Penerapan Tanggung Jawab Pidana Mutlak Pada Perkara Pencemaran Lingkungan
Fredrik J. Pinakunary *)

Penerapan Tanggung Jawab Pidana Mutlak Pada Perkara Pencemaran Lingkungan

Sehubungan dengan adanya pengaduan ke Mabes Polri yang diajukan oleh beberapa warga Teluk Buyat terhadap para pihak yang diduga mencemarkan Teluk Buyat, artikel ini bermaksud untuk mengkaji sistem tanggungjawab pidana mutlak (crime strict liability) yang perlu dipertimbangkan untuk diterapkan dalam dugaan tindak pidana lingkungan hidup.

Bacaan 2 Menit
Penerapan Tanggung Jawab Pidana Mutlak Pada Perkara Pencemaran Lingkungan
Hukumonline

 

Tanggungjawab pidana mutlak

Berbeda dengan sistem tanggungjawab pidana umum yang mengharuskan adanya kesengajaan atau kealpaan, dalam sistem tanggungjawab pidana mutlak hanya dibutuhkan pengetahuan dan perbuatan dari terdakwa. Artinya dalam melakukan perbuatan tersebut, apabila si terdakwa mengetahui atau menyadari tentang potensi kerugian bagi pihak lain, maka kedaan ini cukup untuk menuntut pertanggungjawaban pidana. Jadi, tidak diperlukan adanya unsur sengaja atau alpa dari terdakwa, namun semata-mata perbuatan yang telah mengakibatkan pencemaran (Frances Russell & Christine Locke, English Law and Language, Cassed, 1992).

 

Ini berarti bahwa tidak perlu dibuktikan apakah NMR dan atau penambang liar (yang diduga melakukan pencemeran) memiliki unsur sengaja atau alpa, namun perbuatan mereka yang membuang limbah yang akhirnya menyebabkan pencemaran Teluk Buyat sudah cukup untuk mempidanakan mereka. 

 

Mengingat karakteristiknya tersebut di atas, sistem tanggungjawab pidana mutlak hanya tepat untuk diterapkan pada kejahatan sosial seperti pencemaran, psikotropika, inflasi, korupsi dan jenis kejahatan lain yang berdampak luas kepada masyarakat. Penerapan tanggungjawab pidana mutlak dapat dilihat dalam kasus Alphacel Ltd. Vs. Woodward.

 

Pengadilan Inggris menyatakan terdakwa bersalah karena melanggar River Prevention of Pollution Act 1951, akibat terdakwa memasukkan tangki ke dalam sungai yang menyebabkan saluran air ke sungai tidak berfungsi. Tangki tersebut membuat pompa tak berfungsi karena dipenuhi tumbuh-tumbuhan dan banjir menyebabkan air tercemar.

 

Dalam kasus ini sebenarnya tidak ada bukti yang memberatkan terdakwa tentang kesengajaan atau kealpaan. Namun, pengadilan membuat pertimbangan bahwa seandainya setiap perkara pencemaran harus dibuktikan unsur kesengajaan atau kealpaannya, maka pihak-pihak yang diduga mencemar kemungkinan akan selalu bebas, walaupun pencemaran telah terjadi dan dengan demikian pencemaran akan terus berlanjut sehingga sungai-sungai akan semakin tercemar.

 

Oleh karena itu dengan melihat fakta pencemaran telah terjadi dan ada pihak yang terkait erat atau pihak yang diduga keras menyebabkan pencemaran tersebut, maka pihak tersebut layak untuk dipidana. (J. C. Smith-Brian Hojan, Criminal Law, ELAS, Seventh Edition, 1992).

 

Sekiranya laporan polisi dari warga Teluk Buyat terus diproses dan pengadilan menerapkan sistem pembuktian menurut UUPLH yang masih mensyaratkan unsur kesengajaan dan kealpaan, maka para pihak yang diduga mencemari Teluk Buyat memiliki peluang untuk lolos dari ancaman pidana walaupun pencemaran telah terjadi dan korban sudah berjatuhan.

 

Namun demikian jika pengadilan berani mengeluarkan putusan yang menjatuhkan hukuman pidana maka dapat dipastikan bahwa hakim perkara tersebut telah terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

 

Artinya hakim tersebut mampu menjadi living interpretator yang dapat menangkap semangat keadilan dalam masyarakat dan tidak terbelenggu oleh kekakuan normatif prosedural yang ada dalam suatu peraturan perundang-undangan, karena mereka menyadari sepenuhnya bahwa hakim bukan lagi sekedar mulut atau corong undang-undang (la bouche de la loi).

 

A Ahsin Thohari dalam artikelnya yang berjudul Law Enforcement ke Justice Enforcement (Kompas, 3 Juli 2002), menguraikan bahwa hakim yang akan memutus suatu perkara di pengadilan harus mengkombinasikan tiga hal secara simultan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan keadilan hukum. Sehubungan dengan itu, jika hakim berani mengeluarkan putusan yang menjatuhkan hukuman pidana terhadap para pelaku pencemaran Teluk Buyat, maka dapat dipastikan bahwa putusan itu mengandung kepastian hukum karena bisa diprediksi bahwa harus ada pihak yang dipidana karena telah terjadi pencemaran yang menimbulkan korban.

 

Selanjutnya, putusan tersebut juga memiliki kemanfaatan hukum karena menjadi suatu preseden yang sangat berguna dalam penegakkan hukum lingkungan. Disamping itu, putusan tersebut akan memenuhi unsur keadilan, khususnya keadilan masyarakat (social justice) karena hakim dalam perkara tersebut tidak hanya mempertimbangkan law enforcement saja tetapi juga mempertimbangkan dan menegakkan justice enforcement.

 

Not only what is lawful but what is proper or convenient, is to be considered; because nothing that is inconvenient is lawful. Sesuai dengan ungkapan ini, sekiranya hakim berani untuk tidak menerapkan sistem pembuktian sebagaimana diatur dalam UUPLH dan sebaliknya menerapkan sistem  tanggungjawab pidana mutlak, maka putusan yang dihasilkannya akan menjadi putusan yang  proper atau convenient di mata masyarakat kita yang sangat mendambakan keadilan. Jauh sebelum itu, Aeschylus seorang dramatist Yunani yang hidup pada abad ke enam sebelum Masehi, menyatakan bahwa wrong must not win by technicalities. Jika diaplikasikan dalam kasus ini, maka pihak yang mencemari Teluk Buyat seharusnya tidak dibebaskan karena hal-hal atau kelemahan-kelemahan teknis yang terdapat dalam UUPLH.

Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) menyatakan barangsiapa yang melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000. Pasal 42 ayat (1) menyatakan bahwa barangsiapa yang karena kealpaanya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,-

 

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, pihak yang diduga melakukan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup hanya dapat dipidana jika dapat dibuktikan bahwa pihak tersebut sengaja atau alpa. Artinya, jika pencemaran yang memakan korban telah terjadi tetapi tidak dapat dibuktikan bahwa pihak yang diduga sengaja atau alpa dalam melakukan aktivitasnya yang diperkirakan menjadi sumber pencemaran, maka pihak tersebut tidak dapat dihukum.

 

Konkretnya, jika benar pencemaran telah terjadi dan jika itu diakibatkan oleh PT Newmont Minahasa Raya (NMR) dan atau penambang liar dan jika tidak dapat dibuktikan dalam persidangan bahwa para pihak yang diduga mencemarkan tersebut memiliki kesengajaan atau kealpaan yang mengakibatkan pencemaran, maka NMR dan atau penambang liar (yang diduga mencemarkan Teluk Buyat) tidak dapat dihukum. Jika hal ini terjadi, tentunya rasa keadilan masyarakat akan semakin terkoyak. Keadaan ini sepertinya tidak akan terjadi jika pengadilan bersedia menerapkan sistem tanggungjawab pidana mutlak.

Tags: