Perjanjian Gadai Saham Kasus BFI Masih Sisakan Persoalan
Berita

Perjanjian Gadai Saham Kasus BFI Masih Sisakan Persoalan

Perseteruan PT. Aryaputra Teguharta (APT) dengan PT BFI Finance Indonesia Tbk (BFI) akan masuk pada pemeriksaan tingkat banding. Tapi, persoalan perjanjian gadai sahamnya masih menyisakan persoalan dan menarik untuk dicermati.

Oleh:
Tri/Leo
Bacaan 2 Menit
Perjanjian Gadai Saham Kasus BFI Masih Sisakan Persoalan
Hukumonline
Awal perseteruan APT dan BFI adalah perjanjian gadai saham yang ditanngani pada 1 Juni 1999. Perjanjian gadai ini adalah tindak lanjut pemberian fasilitas kredit () yang diberikan BFI kepada Ongko Group, dimana APT berkedudukan sebagai penjamin. BFI menerima jaminan dari APT berupa gadai 111.804.732 lembar saham. Perjanjian gadai itu ditanngani 1 Juni 1999 dan berlaku sampai 1 Desember 2000.

Menurut dosen dari Universitas Gadjah Mada ini, seharusnya perjanjian gadai saham yang ia persepsikan sebagai jaminan terhadap hutang Ongko Grup, yang nilainya mencapai AS$100 juta belum akan berakhir selama hutangnya belum lunas. Artinya, lanjut dia, tidak masuk akal sebagai turunan dari perjanjian pokok, apabila perjanjian gadai saham tidak mengikuti perjanjian pokoknya.

Sebagai anak perusahaan Ongko Grup, APT memang telah menjaminkan kepemilikan sahamnya ke BFI. Bahkan dalam salah satu klausulnya, BFI diberikan kewenangan untuk mengalihkan saham-saham APT, kalau sampai hutang Ongko Grup yang belum juga terlunasi.

Sayangnya, permohonan Chase, ditolak majelis hakim. Alasannya, menurut majelis PN Jakpus yang diketuai Sylvester Djuma, pihak Chase terlambat memasukkan permohonan tersebut, karena proses pemeriksaan perkaranya sudah sampai pada tahap jawaban.

Lebih jauh majelis hakim mengatakan, kalaupun Chase tidak puas dengan penetapan majelis, sebaiknya memasukan saja gugatan baru untuk meminta pertanggungjawaban HHP.

Sampai berita ini diturunkan, hukumonline belum berhasil memperoleh konfirmasi dari pihak HHP.

Perjanjian perdamaian

Hal lain yang menarik di perkara BFI ini adalah berkenaan dengan proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Pada pertengahan 2000, BFI mengajukan PKPU ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Untuk mengakhiri PKPU tersebut, BFI mengajukan rencana perdamaian yang salah satu isinya pengalihan saham yang digadaikan dari BFI kepada kreditur-krediturnya.

Nyatanya, mulai dari proses PKPU, pengumuman, sampai dengan pengesahan (ratifikasi) rencana perdamaian, tidak pernah ada keberatan dari APT. Bahkan, dalam surat tertanggal 11 Mei 2001, BFI mengirimkan surat pemberitahuan yang isinya menginformasikan bahwa saham-saham yang digadaikan telah dialihkan kepada The Law Debenture Trust Corporation Plc. Lagi-lagi selaku pihak yang berkepentingan, tidak ada tanggapan dari APT perihal surat yang dikirimkan BFI itu.

Lebih jauh, Hotman Paris Hutapea, kuasa hukum BFI, mengatakan kalaupun APT mengajukan gugatan, lebih pas diajukan ke Pengadilan Niaga. Selain karena BFI telah melalui proses PKPU di Pengadilan Niaga, berdasarkan Undang-undang Kepailitan, turunan dari perkara kepailitan dan PKPU juga menjadi kewenangan Pengadilan Niaga.

datafinancial leasing agreeementdata 

APT menilai BFI telah melakukan perbuatan melanggar hukum ketika mengalihkan saham tersebut kepada pihak ketiga, sementara perjanjian gadai sahamnya telah berakhir. Di sisi lain, BFI beranggapan bahwa mereka berhak untuk mengalihkan saham tersebut lantaran sudah memberitahukan mengenai perpanjangannya ke APT. Selain memang masih tanda tanya, apakah utang Ongko Grup ke BFI sudah dibayar lunas atau belum?Berdasarkan KUHPerdata, mengingat gadai sifatnya accesoir dari perjanjian pokok, tentu tidak bisa  dikatakan gadai berakhir selama utang pokoknya belum dilunasi.

Untuk memperjelas status perjanjian gadai ini, salah satu pihak yang berperkara (tergugat II)--The Chase Manhattan Bank (sekarang Chase JP Morgan,red)—sebenarnya sudah mencoba menarik kantor pengacara Hadiputranto Hadinoto and Partners (HHP) ke perkara ini sebagai tergugat insidentil. Pasalnya, HHP lah yang menyusun draf perjanjian gadai saham antara APT dan BFI yang akhirnya berujung sengketa itu.

PDD Dermawan, kuasa hukum Chase, dalam permohonannya mengatakan, pertimbangan memasukkan HHP sebagai pihak dalam perkara ini adalah untuk menjelaskan bahwa dokumen yang dirancangnya adalah sah dan berlaku menurut hukum.

Keterangan saksi ahli di perkara ini juga menyatakan keanehannya terhadap perjanjian gadai ini. Prof. Nindyo Pramono yang menjadi saksi ahli, mengaku bingung ketika melihat ada klasula pengakhiran perjanjian gadai saham yang tidak diikuti dengan selesainya perjanjian pokoknya, yaitu hutang piutang antara BFI dengan Grup Ongko.

Tags: