Menakar Kebenaran Pengakuan Tersangka Bom Bali
Kolom

Menakar Kebenaran Pengakuan Tersangka Bom Bali

Ustadz Abu Bakar Ba'asyir tampaknya 'terpojok'. Setelah berulang kali membantah keterkaitannya dengan Jamaah Islamiyah dan – lebih khusus lagi – para pelaku bom Bali, pimpinan Pondok Pesantren Ngruki ini kini berhadapan dengan pengakuan para operator bom Bali bahwa sinyalemen tentang Abu Bakar Ba'asyir di atas adalah benar adanya. Hal ini muncul pada persidangan empat tersangka pelaku bom Bali (28 Mei 2003).

Bacaan 2 Menit
Menakar Kebenaran Pengakuan Tersangka Bom Bali
Hukumonline

Sukar dipastikan pengakuan pihak mana yang benar. Aktor bom Bali ataukah Abu Bakar Ba'asyir? Penulis masih ingat pada berita Januari silam. Saat itu, sejumlah media massa memberitakan bahwa Polri akan melakukan perombakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Amrozy.

 

Alasan Polri, seperti dikemukakan oleh juru bicara tim investigasi bom Bali, Kombes Pol Drs. Zaenuri Lubis, para tersangka peledakan bom Bali telah mengutarakan banyak kebohongan. Informasi-informasi palsu ini terkuak seiring dengan semakin banyaknya para tersangka yang berhasil ditangkap, di samping karena temuan di lapangan ternyata bertolak belakang dengan pengakuan Imam Samudera dan Amrozy.

 

Pada kesempatan lain, Polri juga mengganti pasal-pasal yang digunakan untuk melakukan tindakan hukum terhadap Abu Bakar Ba'asyir. Dari yang semula tuntutan bahwa ustadz ini berada di belakang rentetan pengeboman malam natal dan berencana membunuh Megawati, kini 'sebatas' pada masalah kewarganegaraan dan tindakan pembangkangan terhadap pemerintah.

 

Hal-hal di atas menunjukkan kompleksitas yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam mengolah (memilah dan menguji) berbagai informasi yang bersumber dari pengakuan tersangka. Polri ditantang untuk lebih menaruh perhatian terhadap pentingnya teknik interogasi yang mengandalkan pendekatan kognitif. Dibandingkan dengan metode-metode pemeriksaan konvensional lainnya, teknik wawancara kognitif ini lebih kompleks dan membutuhkan lebih banyak proses pelatihan.

 

Satu hal penting yang seyogyanya eksis selama proses interogasi kognitif adalah kemampuan pemeriksa dalam menjaga suasana hati individu yang tengah diperiksa. Suasana hati yang positif, menurut temuan Milberg dan Clark (1988), mempertinggi tingkat kepatuhan (compliance) si terperiksa terhadap si pemeriksa. Dengan kepatuhan yang tinggi, si terperiksa akan lebih bersedia memenuhi permintaan para interogator dalam menjawab setiap pertanyaan yang diajukan.

 

Berangkat dari uraian tersebut, pembelaan diri Kapolri beberapa waktu lalu bahwa senyumnya merupakan cara untuk membangun atmosfer psikis yang baik selama pemeriksaan atas diri Amrozy, pada dasarnya didukung oleh data-data empiris. Keramahan yang didemonstrasikan Kapolri kepada Amrozy tidak hanya merupakan kekhasan yang ada dalam budaya psikologis di Indonesia -- yakni kebiasaan menyamarkan emosi negatif dengan perilaku non-verbal yang positif -- melainkan juga sebagai bagian dalam mata rantai pemeriksaan kognitif yang dipraktekkan Polri.

 

Waktu relatif singkat yang dibutuhkan Polri untuk mengorek keterangan para pelaku bom Bali, bisa jadi mengindikasikan bahwa Polri telah mengaplikasikan teknik wawancara kognitif selama proses interogasi. Jika demikian, langkah ini dapat dipandang sebagai antitesis terhadap citra brutal yang disandang Polri selama ini.

Tags: