Masih Banyak yang Belum Paham
Fokus

Masih Banyak yang Belum Paham

Mudah-mudahan MK menjadi model pengadilan yang bisa dipercaya di masa depan dan menjadi contoh lembaga negara dalam hal manajemen administrasi.

Oleh:
M-1
Bacaan 2 Menit
Masih Banyak yang Belum Paham
Hukumonline

 

Jimly menjelaskan bahwa berperkara di MK tidak seperti berperkara di pengadilan pada umumnya karena di MK tidak ada istilah terdakwa, dan pihak yang dihadirkan bukan untuk diadili, tetapi lebih pada bagaimana agar terwujud kontrol sehingga terwujud penyelenggaran  negara yang baik. Jimly menyayangkan banyaknya pejabat yang senang berkomentar meski kadang tidak mengetahui duduk permasalahan yang sebenarnya. Tindakan demikian bisa membingungkan rakyat.

 

Dalam pengujian undang-undang, Jimly mengakui bahwa putusan MK sering dianggap kontroversial dan menentang arus. Hal itu karena setiap undang-undang dihasilkan oleh presiden dan wakil presiden yang dipilih langsung oleh rakyat sehingga UU pada hakikatnya mencerminkan kehendak rakyat, namun dapat diuji hanya oleh sembilan MK. UU yang dibuat dengan kehendak mayoritas belum tentu mencerminkan kebenaran konstitusional dan keadilan konstitusional, ujar Jimly.

 

Dalam penyelesaian sengketa hasil pemilu, kendala yang ada menurut Jimly mengenai singkatnya waktu yang diharuskan. Tapi semua sudah berhasil kita tata sistemnya, tandas Guru Besar Hukum Tata Negara itu.

 

Mengenai wewenang MK saat ini, Jimly menghargai perbedaan pendapat dalam masyarakat yang sebagian menganggap wewenang MK terlalu luas, namun sebagian menilai terlalu sempit. Disamping memiliki kewenangan dan kewajiban sebagaimana terdapat dalam UUD dan UU MK, Jimly menyebutkan bahwa MK mempunya fungsi sebagai pelindung hak-hak konstitusional, penafsir UUD, pengawal demokrasi dan pengawal konstitusi. Menyadari semua UU bisa diuji dan bahkan dibatalkan oleh MK, Jimly mempersilakan jika MPR akan mengatur kewenangan MK hanya dalam UUD dan tidak dalam UU.

 

Terkait gagasan sebagian kalangan mengenai perlunya MK menangani constitutional complaint (pengaduan konstitusional dari setiap warga negara yang dirugikan hak konstitusional nya sebagaimana diatur dalam UUD, tanpa harus merujuk secara langsung mengenai UU mana yang telah melanggar haknya, red), Jimly menjelaskan bahwa MK saat ini berdasarkan UUD 1945 dan UU MK tidak memiliki kewenangan untuk itu. Namun demikian, Jimly menilai bahwa adanya pengujian UU setidaknya dapat dianggap sebagai constitutional complaint. Isinya constitutional complaint, bentuknya pengujian UU, ujarnya.

 

Refly Harun, Asisten Hakim Konstitusi dan  Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara UI menilai bahwa dengan melihat kompleksitas persoalan ketatanegaraan di era reformasi ini, serta menimbang potensi pelanggaran hak-hak konstitutional warga negara, terasa urgen untuk melengkapi kewenangan MK dengan sebuah mekanisme constitutional complaint seperti dipraktekkan negara-negara lain. Dengan kewenangan ini setiap perkara yang berhubungan dengan dugaan pelanggaran konstitusi dapat diajukan ke MK.

 

Meski mengakui bahwa dalam setiap putusan MK berdasarkan UUD 1945, Jimly tidak mempermasalahkan sebagaian kalangan yang mengkritik UUD 1945 hasil amandemen dan menginginkan kembali ke UUD 1945 asli. Di alam demokrasi, silakan berbeda pendapat dalam memahami konstitusi, tapi yang tidak setuju dengan UUD 1945 sekarang, bukan berarti mereka tidak terikat. Dalam perjalannya selama tiga tahun, Jimly menyayangkan sampai saat ini, keberadaan MK masih belum banyak diketahui oleh masyarakat.

 

Pemilihan ketua

Terkait pemilihan ketua MK yang akan dilaksanakan pada 18 Agustus 2006, Jimly mengharapkan ada pergiliran dalam ketua MK. Saya siap bila menjadi hakim anggota biasa, ujarnya merendah.

 

Jimly menilai pembatasan masa jabatan hakim MK, terutama ketua dan wakil ketuanya merupakan hal yang sangat penting mengingat hakim MK memiliki kewenangan yang cukup besar. Kalau tidak pandai-pandai (bersikap, menjaga diri, red),  hakim konstitusi bisa menjadi tirani judicial. Ini berbahaya, tandas Jimly.

 

Mengenai pengambilan sumpah jabatan ketua dan wakil ketua MK nantinya, menurut Jimly dirinya telah membicarakan dengan Wakil Presiden Yusuf Kalla dan disepakati tanggal 22 Agustus 2006. Namun menurutnya, hal itu akan dibicarakan lebih lanjut dengan Presiden.

 

Namun demikian, terkait kewenangan MK memutus perkara yang menyangkut kepentingannya sendiri seperti yang pernah terjadi pada pembatalan Pasal 50 UU MK, pakar hukum tata negara dari Universitas Krisnadwipayana Lodewijk Gultom mengaku khwatir. Ini membuat MK berpeluang menjadi superbody tandas Lodewijk.

 

Menurut dia, seharusnya MK tidak berwenang menguji peraturan perundang-undangan yang menyangkut kepentingan MK sendiri, tetapi apabila ingin memperbaiki norma menurut Lodewijk seharusnya kewenangan memutus yang menyangkut dirinya tersebut diserahkan ke DPR dan Presiden selaku pembuat UU.

 

Lodewijk berharap agar kewenangan MK lebih diatur secara jelas di UUD 1945 dan dirinya juga mengusulkan amandemen UUD 1945. Harapan saya ada amandemen UUD, jadi ditata ulang bagaimana batasan MK. Menurut saya, batasan atasnya pembukaan UUD 1945, dan batas bawah adalah perlindungan HAM, kata Lodewijk.

 

Sementara itu, Lodewijk khawatir dengan perkembangan putusan yang dibuat oleh MK. Menurut Lodewijk terkadang putusan MK justru tidak sesuai dengan spirit UUD 1945. Lodewijk memberi contoh mengenai putusan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang membatalkan penjelasan pasal 2 ayat (1) sehingga sekarang pembuktian korupsi harus dibuktikan dengan ajaran melawan hukum formil.

 

Lodewijk menilai saat ini belum ada parameter yang jelas bagi MK dalam menguji UU Parameternya itu ditentukan secara otonom oleh hakim MK, sedangkan yang membuat UUD 1945 itu bukan MK. Itu semua produk politik di MPR. Harusnya dikembalikan legi kepada si pembuat (MPR, red) jelas Lodewijk.

 

Berbahaya sekali kalau tidak ada kontrol terhadap produk MK, ujar Lodewijk. Menurut Lodewijk, lembaga yang pantas mengontrol MK dari sisi kelembagaan adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sedangkan dari sisi indvidu hakim adalah Komisi Yudisial (KY). Jadi ada checks and balances kepada lembaga yudikatif, tambahnya.

 

Meski mengkui saat ini tidak ada lembaga negara yang tertinggi, Lodewijk tetap berharap agar MPR berwenang meminta laporan dari lembaga Negara, termasuk MK, untuk kemudian dinilai dan uji tetapi bukan untuk dimintai pertanggungjawaban. Untuk hal tersebut, dirinya mengusulkan agar diadakan sidang tahunan MPR seperti dahulu.

 

Dalam penilaian Lodewijik, kewenangan MK yang patut dicermati adalah menyangkut pengujian UU dan Impeachment. Dua soal itu menyentuh langsung dengan persoalan ketatanegaraan dan kehidupan keseluruhan, tukas Lodewijk.

 

Ke depan, Lodewijk berharap agar MK mencermati pendapat masyarakat yang mengomentari putusan MK karena bisa saja keinginan masyarakat menjadi mendekatkan kita ke UUD 1945. Menurut Lodewijk, jika ada pihak yang tidak puas terhadap putusan MK yang telah berkekuatan hokum tetap dan bersifat final, Lodewijk mengusulkan agar masyarakat melakukan class action.

 

Demikian dikatakan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. Jimly Asshiddiqie saat memperingati tiga tahun berdirinya MK di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (14/8). Dalam menjalankan kewenangannya selama tiga tahun berdiri MK menghadapi tugas yang tidak ringan. Sengketa lembaga negara menjadi kewenangan MK yang paling rawan, ujarnya.

 

Sejauh ini masih ada kendala psikologis dari para pejabat negara untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapi secara legal di MK. Mereka lebih senang bersengketa di pers.  Jimly mengakui bahwa menyelesaikan perkara tidak hanya bisa dilakukan di pengadilan, tetapi bisa juga dilakukan dengan pendekatan bilateral ataupun secara administratif. Namun kalau tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan bilateral dan administratif, kenapa tidak di bawa ke MK? tanyanya.

Tags: