Melonjak, Cerai Akibat Penganiayaan
Berita

Melonjak, Cerai Akibat Penganiayaan

Istri masih sering jadi korban penganiayaan. Termasuk kekerasan dalam rumah tangga.

Her
Bacaan 2 Menit
Melonjak, Cerai Akibat Penganiayaan
Hukumonline

 

Melonjaknya angka perceraian akibat penganiayaan dipicu beberapa sebab.  Said Munji, anggota Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung, menyatakan, penyebab utamanya ialah kelirunya pola pikir masyarakat. Banyak yang menganggap perkawinan hanya sebagai lembaga penyaluran nafsu biologis, ujarnya. Karena itu, sering terjadi tindakan sewenang-wenang.

 

Di samping itu, Said menuding Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) tidak lagi efektif menangkal konflik rumah tangga. BP4, sebuah lembaga di bawah naungan Departemen Agama, memang punya fungsi untuk melanggengkan rumah tangga yang dibangun masyarakat. Tapi, menurut Dirjen Bimas Islam, Nasaruddin Umar, BP4 kekurangan dana sehingga tak bisa bekerja maksimal.

 

Sementara itu, Direktur LBH APIK, Estu Rakhmi Fanani, punya pandangan lain. Menurutnya, tingginya angka perceraian akibat penganiayaan karena perempuan sudah makin memahami hak-haknya, sehingga mereka menggugat cerai suaminya. Di samping itu, tentu karena jumlah KDRT (kekerasan dalam rumah tangga—red) meningkat, ujarnya.

 

Seperti sudah menjadi 'tradisi', istri adalah pihak yang selalu menjadi korban sebuah perkawinan yang gagal. Mereka kerap menjadi korban penganiayaan. Maka tidak mengherankan, seperti tahun-tahun sebelumnya, sekitar 65% perceraian pada 2006 diajukan oleh pihak istri. Dalam proses hukum, hal itu biasa disebut cerai gugat, untuk membedakan cerai talak yang diajukan pihak suami.

 

Sesuai ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, istri memang berhak mengajukan cerai. Hal-hal yang bisa dijadikan alasan untuk menggugat cerai, menurut Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI), di antaranya bila suami melakukan penganiayaan atau sengaja meninggalkan kewajibannya.

 

Di Pengadilan Agama (PA), seorang istri yang mengajukan gugatan cerai karena dianiaya suaminya, harus dapat membuktikan bahwa penganiayaan itu bukan sekedar klaim. Alat buktinya bisa berupa surat, saksi, atau pengakuan, kata Abdussalam, hakim dan juru bicara PA Jaksel. Salah satu surat atau dokumen yang diperlukan adalah keterangan visum dari rumah sakit, yang menyatakan bahwa sang istri telah mengalami penganiayaan.

 

Bisa dipidana

Penganiayaan, menurut Estu, sebenarnya tak hanya bisa digunakan untuk menjadi alasan perceraian. Penganiayaan adalah bentuk KDRT, ujarnya. Pelaku KDRT bisa dijerat dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pelakunya dapat dipenjara hingga lima tahun.

 

Pasal 1 ayat (1) UU No. 23/ 2004 menyatakan, KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam Iingkup rumah tangga.

 

Menurut Said Munji, selama ikatan perkawinan belum putus, seorang istri yang mengalami penganiayaan dari suaminya dapat melaporkan tindakan suaminya kepada aparat kepolisian. Kalau  sudah bercerai, ya sudah tidak kontekstual, paparnya.

 

Pendapat Said agaknya menyimpang dari UU No. 23/2004. Sebab, KDRT merupakan delik biasa, kecuali kekerasan yang menyangkut seksualitas. Dengan demikian, sejatinya aparat kepolisian dapat saja menindaklanjuti suatu putusan perceraian akibat penganiayaan. Atau, pihak PA bisa berperan aktif dengan cara menembuskan putusan itu kepada kepolisian agar diproses secara pidana.

 

Tapi KDRT kan wilayah pidana. Kita hanya menyelesaikan yang wilayah perdata saja, kata Abdussalam. Karena itu, tidak mengherankan, penganiayaan sebatas menjadi alasan perceraian, bukannya sebagai pintu gerbang bagi proses pidana.

 

Uniknya, berdasarkan penelitian LBH APIK, jarang sekali ada istri yang jadi korban penganiayaan mau menempuh upaya pidana. Biasanya, istri lebih mementingkan keutuhan rumah tangga agar anak-anaknya tidak telantar, ujar Estu.

Pulangkan saja aku pada ayahku atau ibuku. Begitulah senandung lirih sebuah lagi Betharia Sonata, menggambarkan kepedihan hati seorang istri yang disakiti suaminya. Lagu yang populer di tahun 1980-an itu tampaknya tetap kontekstual, mengingat masih banyaknya kasus penganiayaan yang dilakukan suami terhadap istri.

 

Mari kita simak laporan tentang faktor-faktor penyebab perceraian tahun 2006. Ketika jumlah perceraian menurun, perceraian akibat penganiayaan justru melonjak. Secara keseluruhan, jumlah perceraian mengalami penurunan, dari 150.395 pada 2005, menjadi 148.663 pada 2006. Namun, perceraian akibat penganiayaan meningkat dari 916 menjadi 1.110.

 

Jumlah Perceraian Akibat Penganiayaan

PTA

2006

2005

Semarang

329

259

Surabaya

167

192

Bandung

120

116

Ujung Pandang

100

80

Jakarta

89

18

Total seluruh PTA

1.110

916

Sumber: Himpunan Data Statistik Perkara di Lingkungan PA (2006)

 

'Rekor' perceraian akibat penganiayaan masih dipegang Jawa Tengah. Pada 2005, Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Semarang memutus perkara cerai akibat penganiayaan sejumlah 259. Tahun berikutnya, terjadi peningkatan sekitar 10 % menjadi 329.

 

Kabar tak sedap juga datang dari Jakarta. Sepanjang 2005, perceraian akibat penganiayaan hanya 18. Tahun barikutnya, jumlah itu meningkat tajam menjadi 89. Peningkatan itu mencapai 500 %.

Tags: