Menapaki Jalan Terjal Menuju Rekonsiliasi
Fokus

Menapaki Jalan Terjal Menuju Rekonsiliasi

Sebagai seorang petinggi Persatuan Advokat Indonesia, seyogianya Sunardi punya masa depan yang lebih baik di dunia kepengacaraan. Tetapi upayanya meminta clearance ke MPR atas dugaan keterlibatan Presiden Suharto dalam G.30.S justeru menjebloskan dirinya ke penjara. Karir kepengacaraan Sunardi tak semujur koleganya seperti Adnan Buyung Nasution.

Oleh:
Tim Redaksi
Bacaan 2 Menit
Menapaki Jalan Terjal Menuju Rekonsiliasi
Hukumonline
"Sudah setahun ini saya tidak mendapatkan klien," keluh Sunardi. Ia memang seperti teralienasi dari dunia advokat sejak dirinya dihukum 40 bulan penjara. Ironisnya, mantan Sekjen Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) periode 1977-1981 itu dijebloskan ke dalam sel bermula dari pembelaan kliennya, RM Sawito Kartowibowo.

Pandangan seperti yang diungkapkan Sunardi juga menggema dalam sebuah seminar KKR yang diselenggarakan Elsam dan Ikohi, awal September lalu. Heru Atmodjo, bekas Kolonel Udara, yang dituduh terlibat G.30.S, lantang bersuara. Sebelum KKR dijalankan, cari dulu siapa yang bersalah. Kalau pelakunya sudah jelas, dibawa ke proses hukum, baru bicara tentang rekonsiliasi.

Bukan tidak ada upaya islah dari kedua belah pihak. Ingatlah ketika sebagian ahli waris pahlawan revolusi mengadakan 'jamuan makan siang' dengan keluarga orang-orang yang selama ini dituduh sebagai dalang G.30.S. Dikabarkan mereka sudah sering bersilaturrahmi, meski luput dari pantauan publik. Sayang, semangat restoran pulau dua seperti memudar begitu saja.

Beda pendapat

Aroma pesimisme bukan hanya datang dari para korban, tetapi juga di DPR. Dalam sidang-sidang yang membahas RUU KKR, prosentase anggota Pansus yang datang sanga minim. Mereka seperti tidak serius, tidak tertarik mencurahkan perhatian lebih banyak lagi ke dalam pasal-pasal KKR. Hal itu antara lain terbukti dalam lima kali acara Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), hanya belasan anggota Dewan yang hadir dari 50-an anggota Pansus.

Kalangan LSM sendiri, yang selama ini getol memperjuangkan KKR, justeru tidak berada dalam satu suara. Simak saja pendapat mereka saat mengadakan rapat dengar pendapat di DPR beberapa waktu lalu. Robertus Robet dari YLBHI menyebut RUU KKR sudah kehilangan momentum. Rachland Nasidik dari Imparsial bahkan tegas meminta agar pembahasan RUU ditunda. Menurut Rachland tujuan rekonsiliasi dalam keadilan transisional ini tidak jelas.

Perpecahan bahkan menjalar ke lembaga-lembaga pemerintah. Dalam RDPU, Kamis (25/09) lalu, tampak jelas perbedaan pandangan antara Menkeh Yusril Ihza Mahendra dengan Marsma Suprihadi, Sekjen Departemen Pertahanan. Perbedaan mereka terletak pada pertanyaan apakah ada batas waktu atau tidak bagi upaya rekonsiliasi. Yusril menilai batasan waktu itu tidak perlu dibuat demi rasa keadilan. Sebaliknya, Suprihadi minta agar batasan kasus dan kewenangan dibuat secara tegas.

Sesuai amanat TAP No. V/MPR/2000, KKR dipandang sebagai upaya untuk memantapkan persatuan dan kesatuan nasional. Tetapi perbedaan-perbedaan pendapat telah menyebabkan keterlambatan pembahasan RUU KKR.

Perjalanan RUU KKR memang bisa disebut tertatih-tatih jika dibandingkan ketentuan mengenai pengadilan HAM. Sesuai amanat UU No. 39/1999 tentang HAM, pengadilan HAM dan KKR merupakan instrumen yang bisa dipakai untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu.

Pasal 47 UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM menentukan bahwa dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU 26 disahkan, tidak menutup kemungkinan diselesaikan lewat KKR. Komisi ini hadir sebagai lembaga ekstra yudisial. Sebagai tindak lanjutnya, Presiden Megawati sudah menyampaikan  draft RUU ke DPR sejak 26 Mei lalu.

Terhadang banyak masalah

Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam termasuk pihak yang menilai sudah ada kemajuan ke arah rekonsiliasi. Dimulai dengan upaya-upaya yuridis rehabilitasi yang dituangkan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan kepada Presiden Megawati. Lagipula, pembahasan teknis KKR sudah banyak dilakukan. Cuma, Asvi mencatat bahwa penolakan peserta Sidang Tahunan MPR untuk mencabut TAP No. XXV/MPRS/1966 menjadi satu batu sandungan baru menuju jalan rekonsiliasi.

Agung Putri dari ELSAM lebih melihat kurangnya political will Pemerintah sebagai faktor penghalang. Dukungan Pemerintah dinilai masih sangat kurang. RUU KKR justeru lebih banyak disosialisasi dan dikritisi oleh kalangan LSM. Padahal kalau saja pemerintah segera membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, maka Komisi inilah yang berperan besar menyelenggarakan fungsi rekonsiliasi dan pencarian kebenaran.

Berdasarkan RUU yang disampaikan Presiden Megawati ke DPR, masalah tuntutan hukum tidak diatur sama sekali. Jadi, berbeda dengan UU Pengadilan HAM. Komisi lebih terfokus pada pengaturan mengenai proses pengungkapan kebenaran, pertimbangan amnesti, serta pemberian kompensasi, restitusi dan atau rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban.

Cuma, ya itu tadi, fungsi ini pun bukan tanpa masalah. Menurut M. Akil Mochtar, anggota DPR yang duduk di Pansus KKR, Pemerintah juga dihadapkan pada problem pembiayaan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Mengacu pada kasus Timtim, kesulitan finansial turut mempengaruhi tidak adanya putusan bersalah yang disertai pemberian kompensasi kepada korban atau keluarganya.

Dalam kaitan ini, Agung Putri mengusulkan agar kompensasi jangan semata-mata dipandang sebagai duit. "Pengakuan bersalah dari para pelaku pun bisa dianggap sebagai 'kompensasi' bagi korban," ujarnya dalam sebuah seminar di Jakarta, awal September 2003.

Pengakuan bersalah secara tulus memang sulit. Tetapi itulah yang banyak dituntut oleh korban tragedi '65. Sejumlah organisasi yang memperjuangkan nasib korban '65 sudah mempunyai sikap tegas. Mereka menolak rekonsiliasi nasional jika tanpa pengadilan HAM, jika tanpa pencabutan TAP MPRS No. XXV/1966, dan tanpa rehabilitasi nama baik.

Dalam pernyataan sikap mereka yang dibacakan dr Ribka Tjiptaning, 6 Juni 2003, Paguyuban Korban Orde Baru dan sejumlah organisasi lain meminta agar segera dibentuk KPP HAM untuk menyelidiki fakta dalam peristiwa berdarah 1965.  

Kasus Sawito pernah menjadi isu nasional pada 1976 karena melibatkan sejumlah tokoh politik seperti Bung Hatta, Hamka dan TB Simatupang. Mereka menlemparkan gagasan perbaikan kehidupan politik. Berbeda dengan tokoh lain, Sawito diseret ke pengadilan dengan tuduhan subversi terhadap Presiden Soeharto. Pada saat perkara ini banding, Sunardi menjadi kuasa hukum.

Nah, pada saat proses advokasi itulah, demi kepentingan kliennya, Sunardi mendatangi MPR untuk meminta klarifikasi, apakah benar Soeharto terlibat G.30.S atau tidak. Alih-alih mendapatkan kepastian, ia malah dipenjara. Belakangan, Sawito telah memperoleh abolisi dan rehabilitasi semasa Presiden Abdurrahman Wahid. Sementara sang pembela, Sunardi, tak kunjung mendapatkannya (Keppres No. 93/2000).

Pria yang kini menggeluti Penyembuhan Reiki ini memang mengirimkan surat beberapa kali ke sejumlah instansi. Presiden, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung tidak memberi jawaban sama sekali. Respons positif hanya datang dari Menkeh Yusril Ihza Mahendra, yang menyurati Presiden Megawati 24 Januari 2003, meminta agar Sunardi diberi amnesti dan rehabilitasi.

Sikap instansi pemerintah yang demikian agaknya turut mempengaruhi pandangan Sunardi terhadap upaya rekonsiliasi yang kini sedang digalakan. Tidak aneh kalau ia punya pandangan miring terhadap RUU Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi. "Itu omong kosong," ujarnya dengan nada tinggi.

Tags: