Putusan MK: Pemda Sulawesi Selatan Tetap Wajib Membantu Sulbar
Berita

Putusan MK: Pemda Sulawesi Selatan Tetap Wajib Membantu Sulbar

Raut kekecewaan tampak di wajah Mas Bakar. Anggota tim kuasa hukum Gubernur Sulawesi Selatan itu hanya bisa pasrah mendengar penolakan Mahkamah Konstitusi.

Mys
Bacaan 2 Menit
Putusan MK: Pemda Sulawesi Selatan Tetap Wajib Membantu Sulbar
Hukumonline

 

Kewajiban Sulsel sebagai provinsi induk untuk memberikan uang miliaran rupiah kepada Sulbar dalam jangka waktu tertentu, sebagaimana tercantum pada pasal 15 ayat (7) dan (9) UU No. 26/2004, dinilai MK sudah proporsional. Itu merupakan konsekuensi logis dari persetujuan Sulsel terhadap pemekaran provinsi itu. Lagipula, dana yang dihimpun dari rakyat yang tinggal di Sulbar sudah terhimpun dan dalam waktu lama dikelola Sulsel. Jumlah yang diterima Sulsel selama ini masih sebanding dengan kewajiban provinsi itu terhadap Sulbar.

 

Dengan penolakan MK ini, maka Pemda Sulsel tetap wajib memberikan suplai dana ke provinsi baru hasil pemekaran itu. Pertama, selaku provinsi induk Sulsel diwajibkan memberikan bantuan dana selama dua tahun berturut-turut paling sedikit Rp8 miliar per tahun anggaran. Kedua, selama dua tahun berturut-turut wajib mengalokasikan dana dalam APBD untuk kegiatan pemerintahan dan pelayanan masyarakat yang jumlahnya sama dengan alokasi dana sebelum dilakukan pemekaran.

 

Jika kedua kewajiban itu tidak dilaksanakan, Sulsel terancam sanksi berupa penundaan penyaluran pemberian dana perimbangan dari Pusat ke kas daerah Sulsel.

 

Dissenting Laica

Meski bukan karena kebetulan, hakim asal Sulawesi Selatan Prof. HM Laica Marzuki menyampaikan pendapat berbeda atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Ia berpendapat, selaku badan hukum publik Sulsel berhak mendapat perlakuan yang sama dan adil dengan provinsi lain yang ditunjuk sebagai provinsi induk.

 

Kewajiban yang dibebankan kepada Pemda Sulsel itu justru tidak diterapkan kepada provinsi induk lain seperti Sulawesi Utara ketika pemekaran Gorontalo (UU No. 38/2000), Riau saat munculnya Provinsi Riau Kepulauan (UU No. 13/2000), Jawa Barat yang dimekarkan menjadi Provinsi Banten (UU No. 23/2000). Demikian pula pada saat Provinsi Bangka Belitung terbentuk lewat Undang-Undang No. 27 Tahun 2000.

 

Laica menyitir frase dalam Konstitusi Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan... Bagi Laica, ketentuan pasal 15 ayat (7) dan (9) UU Pembentukan Provinsi Sulbar pada hakikatnya merupakan perlakuan diskriminatif. Klausul itu justru mendorong Pemerintah Pusat untuk bertindak tidak adil serta menjalankan ketidakselarasan relasi keuangan Pusat dan Daerah.

 

Seharusnya, imbuh Laica, diberlakukan suatu undang-undang yang mengikat secara umum dalam makna een algemene wet voorschrift. Berbeda pendapat dengan delapan hakim lain, seraya mengutip buku Community Legal Service (London, Juni 2001), Laica menganggap diskriminasi telah terjadi manakala seseorang mendapat perlakuan buruk. Discrimination happens when someone is treated worse.

Kekecewaan Mas Bakar terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak mengabulkan permohonan pengujian terhadap sebagian pasal Undang-Undang No. 26 Tahun 2004. Putusan itu dibacakan dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Selasa (12/4). Apa boleh buat, putusan ini kan bersifat final. Kami hanya ingin keadilan, ujarnya.

 

Klien Mas Bakar, yakni HM Amin Syam, memang permasalahkan Undang-Undang tentang Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) itu. Amin Syam, yang sehari-hari bertugas sebagai Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel), menilai pasal 15 ayat (7) dan ayat (9) Undang-Undang tersebut merugikan hak konstitusionalnya dan jelas bertentangan dengan Konstitusi. Kewajiban Provinsi Sulsel dalam pasal itu dinilai Syam diskriminatif serta bertentangan dengan prinsip equal justice before the law.

 

Pandangan Amin Syam itu diamini oleh Bambang Purwoko, ahli dari Universitas Gadjah Mada yang dihadirkan pemohon dalam sidang MK. Ahli lain, DR Maria Farida, bahkan menganggap pasal 15 Undang-Undang Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat ‘berlebihan dan diskriminatif'.

 

Tetapi, MK berpendapat lain. Lembaga negara yang diketuai Prof. Jimly Asshiddiqie itu berpendapat, keadilan bukan berarti semua subjek hukum sama tanpa melihat kondisi setiap pihak. Keadilan di mata MK justru harus menerapkan proporsionalitas. Artinya, memperlakukan sama terhadap hal-hal yang sama dan memperlakukan berbeda terhadap hal-hal yang berbeda. Diskriminasi baru dapat dikatakan ada jika terdapat perlakuan yang berbeda tanpa adanya alasan yang masuk akal (reasonable ground) guna membuat perbedaan itu.

Tags: