Hakim, Penegak Keadilan yang Tak Elit Lagi
Edisi Lebaran 2010:

Hakim, Penegak Keadilan yang Tak Elit Lagi

“Bila ingin menciptakan pasukan elit, jangan rekrut perwira banyak-banyak.”

Oleh:
Ali/DNY/Rfq
Bacaan 2 Menit
Hakim Penegak keadilan yang Tak Elit lagi, Foto: Ilustrasi (Sgp)
Hakim Penegak keadilan yang Tak Elit lagi, Foto: Ilustrasi (Sgp)

Hakim adalah pejabat yang ditunjuk dalam hal memeriksa, mengadili perkara-perkara baik perkara perdata, pidana maupun berbagai permohonan (misalnya, praperadilan, penetapan akta kelahiran atau persoalan waris). Demikian Hakim sekaligus pejabat Humas di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Ida Bagus Dwiyantara mendefinisikan hakim. 

Ida Bagus bercerita cita-citanya sebagai hakim sudah muncul sejak muda. “Saya memang cita-citanya ingin menjadi hakim,” tuturnya. Dengan berprofesi sebagai hakim, ia mengaku bisa berbuat adil secara seimbang kepada para pihak yang sedang bersengketa. Menurutnya, pekerjaan hakim itu gampang-gampang sulit. 

Dalam beberapa perkara yang pembuktiannya mudah maka pekerjaan hakim menjadi gampang. Namun, bila ada perkara yang pembuktiannya sulit atau sangat tipis antara masing-masing pihak maka pekerjaan hakim menjadi sangat berat. “Jadi, dibilang gampang ya gampang, dibilang berat ya berat,” tuturnya. Di sinilah peran hakim sebagai penegak keadilan sangat dibutuhkan.  

Tak hanya itu, profesi hakim juga kerap dituntut memiliki kesabaran tingkat tinggi. Ia mengaku sering kesal dengan ulah para pihak yang datang terlambat atau tidak siap ketika bersidang. “Mereka itu mau seenaknya saja. Itu yang membuat kami gregetan,” tuturnya sembari mengingatkan bahwa keterlambatan pembacaan putusan sering terjadi karena ulah para pihak.

Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Nani Indrawati sependapat bahwa tugas utama seorang hakim adalah menegakkan keadilan. “Makna hakim yang paling dalam adalah memberikan keadilan,” ujarnya kepada hukumonline. Keadilan ini didistribusikan ke para pihak dalam perkara perdata serta korban maupun terdakwa dalam perkara pidana.

Nani mengatakan tugas seorang hakim memang sangat berat. “Tapi pekerjaan ini paling menarik, loh,” tuturnya. Ia mengatakan perkara-perkara yang mampir ke mejanya selalu beragam sehingga bisa bertemu dengan pihak-pihak yang berbeda. Penggunaan pasal ketika membuat putusan pun memiliki tantangan tersendiri. “Pasalnya mungkin sama, tapi pengembangannya bisa banyak,” tambahnya.

Pekerjaan sebagai hakim ini kadang bisa juga menguras perasaan. Nani mengutarakan perkara yang paling menyentuh perasaannya adalah kasus perceraian. Keputusan yang diambil menjadi berat begitu harus menentukan posisi perwalian anak yang diperebutkan ayah atau ibunya.

“Kami harus memberi pemahaman kepada anak harus terpisah dengan salah satu orangtuanya. Itu yang menyentuh perasaan,” tuturnya. Seorang hakim tentu harus adil menetapkan perwalian seorang anak.


Pasukan Elit
Dua contoh hakim di atas tentu masih beruntung karena bisa berimprovisasi menegakkan keadilan dalam perkara-perkara yang ditanganinya. Namun, di beberapa daerah, masih ada hakim yang ‘kurang beruntung’ untuk berimprovisasi. Pasalnya, perkara yang mereka tangani sangat sedikit. Para hakim ini pun berubah menjadi pengangguran terselubung.

“Bahkan ada beberapa pengadilan yang tak memiliki perkara. Padahal, ada banyak hakim bertugas di sana,” tutur Pengamat Peradilan Indonesia, Sebastian Pompe, melalui sambungan telepon, Sabtu (4/9).


Tak heran, seringkali ditemukan di beberapa pengadilan, hakimnya berleha-leha setiap hari. “Di (salah satu) Pengadilan Tinggi, mereka hanya bermain catur dan pimpong dari pagi sampai sore,” tutur Bas, sapaan akrab Sebastian Pompe.  

Menurut Bas, hal ini terjadi karena pola rekrutmen hakim yang belum jelas. Misalnya, pada satu atau dua tahun lalu, hakim yang direkrut berjumlah 500 personil. Lalu, pada tahun ini, hakim yang direkrut berjumlah 200 orang. “Ini bukan soal angka 500 atau 200, tapi ini soal pola baku yang harus dimiliki pengadilan di Indonesia,” jelas Indonesianis asal Belanda ini.

Bas mengatakan perbandingan jumlah hakim dengan jumlah penduduk selama ini harus ditinggalkan. “Seharusnya yang menjadi perbandingan adalah jumlah perkara,” tuturnya. Ia mencontohkan Selandia Baru yang hanya berpenduduk 3 juta tetapi memiliki perkara yang lebih banyak daripada Indonesia.

Lebih lanjut, Bas mengatakan lebih baik hakim sedikit yang berkualitas dibanding jumlah hakim banyak tapi menimbulkan masalah. Pasalnya, dengan jumlah hakim yang banyak, proses pendidikan calon hakim pun menjadi tidak maksimal. Apalagi, waktu pendidikan pun sangat sempit.

“Kalau kita mau menciptakan pasukan elit, jangan merekrut perwira banyak-banyak,” sindir Bas.

Dahulu, Indonesia pernah memiliki hakim-hakim yang berkualitas sekaliber Asikin Kusuma Atmaja atau Bismar Siregar. Bila kondisi ini terus berlangsung, harapan kita dapat melihat Asikin-Asikin atau Bismar-Bismar muda akan semakin menjauh.

Tags:

Berita Terkait