Konflik Astro-Lippo Kian Memanas
Berita

Konflik Astro-Lippo Kian Memanas

Kongsi Astro dengan Lippo dipastikan bubar. Astro mengaku rugi RM200 juta gara-gara membiayai operasional PT Direct Vision di Indonesia.

Oleh:
Sut/Mon
Bacaan 2 Menit
Konflik Astro-Lippo Kian Memanas
Hukumonline

 

Termination notice memerintahkan Direct Vision untuk melakukan pembayaran atas seluruh tagihan yang belum dibayar dalam jangka waktu 14 hari (berakhir pada 1 September 2008). Dalam pemberitahuan itu disebutkan, jika terjadi kelalaian pembayaran, maka Astro berhak menghentikan seluruh dukungan dan layanannya di Direct Vision.

 

Meski begitu, atas permintaan Direct Vision, Astro mengaku tetap bersedia memberi dukungan dan layanan sekitar RM20 juta kepada Direct Vision. Termasuk tambahan jangka waktu 30 hari bagi Direct Vision untuk menggunakan hak guna merek gagang Astro hingga 30 September 2008. Setelah tanggal itu, belum jelas tindakan apa yang akan dilakukan oleh masing-masing pihak. Kami belum bisa beritahu. Nanti tunggu saja setelah tanggal 30, ucap Alexander.

 

Inilah Kronologis Konflik Astro-Lippo

 

Tahun 2004, Astro diundang oleh Grup Lippo untuk menjadi mitra strategis dalam menyediakan layanan teve berbayar, multi kanal satelit digital dan layanan multimedia di Indonesia di bawah lisensi multimedia milik Lippo, yakni PT Direct Vision.

 

11 Maret 2005, Astro dan Lippo menandatangani kesepakatan berlangganan dan kepemilikan saham atau Subscription and Shareholders Agreement (SSA) untuk pendirian perusahaan patungan (Indonesian Venture) yang akan mengoperasikan bisnis teve berlangganan di Indonesia melalui Direct Vision, sebuah perusahaan yang secara keseluruhan dimiliki oleh Lippo dan afiliasinya. Indonesian Venture yang tertuang dalam SSA mendapatkan persetujuan dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada Mei 2005.

 

SSA berisi ketentuan kebutuhan atas modal untuk mengembangkan bisnis teve berlangganan yang akan didanai melalui kontribusi bersama oleh Astro dan Lippo sesuai dengan proporsi kepemilikan saham keduanya yakni 51:49% (51% Astro dan 49%). Selain itu SSA juga memuat pendanaan eksternal, pelaksanaan kesepakatan layanan komersil bersama Astro untuk layanan penyiaran, layanan teknologi informatika, sewa peralatan penerima satelit dan layanan pasokan kanal.

 

26 Agustus 2005, pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan yang mengharuskan seluruh lembaga penyiaran termasuk pemegang izin multimedia seperti Direct Vision, mengajukan izin penyelenggaraan penyiaran sesuai UU Penyiaran. Dalam UU itu disebutkan, batas kepemilikan saham asing di industri televisi berbayar maksimal 20%. Dengan terbitnya aturan tersebut, Astro dan Lippo kemudian merestrukturisasi Indonesian Venture.

 

Restrukturisasi ini kemudian disetujui BKPM pada bulan Desember 2005. Direct Vision juga tetap mendapat izin beroperasi dari pemerintah (Depkominfo), sementara pengajuan izin baru masih dilakukan sesuai dengan UU Penyiaran. Astro sendiri setuju dengan peluncuran bisnis teve berlangganan via satelit pada 28 Februari 2006 dengan menggunakan merek dagang Astro Nusantara melalui Direct Vision. Hingga 31 Juli 2006, Astro mengklaim dana yang diinvestasikan di dalam Indonesian Venture sekitar RM157 juta.

 

Juni 2006, Lippo menunda finalisasi perjanjian patungan yang telah direvisi dan kesepakatan layanan komersil. Kabarnya, Lippo kecewa berat lantaran Maxis Communications menjual Natrindo Telepon Selular kepada Saudi Telecom. Semula Maxis membeli 95% saham Natrindo dari Lippo dengan harga AS$224 juta. Dua bulan kemudian, Maxis membanderol 51% andil Natrindo plus 25% saham Maxis ke Saudi dengan harga berlipat, yakni AS$3,05 miliar.

 

Kemarahan keluarga Riady terhadap pemilik Maxis, T. Ananda Krishnan, merembet ke Astro. Ananda diketahui punya andil besar di Astro. Karena perseteruan itu, Lippo lantas membekukan perundingan kongsi Direct Vision hingga kasus Natrindo selesai.

 

Lippo nampaknya ingin membalas Astro. Setelah kasus Natrindo selesai, Lippo malah membanderol 49% saham Direct Vision dengan harga tinggi, yakni AS$250 juta, jika Astro ingin membeli saham itu. Astro keberatan dengan harga yang dipatok Lippo.

 

Hingga April 2007, Lippo tidak kunjung mengambil langkah untuk merampungkan dan menjalankan isi dari perjanjian yang berhubungan dengan Indonesian Venture.

 

1 Mei 2007, Astro menginformasikan kepada Lippo bahwa penundaan atas pengadaan izin yang dibutuhkan –termasuk memenuhi kondisi yang diperlukan dan finalisasi perjanjian yang berhubungan dengan Indonesian Venture– telah  menimbulkan peningkatan pada pembiayaan yang dibutuhkan untuk melakukan roll out platform teve berlangganan via satelit seperti yang direncanakan.

 

9 Mei 2007, Astro menerima surat dari afiliasi Lippo yang menyatakan bahwa SSA sudah tidak berlaku dan seluruh draf perjanjian mengenai Indonesian Venture yang telah dinegosiasikan hingga hari itu menjadi tidak relevan dan/atau telah tergantikan.

 

31 Juli 2007, direksi Astro memutuskan untuk tidak lagi mensuport Direct Vision sebagai equity account. Saat itu Astro mengklaim telah mengeluarkan dana sekitar RM334 juta untuk Indonesian Venture. Namun, direksi Astro setuju, bahwa Astro akan terus memberikan layanan untuk mencari solusi bersama penyelesaian kasus ini dengan biaya sekitar RM20 juta per bulan, terutama untuk pengadaan pemrograman televisi lokal dan internasional.

 

30 April 2008, Astro mengklaim telah menyediakan layanan senilai RM203 juta. Sehingga total investasi Astro di Indonesian Venture menjadi RM536 juta.

Dari berbagai sumber

 

Dialihkan

Astro tampaknya sudah terlanjur kesal dengan Lippo. Pasalnya, perusahaan yang namanya selalu dikatikan dengan orang terkaya nomor dua di Malaysia, T. Ananda Krishnan, ini mengklaim telah menggelontorkan dana RM200 juta (sekitar Rp547 miliar) hanya untuk mengembangkan konten Astro di Indonesia.

 

Apalagi, menurut Alexander, hingga kini Lippo belum memberikan kontribusi atas pembiayaan yang dibutuhkan Direct Vision dan seluruh investasi, termasuk  biaya operasional yang dihabiskan Direct Vision. Perusahaannya bukan milik Astro, tapi Astro yang harus mengeluarkan dana, kata Alexander.

 

Kecewa kepada Lippo, Astro lantas membuat kontrak baru dengan PT Adi Karya Visi (Aora TV). Kontrak tersebut untuk membuat dan memproduksi konten program yang saat ini teragregrasi ke enam kanal televisi yang didistribusikan secara eksklusif oleh Direct Vision di Indonesia. Nilai kontrak tersebut setara dengan AS$16,2 juta dolar (sekitar Rp151,1 miliar). Uang tersebut dibayarkan oleh Astro melalui Direct Vision ke Adi Karya.

 

Kontrak ini kemudian dipersoalkan oleh Ayunda Prima Mitra. Mereka melaporkan direksi Astro, Direct Vision dan Adi Karya ke polisi dengan tuduhan penggelapan, penipuan dan pencucian uang. Reaksi Lippo atas keputusan Astro untuk menarik dukungannya dengan mengancam untuk mengajukan tuntutan substantial melawan Astro, demikian isi salah satu kutipan dalam pengumuman Astro ke Bursa Malaysia.

 

Meski demikian, Alexander menegaskan, dalam kondisi apapun, kliennya tetap berkomitmen untuk mendukung pembangunan dan agregasi dari konten lokal di Indonesia bagi masyarakat Indonesia dan pasar-pasar ekspor. Potensi kerugian Astro sekitar RM200 juta akibat kejadian ini. Tapi demi menjaga citra, klien kami rela merugi asal konsumen Direct Vision tidak dirugikan, ujar Alexander.

 

Hingga berita ini diturunkan hukumonline belum berhasil mengorek keterangan dari pihak Lippo. Direktur Korporasi PT First Media, Harianda Noerlan tidak menjawab telepon dan membalas SMS yang dilayangkan oleh hukumonline.

 

Pascaputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terhadap perkara hak siar Liga Inggris, perseteruan Astro All Asia Networks Plc (Astro) dengan Grup Lippo makin memanas. Putusan tersebut hanya sedikit menyentil Astro. Tapi dampaknya, bisa memperkeruh bisnis Astro dengan Lippo. Apalagi tiga hari setelah putusan, sejumlah media di Malaysia dan Singapura ramai membicarakan konflik Astro-Lippo. Hingga akhirnya Bursa Malaysia (Kuala Lumpur Stock Exchange) harus memanggil manajemen Astro untuk mengklarifikasi berita-berita tersebut.

 

Beberapa media yang memberitakan Astro antara lain The Star dalam artikelnya tanggal 2 September 2008 berjudul Astro Caught In a Hurricane, dan The Edge tanggal 1 September 2008 berjudul A Grand Alliance Crumbles. Sebelumnya harian Singapura The Staits Times terbitan 28 Agustus 2008 menyebutkan, keluarga Riady (pemilik Lippo) telah kehilangan muka akibat konflik ini. Nah, sekarang kami ingin mengklarifikasi berita tersebut. Klarifikasi juga sudah disampaikan Astro ke Bursa Malaysia kemarin, jelas kuasa hukum Astro, Alexander Lay, kepada beberapa wartawan di Jakarta, Jumat (5/9).

 

Dalam general announcment (pengumuman) ke Bursa Malaysia tertanggal 4 September 2008, Astro menegaskan bahwa pihaknya pada 18 Agustus 2008, telah menerbitkan pemberitahuan pemutusan hubungan (termination notice) kepada PT Direct Vision dan PT Ayunda Prima Mitra atas seluruh dukungan dan layanan yang diberikan kepada Direct Vision. Direct Vision merupakan perusahaan milik Ayunda Prima –anak perusahaan dari PT First Media Tbk– yang menayangkan konten Astro di Indonesia. Sementara Lippo merupakan pemegang saham mayoritas di First Media.

 

Dalam pengumuman itu, Astro juga menyatakan bahwa kesepakatan hak guna merk dagang dengan Direct Vision tidak akan diperpanjang setelah 31 Agustus 2008. Tindakan tersebut diambil lantaran tagihan-tagihan atas dukungan dan layanan yang secara keseluruhan berjumlah sekitar RM805 juta (termasuk bunga tagihan yang belum dibayar pada Maret 2005) yang dikirimkan kepada Direct Vision belum dibayarkan sampai saat ini.

Tags: