Pengawasan Reklamasi dan Pasca Tambang Lemah
Utama

Pengawasan Reklamasi dan Pasca Tambang Lemah

Banyaknya izin tambang yang dikeluarkan tidak diimbangi dengan kemampuan pendataan yang baik sehingga pemda kesulitan mengawasi.

Oleh:
MVT
Bacaan 2 Menit
Pengawasan Reklamasi dan Pasca Tambang Lemah. <br>Foto: Sgp
Pengawasan Reklamasi dan Pasca Tambang Lemah. <br>Foto: Sgp

 

Aspek reklamasi dan pasca tambang sangat penting dalam praktik pertambangan. Kegagalan menjalankan dua hal ini berakibat buruk bagi lingkungan yang ujungnya berdampak pada masyarakat dan penggunaan uang negara untuk mengatasinya. Sayangnya, koordinasi dan perhatian pemerintah masih minim dalam memastikan pelaku usaha memenuhi reklamasi dan pasca tambang ini.

 

Demikian disampaikan Dyah Paramita, peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dalam konferensi pers Hasil Penelitian Potret Reklamasi dan Pasca Tambang Indonesia, di Jakarta, Selasa (31/5). Soal koordinasi pemerintah, Dyah mencontohkan tidak adanya koordinasi antara Kementerian ESDM dengan Kementerian Kehutanan.

 

Dyah mengatakan, hal ini berkaitan dengan penentuan keberhasilan proses reklamasi. Dalam PP No 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang, pelaku usaha harus menyerahkan dana jaminan reklamasi tambang paling lambat 30 hari sejak rencana reklamasi disetujui Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota. Dana ini dikembalikan jika proses reklamasi dinilai selesai.

 

Namun, tidak ada ketentuan mengenai mekanisme audit keberhasilan proses reklamasi itu. Pemegang IUP Produksi dan IUPK Operasi Produksi dapat mengajukan pencairan dana jaminan itu ketika menganggap reklamasi sudah dilakukan. Untuk tingkat pusat, pencairan ini berdasarkan persetujuan Kementerian ESDM. Sayangnya, ulang Dyah, tidak ada koordinasi dengan Kementerian Kehutanan.

 

Hal ini dapat dipahami, kata Dyah, karena Peraturan Menteri Kehutanan No P.04/MENHUT-II/2011 tentang Pedoman Reklamasi sendiri tidak mengatur jelas mekanisme pelepasan (pengembalian) dana jaminan reklamasi di kawasan hutan. “Karena itu, banyak reklamasi tambang di daerah hutan yang sebenarnya bermasalah,” katanya.

 

Dyah mencontohkan hasil penelitian ICEL di daerah pertambangan di Samarinda, kalimantan Timur. Dari sekitar 1,4 juta hektar lahan terbuka, sekitar 839 ribu hektar belum direklamasi. “Artinya proses reklamasi belum berhasil,” katanya.

 

Pernyataan ini didukung Carolus Tuah, peneliti lingkungan dari Pokja 30 Samarinda. Menurutnya, banyak lokasi tambang terbuka berupa lubang raksasa berdiameter ratusan meter dengan kedalaman lebih dari seratus meter.

Tags: