprudensi adalah putusan hakim terdahulu yang telah berkekuatan hukum tetap dan diikuti hakim dalam memutus suatu perkara atau kasus yang sama. Yurisprudensi menjadi salah satu sumber hukum, selain undang-undang, traktat, kebiasaan, dan doktrin.

Putusan hakim yang bermasalah bisa muncul karena para pihak berperkara juga lebih mengedepankan kemenangan daripada kebenaran. Kalau para pihak benar-benar mencari kebenaran, Mahfud yakin banyak perkara yang selesai di pengadilan tingkat pertama. Ttapi karena praktiknya banyak yang mencari kemenangan, perkara sederhana pun dibawa hingga ke kasasi, bahkan peninjauan kembali.

Hal yang merisaukan Mahfud, hakim-hakim pun ikut mengabaikan cita hukum. Kepastian dan keadilan hukum diperlakukan secara alternatif, bukan integratif. Akibatnya, acapkali putusan hakim mengandung ketidaksesuaian antara pertimbangan dan amar.

Lunturnya moralitas aparat penegak hukum ikut memperburuk keadaan. Dalam memutus perkara, hakim sering mengandalkan kemenangan formalitas ketimbang keadilan dan kebenaran yang hakiki. “Proses mencari kemenangan di pengadilan sering dilakukan melalui menipulasi atas pilihan antara kepastian hukum dan rasa keadilan,” papar Mahfud.

Dalam titik rawan ini muncul putusan-putusan hakim yang dinegosiasikan melalui politik transaksional. Jika keinginan memvonis satu kasus sudah ditentukan melalui transaksi maka tinggal memilih, apakah isi vonis itu bisa didukung asas kepastian hukum atau asas keadilan yang dibuat sekadarnya. Jika putusan semacam itu dijadikan yurisprudensi, maka patut dipertanyakan apakah yurisprudensi masih layak dijadikan sebagai sumber hukum.

Berdasarkan penelurusan hukumonline, literatur hukum (Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi 2004)mengenal yurisprudens tetap dan yurisprudensi tidak tetap. Suatu putusan dijadikan yurisprudensi jika memenuhi sejumlah unsur. Pertama, putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturannya dalam undang-undang. Kedua, putusan tersebut harus merupakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Ketiga, telah berulang kali dijadikan dasar untuk memutus suatu perkara yang sama. Keempat, putusan tersebut telah memenuhi rasa keadilan. Kelima, putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung.

Jika putusan itu sudah melalui uji eksaminasi atau notasi dari tim Mahkamah Agung, dan direkomendasikan, suatu putusan bisa menjadi yurisprudensi tetap.

Tags: