Tanggung Jawab Direksi untuk Memanggil dan Menyelenggarakan RUPS
Oleh: Hendra Setiawan Boen *)

Tanggung Jawab Direksi untuk Memanggil dan Menyelenggarakan RUPS

Dalam konsep fiduciary duty, seorang direksi bertanggung jawab terhadap perseroan, bukan pada satu organ perseroan.

Bacaan 2 Menit
Tanggung Jawab Direksi untuk Memanggil dan Menyelenggarakan RUPS
Hukumonline

 

B.     FIDUCIARY DUTY & RUPS

Dalam hukum perseroan, fiduciary duty mengandung arti dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya untuk mengurus perseroan, direksi harus bertolak dari landasan bahwa tugas dan wewenang yang diperolehnya didasarkan pada dua prinsip. Kedua prinsip itu adalah kepercayaan yang diberikan perseroan dan prinsip yang merujuk kepada kemampuan dan kehati-hatian dari tindakan direksi.

 

Untuk dimengerti, dalam konsep fiduciary duty, seorang direksi bertanggung jawab terhadap perseroan, bukan organ perseroan lainnya, baik rapat umum pemegang saham ataupun dewan komisaris, apalagi pemegang saham. Hal ini diperkuat dengan bunyi Pasal 1 angka 5 UUPT yang berbunyi: direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan dengan ketentuan anggaran dasar.

 

Walaupun seorang pemegang saham memegang 99,99% saham, tidak seketika itu pemegang saham bersangkutan dapat mengimplemetasikan keinginannya terhadap perseroan. Setiap keinginan dari pemegang saham terhadap perseroan harus diusulkan melalui media rapat umum pemegang saham (contoh lihat Pasal 144 ayat (1) UUPT).

 

Apakah ada perbedaan antara pemegang saham dengan rapat umum pemegang saham? Pemegang saham adalah subjek hukum yang merupakan pemilik dari setiap lembar saham yang dikeluarkan oleh perseroan. Sedangkan RUPS mewakili kehendak dari pemegang saham secara keseluruhan, baik akibat putusan dengan musyawarah maupun putusan sebagai akibat dari hasil pemungutan suara yang secara sah.

 

Belum tentu keinginan pemegang saham akan disetujui oleh RUPS.  Oleh karena itu, UUPT menyediakan banyak opsi bagi pemegang saham yang tidak puas dengan tindakan salah satu organ perseroan, seperti RUPS, direksi, maupun dewan komisaris, misalnya melakukan gugatan ke pengadilan negeri. Opsi ini membuktikan bahwa sesungguhnya pemegang saham bukanlah RUPS. Dengan demikian, direksi juga tidak wajib memenuhi keinginan pemegang saham.

 

Terkait hubungan kewajiban direksi terhadap perseroan dan organ RUPS, maka Pasal 28 ayat (2) jo. 29 ayat (1) UUPT memang mewajibkan direksi untuk menyelenggarakan RUPS tahunan paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir, yang didahului dengan pemanggilan RUPS, di mana pada Pasal 79 ayat (5) mewajibkan direksi untuk melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS diterima.

 

Apabila tidak menyelenggarakan RUPS tahunan, direksi dianggap telah melalaikan fiduciary duty-nya terhadap perseroan. Bagaimanapun juga, membuat pertanggungjawaban kepada pemberi tugas ada salah satu beban yang harus dilaksanakan oleh seorang penerima tugas. Bagaimana dengan RUPS luar biasa, sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat 4 jo Pasal 79 UUPT?

 

Salah satu kasus menarik mengenai perbedaan pendapat mengenai hubungan fiduciary duty dan RUPS luar biasa adalah Penetapan Pengadilan Negeri Padang                         No. 124/Pdt/P/2002/PN.Pdg tertanggal 7 September 2002. Sebuah kasus antara pemegang saham PT Semen Padang dengan direksi PT Semen Padang yang sempat menjadi perbincangan hangat di Indonesia.

 

Secara singkat kasus di atas dapat diceritakan bahwa pemegang saham ingin mengganti seluruh anggota direksi PT Semen Padang, karenanya mereka menginginkan diadakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB). Sementara direksi menolak untuk mengadakan RUPS-LB. Pemegang saham, yang memegang 99,99 % saham perseroan lalu mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri Padang berdasarkan Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas lama.

 

Pemegang saham berpendapat bahwa adalah kewajiban direksi (fiduciary duty) untuk memenuhi setiap permintaan dari pemegang saham untuk diadakannya RUPS-LB. Sementara direksi PT Semen Padang berpendapat sebaliknya. Kendati demikian, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membenarkan atau menyalahkan argumen-argumen yang digunakan para pihak, namun hanya bermaksud meninjau apakah secara normatif menyelenggarakan RUPS-LB merupakan fiduciary duty dari direksi atau bukan.

 

Apabila kita membaca pasal-pasal aquo, kita akan mendapatkan kesan bahwa UUPT mewajibkan direksi untuk melakukan pemanggilan RUPS luar biasa. Karena pasal demi pasal menjelaskan urutan bagaimana RUPS luar biasa dapat dilaksanakan, dimulai dari permintaan penyelenggaraan RUPS dari pihak atau pihak-pihak yang mewakili satu per sepuluh dari seluruh saham dengan hak suara atau atas permintaan Dewan Komisaris (Pasal 79 ayat (2) UUPT) yang diajukan dengan surat tercatat beserta alasannya (ayat (4) UUPT), dan bahwa direksi wajib melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS diterima.

 

Pasal-pasal selanjutnya menjelaskan mekanisme lanjutan yang dapat diambil sekiranya direksi tidak memanggil RUPS, yaitu melalui Dewan Komisaris, dan kemudian pada Pasal 80 ditentukan, sekiranya tetap tidak dilakukan pemanggilan, pemegang saham yang meminta penyelenggaraan RUPS dapat mengajukan permohonan kepada ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi kedudukan perseroan untuk menetapkan pemberian izin kepada pemohon untuk melakukan sendiri pemanggilan RUPS tersebut.

 

Sebenarnya, permasalahan wajib atau tidaknya direksi menyelenggarakan RUPS luar biasa terjawab pada Pasal 80 ayat (1) jo ayat (4) UUPT, khususnya pada ayat (4), yang mengatur bahwa ketua Pengadilan Negeri akan menolak permohonan dalam hal pemohon (pemegang saham) tidak dapat membuktikan secara sumir bahwa persyaratan telah terpenuhi dan pemohon mempunyai kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya RUPS.

 

Ada yang perlu diingat dalam masalah ini. Pertama, dalam menjalankan fiduciary duty, direksi mutlak memiliki diskresi dan kebebasan dalam membuat keputusan, yang menurutnya adalah yang paling baik untuk kepentingan perseroan. Apabila ternyata keputusan tersebut salah, maka keputusan tersebut akan dinilai dengan mekanisme --yang dikenal dengan -- business judgment rule. Kedua RUPS merupakan organ tempat para pemegang saham memutuskan roda bisnis perseroan, sehingga belum tentu semua pemegang saham memiliki kepentingan yang sama atau mempunyai pandangan yang sama satu sama lain.

 

Apabila semua pemegang saham menyetujui dan mengambil suara bulat untuk sesuatu hal, tidak diperlukan lagi mekanisme RUPS luar biasa, yaitu melalui mekanisme circular letter (Pasal 91 UUPT). Syaratnya, seluruh pemegang saham yang memiliki hak suara harus menyetujui isi dari circular letter tersebut. Meskipun ada seorang pemegang saham yang memiliki saham 99,99 %, dia tetap membutuhkan RUPS luar biasa. Ini tentu untuk melindungi  hak dari pemegang saham minoritas, dan sekali lagi membuktikan bahwa keinginan pemegang saham belum tentu mewakili kepentingan perseroan, karena direksi harus menilai sendiri.

 

Seperti telah dibahas, bahwa kemandirian direksi dalam membuat keputusan yang menurutnya terbaik bagi kepentingan perseroan adalah mutlak dalam rangka menjalankan fiduciary duty-nya. Direksi juga mempunyai kewenangan mutlak untuk menilai apakah permintaan pemegang saham untuk memanggil RUPS luar biasa merupakan kebutuhan bagi perseroan saat itu.

 

Bahkan, sekiranya RUPS memberikan instruksi kepada direksi, direksi dapat menolak untuk mengindahkannya. Sebagai perbandingan adalah sebuah yurisprudensi dari Belanda, yang dikenal dengan nama forumbankarrest tertanggal 21 Januari 1955. Yurisprudensi ini menegaskan bahwa selama direksi telah melakukan kewajibannya menurut undang-undang dan anggaran dasar, maka direksi tidak perlu tunduk kepada instruksi RUPS, dewan komisaris ataupun instansi manapun.

 

Andaikan RUPS memutuskan memberhentikan direksi sekalipun, karena sifat hubungan direksi dengan perseroan adalah hubungan kontraktual yang tidak melahirkan hubungan kerja, maka apabila seorang direksi diberhentikan, maka ia dapat saja menggugat keabsahan keputusan tersebut. Yakni, apabila keputusan RUPS ternyata diambil dengan melompati prosedur sebagaimana diatur oleh UUPT dan atau anggaran dasar. Apabila dia menang, maka ada dua kemungkinan hasil yang diterima, 1) pemberhentiannya batal demi hukum (seandainya prosedur dilanggar); atau 2) ia tetap diberhentikan dan memperoleh kompensasi (seandainya prosedur tidak dilanggar, namun pemberhentiannya dilakukan dengan alasan tidak wajar).

 

Di sini berarti penilaian apakah kepentingan pemegang saham yang menginginkan diadakan RUPS itu adalah kepentingan terbaik perseroan terletak di tangan direksi. Karena itu, keputusan untuk mengadakan RUPS sepenuhnya berada di tangan direksi. Namun, pemegang saham yang berpentingan dengan RUPS itu harus mendapatkan izin dari Ketua Pengadilan Negeri untuk dapat melakukan pemanggilan RUPS sendiri. Mereka juga harus membuktikan adanya kepentingan yang wajar untuk penyelenggaraan RUPS, karena Pasal 78 ayat (4) UUPT menyatakan bahwa RUPS luar biasa dilakukan berdasarkan kebutuhan untuk kepentingan perseroan.

 

Keputusan direksi untuk tidak mengadakan RUPS luar biasa tersebut tidak akan dipersengketakan. Sebelum memutuskan untuk menolak atau mengabulkan permintaan pemohon, Ketua Pengadilan Negeri akan memanggil dan mendengar keterangan dari direksi. Namun Ketua Pengadilan bukan untuk menyatakan apakah keputusan direksi salah atau tidak, melainkan sekedar mendapatkan keterangan pemohon dan direksi. Sebagai hakim, Ketua Pengadilan menggunakan penalaran untuk menetapkan apakah RUPS luar biasa memang diperlukan demi melindungi kepentingan perseroan.

 

Fakta lain yang mendukung bahwa melakukan pemanggilan RUPS luar biasa bukanlah bagian dari kewajiban direksi terhadap perseroan adalah bahwa UUPT mengatur mekanisme supaya pemegang saham dapat melakukan sendiri pemanggilan RUPS luar biasa tersebut dilakukan dengan cara permohonan bukan gugatan. Dalam masalah penolakan direksi berdasarkan diskresi untuk memanggil RUPS luar biasa sama sekali tidak dipersengketakan, karena dalam permohonan, tidak ada para pihak. Dalam hal ini Direksi bukanlah pihak dalam sidang Pengadilan Negeri.

 

Ditambah lagi, seandainya pemanggilan RUPS luar biasa merupakan kewajiban direksi terhadap perseroan, maka dengan direksi tidak melakukannya, berarti direksi telah melakukan perbuatan melawan hukum terhadap perseroan, dan oleh karenanya dapat digugat menggunakan Pasal 1365 KUHPer.

 

Faktanya, UUPT mengatur bahwa tindakan yang dapat diambil pemegang saham berkenaan dengan penolakan direksi untuk memanggil RUPS luar biasa hanyalah permohonan dengan upaya hukum hanya kasasi. Dengan demikian berarti pemegang saham tidak dapat menggunakan Pasal 1365 KUHPer melawan direksi terkait penolakan pemanggilan RUPS luar biasa.

 

Artinya penolakan direksi untuk memanggil RUPS luar biasa: bukan merupakan perbuatan melawan hukum; tidak ada kesalahan dari direksi; tidak menimbulkan kerugian bagi perseroan; tidak bertentangan dengan kewajiban hukum direksi; tidak melanggar hak subjektif pemegang saham; dan tidak bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta kehati-hatian yang seharusnya dimiliki direksi sebagai anggota organ perseroan.

 

---------

*) Penulis adalah associate pada sebuah kantor pengacara di Jakarta.

Tulisan ini akan menguraikan tanggung jawab direksi memanggil dan menyelenggarakan RUPS berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas.

 

A.     PENDAHULUAN

Sebagian besar tulisan ini terinspirasi dari sebuah diskusi antara penulis dengan seorang lawyer bernama Bapak Prahasto W. Pamungkas beberapa waktu lalu. Diskusi tersebut pada pokoknya membahas perihal fiduciary duty dari direksi.

 

Banyak ahli hukum bisnis, khususnya hukum perusahaan memahami dan mengetahui apa yang dimaksud dengan fiduciary duty, yang dimiliki oleh direksi maupun dewan komisaris. Namun artikel ini akan memfokuskan diri untuk membahas fiduciary duty dari seorang direksi.

 

Fiduciary duty merupakan tugas-tugas yang dipercayakan kepada dari direksi oleh perseroan dan dasar bertindak dari kegiatan direksi dalam mengambil keputusan berkenaan dengan tugasnya menjalankan kegiatan (bisnis) perseroan. Kendati demikian, penulis yakin masih terdapat pandangan yang berbeda-beda atas konsep ruang lingkup fiduciary duty. Mengingat luasnya tanggung jawab direksi, sangat tidak mungkin untuk membahas seluruhnya. Alhasil, pembahasan artikel ini akan dipersempit, apakah menyelenggarakan RUPS merupakan fiduciary duty seorang direksi dari sudut pandang Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT).

Halaman Selanjutnya:
Tags: