Kepailitan SPV dalam Transaksi KIK-EBA
Oleh: Hendra Setiawan Boen *)

Kepailitan SPV dalam Transaksi KIK-EBA

Di Indonesia belum ada perusahaan yang melakukan penerbitan KIK-EBA. Umumnya para pemodal masih memiliki keraguan akan unsur profitibilitas dari KIK-EBA.

Bacaan 2 Menit
Kepailitan SPV dalam Transaksi KIK-EBA
Hukumonline

a. KIK-EBA mewujudkan SPV, dan KIK-EBA bukan merupakan badan hukum, melainkan suatu perjanjian sui generis yang dibuat oleh Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat mereka berdua dan para pemegang EBA. Karena KIK-EBA bukan badan hukum dan tidak memiliki persona standi in iudicio, dan bukan pula merupakan persekutuan perdata, CV atau firma, maka KIK-EBA tidak dapat tampil di muka pengadilan sebagai penggugat maupun tergugat, karena inilah KIK-EBA tidak dapat dipailitkan (Fred B.G. Tumbuan. Menelaah KIK-EBA Sebagai Wahana Sekuritisasi. Jurnal Hukum & Pasar Modal Edisi 1/Januari 2005. Hlm. 35).

b. SPV adalah subjek hukum mandiri dan harus berbentuk Perseroan Terbatas. Setelah menerima penyerahan piutang dari originator dengan sistem jual putus, maka SPV hanya menerbitkan satu surat utang (global note) dan menitipkannya kepada wali amanat, untuk kemudian diteruskan kepada para investor. Setiap investor hanya memiliki satu bagian dari global note tersebut (serupa dengan konsep harta milik bersama terikat dalam hukum perdata Indonesia). Sehingga sebanyak apapun investor, mereka tetap dihitung sebagai satu kreditur terhadap SPV. Seumur hidupnya, SPV hanya diperbolehkan menerbitkan satu global note dalam sekali waktu, hal ini untuk menghindari terpenuhinya syarat dua kreditur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan. Selama SPV hanya memiliki satu kreditur, maka KIK-EBA tidak dapat dipailitkan, atau sulit dipailitkan.

 

B. SPV SEBAGAI PERJANJIAN SUI GENERIS

Menurut penulis apabila diasumsikan bahwa KIK-EBA adalah perjanjian sui generis, maka kegiatan bisnis antara manajer investasi dan bank kustodian dapat dikategorikan sebagai persekutuan perdata berdasarkan Pasal 1618 KUHPer.

 

Sempat terjadi perdebatan di antara praktisi dan akademisi di bidang hukum perihal apakah perjanjian di antara dua atau lebih badan hukum untuk melakukan satu kegiatan dengan tujuan yang sama dapat dikategorikan sebagai persekutuan perdata, misalnya perjanjian kerja sama operasi. Yang lebih penting lagi apakah kata orang dalam pasal a quo dimaksudkan untuk manusia (natural person) saja atau juga melingkupi badan hukum (legal entity).

 

Akhirnya pandangan badan hukum dapat membentuk persekutuan perdata-lah yang diterima. Dalam hal penerbitan KIK-EBA sebagai SPV, penulis mencermati salah satu syarat persekutuan perdata dalam Pasal 1618 KUHPer tidak terpenuhi, yaitu syarat adanya pembagian untung – rugi antara sekutu, sebab bank kustodian memperoleh imbalan berupa fee, dan prakteknya tidak ada perjanjian pembagian keuntungan / kerugian antara manajer investasi dan bank kustodian.

 

Di Indonesia belum ada perusahaan yang melakukan penerbitan KIK-EBA. Sebab, umumnya para pemodal masih memiliki keraguan akan unsur profitibilitas dari KIK-EBA. Sehingga untuk memperoleh kesimpulan KIK-EBA sebagai SPV adalah persekutuan perdata penulis harus melihat pada salah satu bentuk investasi pada pasar modal lainnya, yaitu reksa dana.

 

Seperti KIK-EBA, dalam reksa dana atau mutual fund juga terdapat perjanjian antara manajer investasi dan bank kustodian, dan bank kustodian memperoleh fee berdasarkan perjanjian tersebut tanpa adanya pembagian keuntungan. Dalam praktek, khususnya yang berhubungan dengan aspek perpajakan, reksa dana adalah persekutuan perdata. Berdasarkan kemiripan unsur antara KIK-EBA dan mutual fund, penulis menafsirkan KIK-EBA juga dapat dianggap sebagai persekutuan perdata.

 

Sebagai persekutuan perdata, maka manajer investasi dan bank kustodian selaku sekutu pada KIK-EBA (SPV) dapat dimintakan pertanggungjawaban secara tanggung renteng terhadap kegiatan persekutuan, termasuk dimintakan pailit. Tentu saja dengan tetap memperhatikan Pasal 2 ayat (3) jo (4) UU Kepailitan.

 

C. SPV SEBAGAI PERSEROAN TERBATAS

Salah satu praktisi dan akademisi di bidang hukum pasar modal telah mengakui bahwa SPV bukanlah suatu lembaga yang memperoleh keistimewaan sebagai suatu institusi yang hanya dapat dimohonkan pailit oleh otoritas tertentu (DR. Gunawan Widjaja, Paramitha Sapardan. Asset Securitization. Hlm. 142). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa selama SPV didapati mempunyai lebih dari satu kreditur, maka berdasarkan teori ini, SPV, seperti halnya debitur lain dapat dimohonkan pailit.

 

Pasal 7 ayat (2) Peraturan Presiden No. 19 tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan menyatakan bahwa: Dalam hal efek beragun aset berupa surat partisipasi, kumpulan piutang merupakan milik bersama pemodal yang tidak terbagi. Melalui pasal a quo, maka global note yang diterbitkan SPV dapat dikategorikan sebagai milik bersama para investor, dan para investor hanya memiliki satu bagian dari milik bersama ini, yang dalam penjelasan Peraturan Presiden a quo menyatakan konsekuensi kepemilikan bersama ini adalah pelaksanaan hak tagih harus dilakukan secara bersama-sama.

 

Berdasarkan Pasal 1 butir 2 UU Kepailitan, kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.

 

Pasal 1 butir 6 UU Kepailitan menyatakan utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.

 

Melalui definisi kreditur dan utang UU Kepailitan, ternyata dapat dibaca bahwa hanya karena investor KIK-EBA memiliki satu bagian saja dari sebuah global note, bukan berarti masing-masing investor bukanlah kreditur terhadap SPV, karena dalam UU Kepailitan tidak dikenal pemecahan utang. Sebab bagian dari global note tersebut dapat dinyatakan dalam sejumlah uang baik secara langsung maupun kontinjen karena adanya perjanjian antara SPV melalui wali amanat dengan para investor. Karena SPV memiliki utang terhadap setiap bagian global note yang dimiliki masing-masing investor, maka berdasarkan UU Kepailitan dapat dikatakan jumlah kreditur SPV adalah sejumlah investor yang memiliki bagian dalam KIK-EBA yang diterbitkannya.

 

Mengingat definisi utang dalam Peraturan Presiden No. 19 tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan dan peraturan tentang EBA sejenis ternyata berseberangan dengan UU Kepailitan. Sehingga patut dipikirkan apabila terjadi sengketa antara investor dengan SPV yang berujung dengan pengajuan permohonan pailit, peraturan mana yang harus digunakan oleh Pengadilan Niaga? Apakah permohonan harus ditolak atau diterima?

 

Menurut penulis, ada tiga kemungkinan putusan yang dihasilkan:

  1. Majelis hakim akan melihat UU Kepailitan secara an sich, mengingat Peraturan Presiden, Keputusan Bank Indonesia maupun peraturan BAPEPAM-LK bukan produk peraturan perundang-undangan yang sejajar dengan UU Kepailitan, sehingga masing-masing produk hukum tersebut bukan lex specialis dari UU Kepailitan, karena adagium hukum yang berlaku menyatakan peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi; atau
  2. Majelis hakim dalam tugasnya untuk menemukan hukum (rechtvinding) akan mengadopsi definisi perihal harta bersama dalam berbagai peraturan perundang-undangan mengenai EBA dan mengisi kekosongan hukum pada Pasal 2 UU Kepailitan; atau
  3. Majelis hakim akan melihat bagaimana harus menyikapi global note ini melalui penelahan praktek di lapangan, baik di antara praktisi pasar modal maupun rangkaian-rangkaian putusan pengadilan yang sudah ada sebelum permohonan kepailitan tersebut diajukan.

 

Penulis cenderung berpendapat untuk sementara ini bahwa walaupun legalistik formal menuntut agar global note dan pecahannya dianggap sebagai satu-kesatuan utang, namun secara materiel, global note yang dipecah kepada beberapa investor seharusnya menjadi berjumlah sama dengan jumlah keseluruhan investor yang memiliki bagian dari satu itu. Memang global note seharusnya merupakan hak milik bersama yang terikat sehingga masing-masing pemilik bagian tidak dapat secara bebas mengambil tindakan pengurusan dan pemilikan atas hak bagian mereka. Hal ini berbeda dengan hak milik bersama yang bebas, dimana masing-masing pemilik bagian mempunyai kebebasan untuk melakukan pengurusan dan perihal kepemilikan atas hak bagian mereka dalam bagian hak milik bersama tersebut.

 

Konsep bahwa global note (ataupun kumpulan piutang) merupakan hak milik bersama yang terikat, yang seharusnya bersumber dari Pasal 526 KUHPer, sebenarnya harus ditinjau ulang mengingat pada pemilik harta bersama yang terikat, dipersyaratkan para pihak dari semula tidak menyadari atau tidak berkeinginan untuk memiliki sesuatu benda secara bersama-sama, inilah yang membedakan hak milik bersama yang terikat dengan hak milik bersama yang bebas.

 

Sangat kecil kemungkinan para investor KIK-EBA tidak menyadari bahwa mereka hanya membeli bagian dari sebuah hak milik bersama, berdasarkan pemikiran ini, seharusnya KIK-EBA masuk dalam kategori hak milik bersama yang bebas (Pasal 527 jo Pasal 1166 KUHPer bukan Pasal 526 KUHPer). Sebagai hak milik bersama yang bebas, tentu para investor memiliki hak tagih tersendiri yang sesuai dengan bagian mereka, dan karenanya dapat dianggap sebagai kreditur konkuren dengan hak pelunasan secara pari passu dan pro rata.

 

------

*) Penulis adalah associate pada sebuah kantor advokat.

A. PENDAHULUAN

Salah satu hasil dari kedinamisan hukum bisnis adalah munculnya pranata jual beli aset yang tidak likuid menjadi lebih likuid (sekuritisasi aset), yang dapat berbentuk piutang atau properti [asset backed securities. Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, jual beli semacam itu menjadi kontrak investasi kolektif-efek beragunan aset (KIK-EBA)].

 

Walaupun latar belakang sejarah, filosofi, sosiologi, dan hukum dari KIK-EBA diambil dari hukum negara luar, bukan berarti transaksi jual-beli piutang yang menjadi latar KIK-EBA tidak dikenal di Indonesia (lihat. Pasal 1534 jo. 1535 jo. Pasal 1536 jo. Pasal 1540 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

 

Proses penerbitan KIK-EBA dimulai dengan pemilik piutang-piutang (originator) menjual putus dan menyerahkan sejumlah piutang kepada sebuah wahana yang khusus didirikan/diadakan untuk maksud penjualan piutang kepada calon-calon investor/pembeli. Wahana ini biasa disebut special purpose vehicle (SPV). Namun kadang kala digunakan juga wahana lain yakni conduit dan wali amanat.

 

Dalam konteks transaksi KIK-EBA yang menggunakan SPV, merupakan paham yang sudah diterima secara luas, khususnya di antara para praktisi pasar modal bahwa SPV sebagai debitur terhadap para investor tidak dapat dipailitkan (sering diistilahkan dengan bankruptcy proof atau bankruptcy remote). Dikatakan kekebalan dari kepailitan guna melindungi para investor yang dimungkinkan berjumlah hingga ribuan.

 

Ada beberapa teori yang dipakai sebagai dasar argumen kekebalan SPV terhadap Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan), antara lain:

Halaman Selanjutnya:
Tags: