Amandemen UUD Hambat Pembentukan Peradilan HAM
Berita

Amandemen UUD Hambat Pembentukan Peradilan HAM

Jakarta, hukumonline. Pasal 28 I (1) Amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) akan menjadi hambatan untuk mengadili pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) yang terjadi pada masa lalu. Azas non-retroaktif yang terkandung dalam pasal tersebut melegalisasikan seseorang tidak dapat dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

Oleh:
Leo/APr
Bacaan 2 Menit
Amandemen UUD Hambat Pembentukan Peradilan HAM
Hukumonline

Selengkapnya rumusan Pasal 28 I (1) berbunyi sebagai berikut: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak azasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun".

Prof. Muladi, SH, mantan Menteri Kehakiman, yang ditemui dalam Seminar International Criminal Law & Collective Crimes berkomentar bahwa adanya amandemen tersebut justru akan menghambat usaha untuk mengadili pelanggar HAM yang terjadi di Indonesia, terutama pada kalimat "... dalam keadaan apapun" .

RUU Peradilan HAM yang sedang dibahas di DPR dan diharapkan selesai pembahasannya pada September 2000, akan terganjal dengan prinsip dalam pasal tersebut yang menyebutkan bahwa hukum tidak berlaku surut.

RUU tersebut akan menjadi prioritas pembahasan di Departemen Kehakiman & HAM (dulu Depkumdang). Karena tanpa UU tersebut, Kejaksaan Agung tidak bisa melakukan penyidikan pelanggaran HAM. Perpu No.1/1999 tentang Peradilan HAM tidak bisa bijadikan dasar penyidikan karena telah ditolak oleh DPR walaupun belum dicabut.

Jalan tengah 

Sebagai jalan tengah, Muladi menyarankan agar UU Peradilan HAM yang akan dibentuk nantinya tidak bertentangan dengan konstitusi, sebaiknya UU tersebut tetap tidak berlaku surut. Namun, harus ada kesepakatan dan ketentuan untuk membentuk suatu Peradilan Ad Hoc yang berfungsi untuk mengadili kasus-kasus tertentu pada waktu tertentu.

"Hal tersebut bisa ditetapkan melalui Keppres, tentunya setelah mendengar dan mendapat persetujuan dari DPR," ujar Muladi yang sekarang aktif di Habibie Centre. Dengan demikian, azas legalitas tetap terpenuhi dan  peradilan ad hoc untuk mengadili pelanggar HAM di masa lalu juga tidak bertentangan dengan konstitusi.

Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H justru menyatakan keheranannya dengan pembentukan Peradilan HAM. Menurutnya sampai saat ini, Indonesia lah negara pertama yang memiliki peradilan HAM (kalau nanti RUU-nya disetujui DPR). "Di dunia ini belum ada yang namanya human right court. Para pelanggar HAM internasional yang diadili biasanya melalui International Criminal Court (ICC) yang esensinya tetap peradilan pidana," komentar Harkristuti.

Halaman Selanjutnya:
Tags: