Perda Bermasalah, Buah Otonomi Kebablasan
Oleh: Kusmito Gunawan*)

Perda Bermasalah, Buah Otonomi Kebablasan

Terbersit dalam pikiran, apakah pemerintah daerah telah melakukan pembangkangan secara berlahan, telah menghilangkan esensi otonomi daerah dan berupaya menggugurkan nilai-nilai Negara Kesatuan Republik Indonesia?

Bacaan 2 Menit
Perda Bermasalah, Buah Otonomi Kebablasan
Hukumonline

 

Perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi adalah Perda yang baik prosedur pembentukan dan atau isinya bertentangan dengan Peraturan Pemerintah, Undang-Undang, dan peraturan peraturan perundang-undangan lain yang dalam tata urutan berada di atas Perda. Dari hasil penelitian yang penulis lakukan di Bengkulu, terungkap bahwa Perda yang dibatalkan Pemerintah lebih sering bertentangan UU No.34 Thn 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, PP No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, PP No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, dan peraturan-peraturan lain yang dikeluarkan oleh Menteri mengenai izin usaha, perdagangan, dan sebagainya.

 

Sebagai contoh, Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 2006 telah membatalkan Perda Provinsi Bengkulu No. 2 Tahun 2003 tentang Pengusahaan Pertambangan Umum. Ada pula pembatalan Perda Kabupaten Bengkulu Utara No. 13/2002 tentang Retribusi Produksi Minyak Kelapa Sawit. Tahun 2002 silam Mendagri juga membatalkan Perda Kabupaten Bengkulu Selatan No. 21/2000 tentang Retribusi Kartu Ternak.

 

Perda Kota Bogor No. 9 Tahun 2004 tentang Izin Usaha Kepariwisataan misalnya dibatalkan Mendagri lantaran dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yakni pasal 103 PP No. 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan. Dua Perda Bogor yang juga dibatalkan Mendagri adalah Perda No. 11 Tahun 2004 tentang Perizinan di Bidang Perindustrian dan Perdagangan, dan Perda No. 2 Tahun 2004 tentang Retribusi Bidang Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

 

Pertentangan terjadi antara lain karena Perda tumpang tindih dengan pajak pusat, seperti Pajak Komoditi Perkebunan (PKP) dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta pertentangan Pajak Pengelolaan Migas (PPM) dengan PPN dan PBB. Dalam praktek, suatu daerah tetap memberlakukan pajak kepada badan usaha padahal badan usaha bersangkutan sudah dikenakan pajak oleh Pusat. Ini sering ditemukan pada sektor pertambangan.

 

Pengaturan Sanksi dan Pengawasan

Dalam rumusan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 34 Tahun 2000 maupun sejumlah peraturan Menteri, memang tidak diketemukan ketentuan yang mengatur sanksi apabila Pemda tidak menyampaikan rancangan Perda tentang pajak dan retribusi kepada pemerintah. Akibatnya, Pemda ogah-ogahan dan terkesan membangkang. Ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah masih belum mampu memaknai secara komprehensif dan holistik mengenai hak, wewenang serta kewajiban sebagai bagian dari pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan.

 

Merumuskan dan melakukan revisi UU No. 34 Tahun 2000 ataupun UU No. 32 Tahun 2004 yang mengatur mengenai sanksi bagi Pemda adalah sangat bijak dan menjadi keniscayaan. Meskipun disadari, untuk mencari formulasi sanksi yang tepat tidaklah mudah, karena tidak mungkin memberikan sanksi yang bersifat politis. Kalaupun dimungkinkan hanya sanksi administratif yang dapat diberikan kepada Pemda. Bentuknya dapat berupa penataan kembali suatu daerah otonom, evaluasi terhadap bantuan pusat kepada daerah, atau penangguhan DAU.

 

Berkaitan dengan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah khususnya pembentukan Perda oleh pemerintah daerah propinsi, kabupaten/kota, selama ini dikenal adanya pengawasan preventif dan represif.  Pengawasan preventif berlangsung dimana pengawasan yang dilakukan sebelum keputusan atau peraturan efektif berlaku. Pengawasan ini dikhususkan terhadap rancangan Perda yang mengatur pajak dan retribusi daerah, APBD, dan tata ruang daerah sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Mendagri. Begitupun terhadap hierarki pemerintahan di bawanya, gubernur mengevaluasi Perda Kabupaten dan Kota. Sedangkan pengawasan represif dilakukan setelah Perda ditetapkan dan diberlakukan.

 

Akan tetapi dalam praktik selama ini, kedua pengawasan tersebut tidaklah berjalan secara efektif. Salah satunya karena di lapangan masih ditemukan kendala teknis. Misalkan, belum memadainya sistem technology informations (IT) di Pemda khususnya daerah kabupaten, kondisi giografis dan transportasi, keterbatasan sumber daya manusia di Depdagri dan Depkeu yang bertugas melakukan  pengawasan langsung. Disamping itu, banyaknya Perda yang harus dievaluasi dari sekitar 363 kabupaten, 93 kota, dan 33 propinsi yang ada di Indonesia.

 

*) Penulis adalah Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Bengkulu. Tulisan ini adalah pandangan pribadi penulis, tak ada hubungannya dengan tempat penulis bekerja.

 

Pertanyaan itu muncul mengingat kontroversi Perda yang terus berlanjut. Salah satu data menunjukkan ada sekitar 1.366 rancangan Perda tentang pajak dan retribusi yang tidak dilaporkan ke pemerintah pusat dalam hal ini Depdagri dan Depkeu. Data lain yang dilansir belum lama ini mencatat sejak 2001 hingga akhir September 2007 lalu, tak kurang dari 1.276 Perda tentang pajak, retribusi dan jenis pungutan lain dibatalkan Pemerintah Pusat.  

 

Perda yang dibatalkan hampir pasti akan bertambah. Yang paling banyak adalah Perda yang memberi wewenang kepada otoritas Pemda untuk mewajibkan berbagai iuran di daerahnya.  Pelaksanaan otonomi daerah, memungkinkan Pemda melakukan upaya-upaya konkrit dalam menggali potensi daerah terutama meningkatkan pendapatan daerah. Peluang itu juga dibuka pasal 12 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menurut pasal ini, materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Bukan hanya itu, materi Perda juga dalam rangka menampung kondisi khusus daerah dan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

 

Instrumen untuk mewujudkan hal tersebut, tentunya harus dibuat payung hukum dalam bentuk Perda. Secara teori, menggali potensi daerah dengan melakukan pungutan pajak.dan retribusi �dalah sesuatu yang jauh lebih mudah jika dibandingkan upaya terobosan lain dalam mencari alternatif meningkatkan PAD. Apalagi Pemda dan DPRD dapat dengan mudah meng-copypaste Perda daerah lain yang lebih dahulu mengatur pajak, retribusi, dan pungutan. Biasanya meng-copypaste itu dilakukan pada saat anggota DPRD dan Pemda melakukan studi banding ke daerah lain.

 

Masalah Perda

Selama ini kategori Perda yang bermasalah merujuk pada dua hal penting, yaitu Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum, dan Perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi.

 

Secara teoritis, suatu Perda dikatakan bertentangan dengan kepentingan umum apabila pemberlakuan Perda tersebut berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, pelayanan umum, dan ketentraman/ketertiban umum. Bisa pula karena kebijakan yang tertuang didalamnya bersifat diskriminatif. Jadi, dapat diyakini, apabila dipaksakan keberlakuannya maka akan menimbulkan konflik di masyarakat. Sebagai contoh, banyak pengusaha dan warga masyarakat yang merasa keberatan dengan adanya pungutan ganda dalam perizinan. Pungutan ganda mengakibatkan disinsentif ekonomi yang dapat merusak pola perdagangan, inventasi dan produk yang konsekuensinya menyebabkan ekonomi biaya tinggi (higt cosh economy).  

Tags: