BI Pisahkan Aturan Uang Elektronik dan APMK
Berita

BI Pisahkan Aturan Uang Elektronik dan APMK

BI menerbitkan aturan baru yang mengatur tentang uang elektronik. Aturan itu berbeda dengan aturan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu.

Oleh:
Yoz
Bacaan 2 Menit
BI Pisahkan Aturan Uang Elektronik dan APMK
Hukumonline

 

Batas nilai uang elektronik yang dapat disimpan dalam media uang elektronik sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran BI, ditetapkan sebagai berikut; (i) Nilai uang elektronik untuk jenis unregistered paling banyak Rp 1 juta. (ii) Nilai uang elektronik untuk jenis registered paling banyak Rp 5 juta.


Selanjutnya, dalam Surat Edaran BI diatur batas nilai transaksi untuk kedua jenis uang elektronik tersebut dalam satu bulan untuk setiap uang elektronik secara keseluruhan paling banyak Rp 20 juta. Meliputi transaksi pembayaran, transfer dana, dan fasilitas transaksi lainnya yang disediakan oleh Penerbit.

 

Khusus untuk lembaga selain bank, untuk dapat menyelenggarakan kegiatan sebagai prinsipal, penerbit, acquirer, penyelenggara kliring dan/atau penyelenggara penyelesaian akhir di bidang uang elektronik, harus berbentuk perseroan terbatas (PT). Uang elektronik yang diterbitkan dan/atau digunakan di wilayah Republik Indonesia wajib menggunakan uang rupiah.

 

PBI APMK

Selain aturan uang elektronik, BI juga mengeluarkan PBI baru yakni PBI No. 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan APMK. Jenis APMK, meliputi kartu ATM, kartu debet dan kartu kredit. Dalam PBI itu dijelaskan, pada prinsipnya penyelenggaraan kegiatan penerbitan kartu ATM, kartu debet dan kartu kredit masing-masing memiliki karakteristik tersendiri, sehingga izin yang diberikan oleh BI bersifat per jenis kartu.

 

Untuk dapat menjadi penerbit kartu kredit, lembaga selain bank harus memperoleh izin dari Menteri Keuangan. Sedangkan untuk menjadi penerbit kartu ATM dan/atau kartu debet, lembaga selain bank harus mempunyai kewenangan untuk melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan bedasarkan Undang-Undang yang mengatur mengenai lembaga selain bank tersebut. Hal ini tertuang dalam pasal 6 yang menyebutkan;

 

(1)  Lembaga Selain bank yang dapat bertindak sebagai Penerbit Kartu Kredit yaitu Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai perusahaan pembiayaan yang dapat melakukan kegiatan usaha Kartu Kredit.

(2)  Lembaga Selain Bank yang dapat bertindak sebagai penerbit Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yaitu Lembaga Selain Bank yang mempunyai kewenangan untuk melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan bedasarkan undang-undang yang mengatur mengenai Lembaga Selain bank tersebut.

 

Lebih jauh, PBI yang terdiri dari 11 bab dan 60 pasal ini mencabut ketentuan sebelumnya, yaitu PBI No. 7/52/PBI/2005 tanggal 28 Desember 2005 tentang Penyelenggaraan Kegiatan APMK dan PBI No. 10/8/PBI/2008 tanggal 20 Februari 2008 tentang Perubahan Atas PBI No. 7/52/PBI/2005 tanggal 28 Desember 2005 tentang Penyelenggaraan Kegiatan APMK.

Ketentuan tentang uang elektronik tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 11/12/PBI/2009 yang mulai berlaku 13 April 2009. Dalam PBI yang diterima hukumonline, BI menjelaskan salah satu ciri uang elektronik sebagai alat pembayaran adalah kegiatan prabayar dari pemegang kepada penerbit uang elektronik sebelum pemegang menggunakannya untuk kepentingan transaksi pembayaran.

 

Uang dari pemegang disimpan secara elektronik dalam bentuk suatu chip atau dalam suatu media yang dikelola penerbit. Dengan media penyimpan chip, maka bentuk uang elektronik tidak selalu berupa kartu, sehingga kurang tepat jika uang elektronik masuk sebagai Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK). Untuk itu, BI memutuskan mengatur uang elektronik dalam peraturan terpisah mengingat karakteristiknya yang berbeda dengan APMK sehingga diperlukan pengaturan tersendiri.

 

Dalam PBI ditegaskan, penerbitan uang elektronik baik oleh bank maupun lembaga selain bank, wajib memperoleh izin dari BI. Namun bagi lembaga selain bank kewajiban memperoleh izin tersebut berlaku jika nilai dana float-nya telah mencapai nilai tertentu atau direncanakan mencapai nilai tertentu. Batasan minimal nilai dana float akan diatur dalam Surat Edaran BI. Hal itu dijelaskan pada Pasal 5 PBI tersebut.

 

Pasal 5;

 

(1)  Kegiatan sebagai Penerbit dapat dilakukan oleh Bank atau Lembaga Selain Bank.

(2)  Bank yang akan bertindak sebagai Penerbit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin sebagai penerbit dari Bank Indonesia.

(3)  Lembaga Selain Bank yang akan bertindak sebagai Penerbit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin sebagai Penerbit dari Bank Indonesia jika;

a. Dana Float yang dikelola telah mencapai nilai tertentu; atau

b. Dana Float direncanakan akan mencapai nilai tertentu.

(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara untuk memperoleh izin sebagai Penerbit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.

 

Selain itu, dalam PBI yang terdiri dari 11 bab dan 51 pasal ini menjelaskan bahwa pengalihan izin hanya dapat dilakukan atas izin BI dan dalam hal terjadi penggabungan, peleburan atau pemisahan. Dengan berlakunya PBI ini, pihak-pihak yang telah melakukan kegiatan sebagai prinsipal, penerbit, acquirer, penyelenggara kliring dan penyelenggara penyelesaian akhir utang elektronik harus melaporkan kegiatannya kepada BI dan melengkapi persyaratan sebagaimana diatur dalam PBI.

Halaman Selanjutnya:
Tags: