Undang-Undang tentang Pengaturan Hak-Hak Perempuan: Apa Perlunya?
A. Patra M. Zen

Undang-Undang tentang Pengaturan Hak-Hak Perempuan: Apa Perlunya?

Baru-baru ini, sebuah panitia penyusun dibentuk oleh Pemerintah untuk menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengaturan Hak-hak Perempuan. Tim ini dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia No. I.43.PR.09.03/2003. Pembentukan panitia ini sendiri, merupakan ikhtiar guna memenuhi amanat dalam Undang-undang tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang meminta pembuatan sebuah undang-undang mengenai hak-hak perempuan.

Bacaan 2 Menit
Undang-Undang tentang Pengaturan Hak-Hak Perempuan: Apa Perlunya?
Hukumonline

 

Ketiga, aturan-aturan tentang promosi, perlindungan dan pemenuhan hak asasi perempuan di Indonesia tidak dilaksanakan dan diimplementasikan secara tegas. Satu contoh, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Menentang Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) pada tahun 1984.

 

Keempat, dikaitkan dengan situasi hari ini, terdapat kecenderungan bahwa Pemerintah begitu bersemangat untuk menyusun sebuah peraturan hukum yang melindungi rakyat, tanpa berniat mengimplementasikannya dengan sungguh-sungguh.

 

Kelima, karenanya saat ini tidak diperlukan sebuah UU tentang hak perempuan, melainkan pelaksanaan ketentuan-ketentuan perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan yang telah ada dalam hukum positif di level domestik dan hukum internasional – termasuk upaya sinkronisasi produk perundang-undangan.

 

Keenam, dari segi materi, hak-hak perempuan, definisi dan ruang lingkup hak-hak perempuan sangat luas, beragam, dan juga berkembang pesat. Sehingga tidak sederhana untuk diatur dalam sebuah UU, apalagi jika RUU ini diposisikan menjadi UU payung yang mengatur tentang hak-hak perempuan.

 

Ketujuh, ada peluang muncul problem-problem hukum dalam pengaturan serta implementasi. Jika UU ini ditetapkan kelak, bukan memperkuat pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan, malah sebaliknya.

 

Pengalaman di Negara Lain

New Zealand tercatat sebagai negara pertama yang menetapkan sebuah UU yang mengatur tentang hak-hak perempuan (Women's Rights Act), di tahun 1919. Act ini memberikan hak bagi perempuan sebagai warga negara ikut dalam Pemilihan Umum dan dipilih menjadi anggota parlemen.

 

Di Amerika Serikat, terdapat aturan hukum tentang hak-hak (warga negara) perempuan yang sudah menikah: Married Women's Citizenship Act; dan Married Women's Rights Act yang berlaku di distrik Colombia.

 

China, India dan Filipina merupakan contoh negara-negara yang mengatur hak-hak perempuan. Di negeri Cina, hak-hak perempuan diatur dalam The Women's Rights Act. Pasal 35 UU ini menyatakan larangan untuk menenggelamkan, membuang, atau menyakiti bayi-bayi perempuan. Selanjutnya pasal 36 memberikan perintah kepada sekolah-sekolah yang ada di Cina untuk menyediakan pendidikan, manajemen dan fasilitas, dan seterusnya untuk mematikan pemenuhan hak atas kesehatan fisik dan mental perempuan (lihat UN doc. CRC/C/11/Add7, para. 37 dan 167).

 

Sedangkan Di India, Negara Bagian Karnataka, terdapat aturan the Hindu Law Women's Rights Act, yang ditetapkan lewat UU No. X/1933.

Di kawasan Asia Tenggara, Filipina adalah salah satu negara yang banyak merumuskan peraturan perundang-undangan yang secara khusus mencantumkan kata perempuan dalam perundang-undangan. Setidaknya, tercatat 8 RUU yang diusulkan oleh Senator Luisa Erjecito Estrada yang berkaitan dengan hak-hak perempuan.

 

Sebut misalnya Women's Health Office Act, Women Empowerment in Enterprise Act, Women's Right to Know Act, Women in Development Act, Allowing Married/Separated Women to Use Their Maiden Surname, Granting Women Right to Know Work Condition, Rape/Abuse of Women Detainees by Prison Officials, serta Women's Rights Act of 2002. Sejauh informasi yang diperoleh penulis, RUU tentang Women's Rights Act of 2002, sempat ditangguhkan pembahasannya di Komite Perancangan UU Filipina, di akhir tahun 2002.

 

Wujudkan Hak-hak Perempuan sekarang!

Telah ada kemajuan dalam pemenuhan hak-hak perempuan di negeri ini. Namun demikian, kita tidak bisa menutup mata terdapat fakta marjinalisasi dan kejahatan atas hak-hak perempuan yang dilakukan oleh aparat negara dan pelaku non-negara, entitas privat. Baik di rumah tangga (domestic) maupun yang dilakukan oleh korporasi. Karenanya, tuntutan saat ini tidak berlebihan: mewujudkan pemenuhan hak-hak perempuan sekarang juga.

 

Sebuah peraturan perundang-undangan tentang hak-hak perempuan bisa berguna jika dengan jelas mengatur prinsip, mekanisme dan pemastian pemenuhan hak (enforceability). Tanpa hal ini, nasibnya akan sama seperti banyak undang-undang di negeri ini.

 

Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang buta terhadap praktek-praktek korupsi di negeri ini, Undang-undang Hak Asasi Manusia yang menutup mata terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM di Indonesia. Selanjutnya, yang buta dan menutup mata, tentu saja kebanyakan aparat negara, utamanya penegak hukum di negeri ini. Apalah arti undang-undang, cuma kertas kok!

Pertengahan Agustus lalu, tepatnya 12 Agustus 2003, panitia yang diketuai Harkristuti Harkrisnowo mulai melakukan pembahasan. Cukup mengagetkan, di luar anggota tim yang berasal dari Depkeh dan HAM, hanya tiga anggota panitia  yang hadir – jumlah panitia penyusunan 21 orang termasuk ketua panitia. Keputusan panitia pada hari itu, pun tak kalah kontroversial: tidak diperlukan sebuah UU yang mengatur tentang hak-hak perempuan.

 

Tulisan singkat ini akan menganalisis sekaligus menjawab satu pertanyaan: perlukah sebuah Undang-undang yang mengatur tentang Hak-hak Perempuan di Indonesia?

 

Untuk apa?

Sayangnya, dalam pembahasan panitia penyusunan RUU, tidak diperoleh informasi mengenai alasan, mengapa pembentukan RUU ini masuk dalam Propenas. Masih tidak jelas juga, pihak mana yang memasukkan agenda ini. Karena belum diketahui alasan keberadaannya, tentu saja hal ini memudahkan untuk mendapatkan argumen yang pro atas pentingnya sebuah UU yang mengatur hak-hak perempuan. Satu hal yang jelas, UU Propenas disusun di era awal reformasi. Bisa jadi, usulan ini muncul karena semangat positif untuk memajukan hak asasi perempuan yang selama Orde Baru dimanipulir dan dikesampingkan.

 

Sebaliknya, para komentator yang menggangapi tidak diperlukan sebuah UU mendasarkan diri pada beberapa argumen. Pertama, hak-hak yang secara khusus berkaitan dengan perempuan telah diatur dan hendak diatur dalam banyak peraturan perundang-undangan, termasuk di dalam UUD 1945 beserta Amandemennya.

 

Kedua, jika dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada terdapat pasal-pasal yang melanggar hak-hak atas perempuan, maka yang diperlukan adalah revisi dari produk perundang-undangan yang bersangkutan. Misalnya revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana, revisi UU Perkawinan, dan seterusnya.

Tags: