MK Pangkas Kewenangan Regulasi Komisi Penyiaran Indonesia
Berita

MK Pangkas Kewenangan Regulasi Komisi Penyiaran Indonesia

Dalam penyusunan Undang-Undang Penyiaran, pembuat undang-undang dinilai melakukan kesalahan karena memberi wewenang kepada Komisi Penyiaran Indonesia untuk ikut menyusun PP. Untunglah, wewenang itu dipangkas Mahkamah Konstitusi.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
MK Pangkas Kewenangan Regulasi Komisi Penyiaran Indonesia
Hukumonline

 

Sebagian kecil

Dalam putusannya MK hanya mengabulkan sebagian kecil permohonan judicial review Undang-Undang Penyiaran. Selain pasal 62 ayat (1) dan ayat (2), satu-satunya pasal lain yang dinilai bertentangan dengan UUD'45 adalah pasal 44 ayat (1). Itu pun sepanjang menyangkut frase atau terjadi sanggahan.

 

Sebelum frase itu dinyatakan tidak berlaku, pasal 44 ayat (1) selengkapnya berbunyi: Lembaga penyiaran wajib melakukan ralat apabila isi siaran dan/atau berita terdapat kekeliruan dan/atau kesalahan, atau terjadi sanggahan atas isi siaran dan/atau berita.

 

Meskipun hanya sebagian kecil permohonan yang dikabulkan, kuasa hukum pemohon judicial review, Todung Mulya Lubis, menyambut keputusan MK dengan catatan.  Catatannya, dengan putusan MK ini maka kewenangan KPI dalam membuat regulasi tidak lagi absolut. Dengan menyatakan pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Penyiaran tidak berlaku sepanjang menyangkut KPI bersama, maka berarti kewenangan regulasi diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah.

 

Memang, berdasarkan pasal 62 ayat (1), ada sejumlah hal yang regulasinya masih akan ditentukan kemudian lewat Peraturan Pemerintah. Semuanya berarti akan diatur oleh pemerintah. Mengacu pada bunyi pasal 62 ayat (1) maka hal-hal yang akan diatur oleh pemerintah tercantum dalam tabel.

 

Pasal

Perihal

14 ayat (10)

Lembaga Penyiaran Publik

18 ayat (3) dan (4)

Jumlah, cakupan siaran lokal, regional dan nasional; serta kepemilikan silang

29 ayat (2)

Tata cara dan persyaratan izin Lembaga Penyiaran Berlangganan

30 ayat (3)

Pedoman kegiatan peliputan lembaga penyiaran asing

31 ayat (4)

Sistem stasiun jaringan

32 ayat (2)

Rencana dasar teknik penyiaran dan teknis perangkat siaran

33 ayat (8)

Izin menyelenggarakan siaran

55 ayat (3)

Penyusunan sanksi administratif

60 ayat (3)

Penyiaran relay

  

       Diolah Pusat Data Hukumonline, 2004

   

Permohonan judicial review atas Undang-Undang Penyiaran diajukan oleh enam lembaga yang terkait dengan penyiaran. Keenam pemohon adalah Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), Asosiasi Televisi Siarana Indonesia (ATVSI), Persatuan Sulih Suara Indonesia (Persusi), dan Komunitas Televisi Indonesia (Komteve).

 

Isi kutipan putusan MK terhadap permohonan judicial review UU Penyiaran bisa dilihat di attachment.

Menurut ketentuan, Peraturan Pemerintah (PP) disusun oleh Pemerintah--dalam hal ini presiden--sebagai penjabaran dari suatu undang-undang. Itu wewenang sepenuhnya dari pemerintah. Tapi, oleh pembuat Undang-Undang No. 32 Tahun 2002, wewenang itu diberikan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

 

Simak saja bunyi pasal 62 ayat (2) Undang-Undang Penyiaran: Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus ditetapkan paling lambat 60 hari setelah selesai disusun oleh  KPI bersama Pemerintah. Frase yang sama ditemukan pada pasal 62 ayat (1).

 

Nah, kesalahan itu akhirnya diperbaiki Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam putusannya atas permohonan judicial review Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran, Rabu (28/7) pagi, MK menyatakan bahwa pasal 62 ayat (2) tidak berlaku sepanjang mengenai frase KPI bersama. Jadi, MK tidak membatalkan keseluruhan isi pasal tersebut. 

Tags: