Kesulitan utama untuk mengenakan pajak, khususnya pajak penghasilan, atas transaksi e-commerce sama dengan kebanyakan problem cyberspace lainnya, yakni sulitnya diketahui identitas pelaku usaha di internet.
Selain itu, menurut Nadia Nasution dari kantor hukum HHP, juga ada permasalahan apa yang dikenakan pajak, kemudian siapa yang berwenang untuk memungut pajak dan terakhir, bagaimana cara pemungutannya.
Ketentuan masalah pajak e-commerce ini, ujar Nadia, bahkan belum ada pada tingkatan internasional. "Termasuk, dalam tax treaty antara Indonesia dengan negara-negara lain," ujarnya.
Kolega Nadia dari HPP, Wimbanu Widiatmoko, berpendapat bahwa pengaturan masalah pajak transaksi e-commerce memanglah rumit. Di samping itu, tentunya ada ego masing-masing negara, sehingga sulit untuk mencapai kesepakatan bersama.
Menurut Wimbanu, ada suatu kemiripan pajak dalam traksaksi e-commerce dengan pajak atas perusahaan penerbangan yang dulu sempat menjadi permasalahan. Suatu maskapai penerbangan dapat melalui rute penerbangan di beberapa negara, menimbulkan keinginan negara-negara yang dilalui untuk mengenakan pajak.
Namun pada akhirnya, diputuskan bahwa negara yang berwenang untuk mengenakan pajak adalah negara di mana perusahaan maskapai tersebut berada. Sebagai contoh, untuk maskapai penerbangan Singapore Airlines, pihak otoritas perpajakan Singapura yang memiliki kewenangan untuk memungut pajak atas Singapore Airlines.
Konsepsi tetap
Dalam konteks pajak internasional, masalah pajak penghasilan atas transaksi e-commerce belum memiliki titik terang. Pasalnya, ada kesulitan untuk menentukan bentuk usaha tetap atau permanent establishment atas suatu situs. Layanan e-commerce memang bisa menyebabkan suatu perusahaan melakukan kegiatan secara global, tanpa perlu adanya perantara atau kantor perwakilan.