Janji Politik Pejabat Tak Bisa Digugat Secara Perdata
Utama

Janji Politik Pejabat Tak Bisa Digugat Secara Perdata

Ketidakberhasilan SBY-JK dalam memenuhi janji kampanye, bukan kesengajaan, melainkan karena faktor politik dan ekonomi global. Janji politik tak bisa bisa dikateorikan sebagai janji dalam konteks hukum perdata.

Mon/Mys
Bacaan 2 Menit
Janji Politik Pejabat Tak Bisa Digugat Secara Perdata
Hukumonline

 

Dalam eksepsinya, kuasa hukum SBY-JK menyatakan gugatan penggugat kabur karena formula gugatan citizen lawsuit tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Gugatan juga dinilai prematur karena saat ini SBY-JK masih menjabat. Pertanggungjawaban kepemimpinan SBY-JK akan disampaikan dalam sidang umum MPR mendatang.

 

Majelis hakim yang beranggotakan Lexsi Mamonto dan Sulaiman menampik dalil eksepsi itu. Majelis hakim menyatakan walaupun formula gugatan citizen lawsuit tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia, namun majelis hakim tak bisa dijadikan dasar menolak perkara. Hakim wajib menggali hukum, kata Makmun.

 

Kuasa hukum penggugat, Aulia Hidayat, menyatakan pikir-pikir atas putusan hakim. Aulia menyatakan merujuk pada pertimbangan hakim, sebenarnya hakim mengakui bahwa SBY-JK belum memenuhi janji kampanye sesuai dalil gugatan. 80 % dalil kami diterima, katanya saat ditemui usai bersidang.

 

Tanpa membenarkan atau menyalahkan putusan majelis, pengamat hukum tata negara, Irmanputra Sidin berpendapat janji presiden lebih merupakan janji publik ketimbang janji perdata. Sehingga penyelesaiannnya kurang tepat ke peradilan umum. Namun bukan berarti janji-janji politik seorang presiden tidak bisa dituntut secara hukum. Itu tetap bisa, tapi ranahnya menurut saya bukan ke peradilan umum, ujarnya.

 

Janji presiden bisa ditagih secara hukum. Dalam perspektif hukum tata negara, rakyat bisa menyampaikan ‘wanprestasi' presiden itu kepada anggota DPR. Selanjutnya, anggota Dewan bisa mempertanyakan ingkar janji itu kepada Presiden. Irman mengatakan bahwa ingkar janji politik bisa mengarah ke perbuatan tercela, yang pada akhirnya bermuara pada impeachment atau pemakzulan seorang presiden.

 

Menghindari perkara politik?

Berdasarkan catatan hukumonline, pengadilan memang cenderung untuk menghindari terlibat terlalu jauh dengan gugatan yang berbau politik. Kebijakan itu mulai ditempuh pada masa Ketua MA Bagir Manan. Pada 15 Okotober 2003, Bagir Manan mengeluarkan SEMA No. 04 Tahun 2003 tentang perkara perdata berkaitan dengan pemilu. Dalam SEMA itu disebutkan akan lebih bijak apabila sengketa tersebut diselesaikan lebih dahulu lewat forum internal partai. Kalau perkara itu benar-benar persoalan internal partai, maka sebaiknya pengadilan menyatakan diri tidak berwenang memeriksa (niet onvantkelij verklaard).

 

Seminggu kemudian, Bagir Manan menandatangani SEMA No. 05 Tahun 2003 tentang gugatan yang berkaitan dengan parpol. Di sini MA menyatakan gugatan terhadap parpol bukan objek tata usaha negara karena pimpinan parpol bukanlah pejabat tata usaha negara.

 

Bagi Irman, sikap MA itu lebih sebagai upaya pengadilan mencari ‘ruang yang proporsional' dalam kasus-kasus politik.

 

Pupus sudah harapan Boni Hargens Cs untuk menagih janji politik pada presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan wakil presiden Jusuf Kalla. Gugatan citizen lawsuit yang diajukan Boni dan 71 orang lain ditolak majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Majelis hakim yang diketuai Makmun Masduki menyatakan kegagalan SBY-JK dalam memenuhi janji kampanye bukan wanprestasi. Ketidakberhasilan janji politik itu bukan karena kesengajaan sehingga tidak bisa menjadi sengketa hukum, kata Makmun saat membacakan putusan, Senin (24/8).

 

Februari 2009 lalu, Boni Cs melayangkan gugatan citizen lawsuit ke pengadilan. Dalam gugatannya, para penggugat menyatakan SBY-JK wanprestasi karena tak bisa menuntaskan janji kampanye pada pemilihan presiden 2004. Saat kampanye pasangan SBY-JK berjanji meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mencapai 7,6 % pada 2009. Angka kemiskinan diprediksikan turun dari 17,14 % menjadi 8,7 % pada 2009. Komitmen itu kembali ditegaskan dalam pidato kenegaraan saat SBY-JK dtetapkan sebagai presiden dan wakil presiden.

 

Nyatanya, menurut penggugat pertumbuhan ekonomi baru mencapai 5,5 %. Dengan begitu SBY-JK belum memenuhi janji kampanyenya sehingga dikategorikan wanprestasi. Kuasa hukum SBY-JK sendiri menyatakan tingkat kemiskinan mencapai 15,54 % pada 2008, sementara pada 2005 mencapai 17,7 %. Pertumbuhan ekonomi sendiri sudah mencapai 6,4 %. Berdasarkan catatan hukumonline, Rancangan Kinerja Pemerintah 2010-2014 malah sudah menurunkan target pertumbuhan ekonomi menjadi 5 – 5,5 %. Ini berarti turun dari apa yang ditargetkan sebelumnya.

 

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan janji politik bukan janji dalam konteks hukum perdata. Janji dalam hukum perdata biasanya dituangkan dalam kontrak dimana satu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu dan pihak lain menerima janji. Harus ada komunikasi antara dua belah pihak tentang apa yang dijanjikan dan pihak lain menerima janji yang akan direasliasikan, kata Makmun.

 

Pernyataan SBY-JK merupakan janji politik. Pelaksanaannya lebih dipengaruhi faktor faktor politik. Kondisi ekonomi global juga menjadi faktor yang signifikan dalam penuntasan janji kampanye. Menurut majelis hakim meski janji politik belum dituntaskan, kemampuan SBY-JK dalam menurunkan angka kemiskinan dan menaikan pertumbuhan ekonomi patut diacungi jempol. 

Tags: