Ada Calon Akademisi yang Tak Paham Struktur Putusan
Seleksi Hakim Agung:

Ada Calon Akademisi yang Tak Paham Struktur Putusan

Dari tiga akademisi yang diwawancarai di hari pertama, hanya seorang yang berhasil menjawab dengan tepat. Boleh jadi karena yang bersangkutan adalah pengajar hukum acara perdata dan pernah menjadi pengacara praktek.

Oleh:
ASh
Bacaan 2 Menit
 Ada Calon Akademisi yang Tak Paham Struktur Putusan
Hukumonline

 

Disodori pertanyaan yang sama, Dwi Andayani, pengajar di Universitas Tarumanegara, menjawab bahwa isi putusan terdiri dari bagian menimbang, kasus posisi, dan penyataan menolak atau mengabulkan gugatan. Ditanya unsur penting dalam sebuah putusan, awalnya Dwi tak bisa menjawab.

 

Setelah disinggung soal mukadimah, Dwi menjawab. Bagian irah-irah (yang berbunyi Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, red). Selain itu, ia kembali menjawab bagian menimbang. Tak puas dengan jawaban itu, Soekotjo berseloroh, Seandainya Anda membawa timbangan, siapa yang ditimbang? Kan harus ada para pihaknya, ujar Soekotjo.           

 

Berbeda dengan dua calon lainnya, jawaban Prof Basuki Rekso Wibowo nampaknya mampu meyakinkan para komisioner. Maklum calon yang satu ini sebelumnya aktif mengajar di Fakultas Hukum Universitas Airlangga untuk spesialisasi hukum perdata dan juga pernah menjadi pengacara praktek. Ia menjelaskan struktur putusan tentunya diawali dengan irah-irah, nomor perkara kasasi, identitas para pihak atau kuasanya jika itu perkara perdata, uraian masalah, duduk perkara, pertimbangan hukum (ratio decendi), amar atau diktum putusan, dan ditutup dengan pernyataan putusan itu dibacakan dalam sidang terbuka umum disertai tanggal, bulan, tahun, dan nama majelis hakim.           

 

Sistem Kamar

Terkait soal wacana sistem kamar di MA, Anna mengaku akan menolak jika diperintahkan mengadili dan memutus perkara di luar bidang keahliannya. Komisioner KY yang lain, Thahir Saimima mencegat pernyataan Anna dengan pilihan dilematis. Jika Anna menolak mengadili maka dikhawatirkan volume perkara di MA akan makin menumpuk. Namun begitu, Thahir menyarankan Anna memberi masukan kepada pimpinan MA agar sistem kamar itu bisa diwujudkan jika terpilih nanti.

 

Sementara itu, Basuki berpendapat bahwa sistem kamar sudah terjadi di peradilan tingkat pertama dan banding. Buktinya, lanjut dia, adanya pembagian lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer. Sementara di MA dijadikan satu, meski disana ada struktur ketua muda bidang tertentu. Namun kenyataannya hakim agung kerap memutus perkara di luar keahliannya.

 

Untuk memperbaiki kualitas putusan, masih menurut Basuki, ia menyarankan agar MA memperhatikan latar belakang keahlian masing-masing hakim agung. Jangan seperti sekarang, mohon maaf, hakim agama mengadili kasus korupsi, hakim TUN mengadili pidana. Tetapi ini pemikiran ke depan yang tentu butuh perubahan sistem dan kultur di MA. Sebab, resistensi sistem kamar di MA masih cukup kuat.

Setelah meloloskan 35 calon hakim agung yang dinyatakan lolos tahap II, Komisi Yudisial (KY) menggelar wawancara terbuka calon hakim agung tahun 2009, yang dimulai sejak Senin (28/9) hingga 5 Oktober 2009. Pada hari pertama, dalam sesi II, KY telah mewancarai tiga calon hakim agung dari kalangan akademisi, yakni Prof Anna Erliyana, Prof Basuki Rekso Wibowo, dan Dr Dwi Andayani.

 

Dalam wawancara yang berdurasi sekitar satu jam bagi setiap calon itu, materi pertanyaan lebih banyak diarahkan seputar teori hukum. Terutama teknis hukum acara. Yang menarik, pada wawancara yang dilakukan semua komisioner KY itu terungkap sebagian calon kurang memahami teknis hukum acara dengan baik. Salah satunya terkait format putusan pengadilan atau putusan kasasi di Mahkamah Agung. Maklum, para komisioner memandang jika terpilih menjadi hakim agung kelak mereka akan dituntut membuat atau menyusun putusan.

 

Anna Eliyana, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu menjawab bahwa yang ia ingat dari isi putusan hanya menyangkut pernyataan soal tenggang waktu pengajuan kasasi yakni 14 hari. Atas jawaban itu, nampaknya salah satu komisioner, Soekotjo Soeparto, tak puas atas jawaban Anna.

 

Dari lembar pertama sampai akhir, (isi putusan) hanya itu? Berarti Anda tak pernah baca putusan, kritik Soekotjo. Soekotjo menjelaskan bahwa format putusan diawali dengan nama para pihak, seperti adanya penggugat atau tergugat. Meski demikian Anna yang ahli di bidang hukum tata usaha negara itu mengaku terakhir membaca putusan sekitar tiga bulan yang lalu.             

Tags: