Gugatan Korban Banjir Kandas Lagi
Berita

Gugatan Korban Banjir Kandas Lagi

Majelis hakim menyatakan Pemprov DKI telah menangani banjir dengan benar. Tidak ada kelalaian. Juga tak ada perbuatan melawan hukum. Sejarah terulang?

Oleh:
Her
Bacaan 2 Menit
Gugatan Korban Banjir Kandas Lagi
Hukumonline

 

Berdasarkan bukti-bukti yang ada, majelis hakim menyimpulkan, tidak ada hubungan sebab-akibat antara perbuatan tergugat dengan kerugian yang ditanggung penggugat. Penggugat tidak bisa membuktikan adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan para tergugat, ungkap Moefri.  Karena itu, majelis memutuskan gugatan ini harus ditolak dan penggugat harus membayar biaya perkara.

 

Gugatan class action ini diajukan ratusan warga Jakarta yang terkena banjir yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Korban Banjir Jakarta, Juni lalu. Diwakili 11 penggugat prinsipil dalam persidangan, mereka menuntut Gubernur dan seluruh Wali Kota DKI Jakarta bertanggung jawab atas terjadinya banjir besar yang terjadi pada Februari silam.

 

Pemprov DKI dianggap lambat dan buruk dalam mengambil tindakan menanggulangi banjir, sehingga pemulihan terhadap korban banjir menjadi tidak terpenuhi. Selain itu, para tergugat juga dinilai telah melakukan diskriminasi, komersialisasi dan pemberian bantuan yang tidak merata terhadap korban yang berada di perkampungan ilegal, seperti di Kelurahan Cipinang Besar Selatan, Kebon Pala, dan Warakas.

 

Para penggugat pun menuntut para tergugat agar membayar ganti rugi materil Rp51 juta dan immateril Rp100 juta untuk setiap korban. Penggugat juga menuntut agar para tergugat meminta maaf di media cetak dan elektronik.

 

Usai pembacaan putusan, para tergugat langsung menyatakan banding. Kami terkena dampak banjir. Kami tidak mengarang-ngarang. Pengadilan tak memihak kepada kebenaran, kata Effendi, salah satu penggugat.

 

Sementara itu, kuasa hukum gubernur DKI Made Suarjaya menyatakan kepuasannya atas putusan hakim. Kami siap menghadapi banding. Kami tetap optimis, ujarnya.

 

Sejarah terulang

Kandasnya gugatan ini menjadi catatan tersendiri bagi LBH Jakarta. Lembaga yang dipimpin Asfinawati inilah yang mendampingi para penggugat yang mengajukan class action. Meski hanya melakukan pendampingan di luar sidang, namun peran LBH Jakarta tetap signifikan.

 

Lima tahun silam, gugatan class action banjir yang diajukan LBH Jakarta terhadap gubernur DKI juga tak membuahkan hasil.  Gugatan itu mentah di PN Jakarta Pusat. Majelis hakim saat itu mendalilkan, tanggung jawab terjadinya banjir di berada di tangan para wali kota, bukan pada gubernur.

 

Tak puas dengan putusan itu, LBH Jakarta lantas mengajukan banding. Tapi upaya banding kandas pula. Majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta malah menguatkan putusan PN Jakarta Pusat. Lantas, upaya kasasi akhirnya menjadi pilihan terakhir. Pada akhir 2005 lalu, kasasi itu telah diajukan. Sayang, berkas kasasi dengan register No. 2414K/PDT/2005 itu kini masih bersemayam di gedung MA bersama ribuan berkas perkara yang lain.

 

Sebelum gugatan episode ke-2 ini diajukan, sejatinya LBH Jakarta telah merancang strategi khusus agar kegagalan gugatan serupa pada 2002 silam tak terulang. Hal baru yang dimunculkan LBH Jakarta salah satunya adalah kebohongan publik yang dilakukan Gubernur DKI Sutiyoso sebelum dan saat banjir melanda.

 

Yang termasuk dalam kebohongan publik, menurut Asfinawati, adalah tiadanya transparansi dalam pembangunan fasilitas-fasilitas yang diproyeksikan untuk mengantisipasi banjir. Hal itu misalnya tampak pada proyek Banjir Kanal Timur yang menelan biaya besar, kata Asfinawati, awal Mei lalu.

 

Di samping itu, gugatan kali ini tak hanya ditujukan kepada Gubernur DKI, tetapi juga terhadap seluruh Wali Kota Jakarta. Penambahan para tergugat ini tentu dilatarbelakangi oleh putusan sebelumnya yang menyatakan tanggung jawab terjadinya banjir di berada di tangan para wali kota, bukan pada gubernur.

 

Curiga

Advokat publik LBH Jakarta Nurcholis melihat banyak kejanggalan dalam putusan kali ini. Menurutnya, majelis hakim mengabaikan bukti-bukti yang diajukan para penggugat. Keterangan lima saksi fakta, dua saksi ahli  dan bukti-bukti tertulis diabaikan majelis hakim. Putusan itu tidak rasional, paparnya.

 

Seluruh alat bukti itu, kata Nurcholis, sudah cukup untuk membuktikan adanya kelalaian yang dilakukan pemerintah DKI dalam menanggulangi banjir. Bahkan, ia menilai banjir dan dampaknya bagi warga Jakarta merupakan fakta yang tak bisa dibantah lagi.

 

Nurcholis curiga majelis hakim masih mempersoalkan status para penggugat. Dari awal persidangan, para tergugat memang melontarkan argumen bahwa sebagian besar penggugat bukan warga Jakarta. Mereka mendapat cap 'warga ilegal'. Di akhir persidangan, sepertinya majelis masih berpikiran seperti itu, meskipun ini tidak terungkap dalam putusan, beber Nurcholis.

 

Melalui upaya banding, menurut Nurcholis, para penggugat akan mempersoalkan kompetensi saksi yang diajukan para tergugat. Kami juga akan melakukan sanggahan mengenai beban pembuktian, PMH, dan kerugian,  imbuhnya.

 

Perjuangan para korban banjir di Jakarta Februari silam akhirnya kandas di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (1/10). Dalam putusannya, majelis hakim yang dipimpin Moefri menyatakan gugatan class action yang mereka ajukan terhadap pemerintah DKI Jakarta harus ditolak.

 

Oleh karena pemerintah provinsi DKI Jakarta telah menjalankan kewajibannya menanggulangi banjir sesuai prosedur, maka unsur kelalaian tidak terbukti, kata Moefri.

 

Saksi-saksi yang dihadirkan dalam persidangan, menurut majelis hakim, tidak ada yang menyangkal bahwa penanganan banjir sudah sesuai prosedur. Di samping itu, bukti-bukti tertulis juga menunjukkan bahwa Pemprov  DKI Jakarta telah menjalankan kewajibannya secara benar.

 

Majelis hakim berpijak pada konsep Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang tercantum dalam pasal 1365 KUHPerdata.  Strict liability atau kesalahan mutlak, menurut majelis hakim, tidak dikenal dalam pasal 1365 KUHPerdata. Penggugat harus membuktikan adanya kesalahan yang menyebabkan kerugian.

Tags: