Yusril Gugat Jaksa Agung ke PTUN
Berita

Yusril Gugat Jaksa Agung ke PTUN

Jaksa Agung menggunakan acuan UU Keimigrasian yang sudah mati untuk mencekal Yusril selama satu tahun.

Nov
Bacaan 2 Menit
Mantan Menteri Kehakiman Yusril Ihza<br> Mahendra. Foto: SGP
Mantan Menteri Kehakiman Yusril Ihza<br> Mahendra. Foto: SGP

Mantan Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra tidak terima dirinya dicekal dengan menggunakan surat keputusan yang keliru. Oleh karenanya, Yusril dan penasehat hukumnya, Senin (27/6), mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Dimana, dalam surat gugatannya, Yusril mendudukkan Jaksa Agung Basrief Arief sebagai tergugat karena menerbitkan Surat Keputusan benomor Kep-195/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 24 Juni 2011.

 

Dalam surat keputusan itu, Jaksa Agung meminta Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi mencekal dirinya sampai satu tahun ke depan. Dari tanggal 26 Juni 2011 sampai tanggal 26 Juni 2012. Namun, dasar yang digunakan Jaksa Agung untuk mencekal Yusril tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Tengok saja, kata Yusril, Jaksa Agung mendasarkan pada UU No 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian yang sudah mati dan tidak berlaku lagi.

 

Kemudian, Jaksa Agung mendasarkan pula pada ketentuan Peraturan Pemerintah No 30 Tahun 1994 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pencegahan dan Penangkalan (cekal) serta Peraturan Jaksa Agung nomor PER-010/A/J.A/01/2010 tentang Ketentuan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Jaksa Agung untuk melakukan Pencegahan dan Penangkalan. Yang mana, apabila mengacu pada ketentuan Pasal 142 dan Pasal 143 UU No 6 Tahun 2011 aturan-aturan itu sudah tidak berlaku lagi.

 

UU No 6 Tahun 2011

Pasal 142

c. semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Keimigrasian yang bertentangan atau tidak sesuai dengan Undang-Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 143

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara  Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3474) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.

 

Dengan demikian, semua ketentuan yang dijadikan Jaksa Agung sebagai dasar untuk mencekal Yusril itu sebenarnya sudah tidak berlaku lagi karena bertentangan dengan UU No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. “Karena, dalam UU No 9 Tahun 1992, Jaksa Agung dapat mencekal tanpa batas waktu. Tapi, di UU No 6 Tahun 2011, jelas dikatakan bahwa maksimum masa pencekalan itu hanya enam bulan dan saya dicekal satu tahun,” katanya.

 

Yusril melanjutkan, “malangnya lagi surat (permohonan cekal) yang nyata-nyata salah itu malah dilaksanakan oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Patrialis Akbar”.  Sehingga, mantan Menteri Kehakiman ini menegaskan Jaksa Agung dan Menkumham telah berbuat bodoh, zalim, dan mempertontonkan kesewenang-wenangannya.

 

Tidak hanya itu, dalam pertimbangan lainnya Yusril juga menganggap Jaksa Agung keliru. Karena, dalam surat itu disebutkan bahwa pencekalan Yusril dibutuhkan dalam rangka mendukung operasi yustisi pada tahap penyidikan. Padahal, sebagaimana diketahui, sejak Januari 2011 lalu Kejaksaan Agung telah menyatakan lengkap (P21) perkara Yusril. Untuk itu, kini perkara Yusril bukan lagi dalam tahap penyidikan. Dengan sejumlah kekeliruan itu, Yusril menantang Jaksa Agung untuk menghadapi gugatannya di PTUN. “Tidak usah diwakilkan, saya tantang Jaksa Agung untuk berargumentasi di PTUN,” tuturnya.

 

Atas gugatan Yusril tersebut, Wakil Jaksa Agung Darmono menyatakan gugatan itu tidak berdasar dan siap menindaklanjutinya. Darmono tidak terima jika dikatakan pihaknya keliru menggunakan UU No 9 Tahun 1992 sebagai dasar untuk mencekal Yusril. Menurutnya, meski UU No 6 Tahun 2011 sudah disahkan, UU Keimigrasian itu belum berlaku selama peraturan pelaksanaannya belum dibuat.

 

Karena, sesuai ketentuan Pasal 143 UU No 6 Tahun 2011, UU No 9 Tahun 1992 dan peraturan pelaksanaanya belum dicabut selama belum ada peraturan pelaksanaan baru. Dan, untuk membuat peraturan pelaksanaan itu, sebagaimana ketentuan Pasal 144 UU No 6 Tahun 2011, diberi waktu paling lambat satu tahun. “Sehingga, karena belum ada pengganti peraturan pelaksanaan, UU No 9 Tahun 1992 ini masih tetap dipedomani,” kata Darmono.

 

Senada dengan Darmono, pihak Kementerian Hukum dan HAM juga tidak mau dikatakan keliru karena telah mengabulkan permohonan cekal Yusril. Sekretaris Ditjen Imigrasi Muhammad Indra menyatakan berdasarkan ketentuan peralihan dalam UU No 6 Tahun 2011, selama belum ada peraturan pelaksanaan yang baru, UU No 9 Tahun 1992 dan peraturan pelaksanaannya masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU Keimigrasian yang baru.

 

“Kami sedang dalam proses penyiapan PP, dimana kami diberi waktu satu tahun. Kan ini belum satu tahun,” ujarnya. Kemudian, meski Menkumham memiliki hak untuk menolak permohonan cekal apabila tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, Indra mengatakan, “tentunya itu dikaji lebih awal. Kewenangan kami hanya melaksanakan permintaan cekal dari lembaga penegak hukum, seperti Kejaksaan Agung”. Namun begitu, apabila nantinya Yusril juga menggugat pihak Kementerian Hukum dan HAM, Indra mengaku siap untuk berargumentasi di Pengadilan.

 

Yusril memang mengisyaratkan akan ada langkah selanjutnya untuk Menkumham Patrialis Akbar. Guru Besar Hukum Tata Usaha Universitas Indonesia ini menganggap Menkumham telah melakukan perbuatan melawan hukum karena mengabulkan permintaan cekal yang keliru. Padahal, berdasarkan ketentuan Pasal 94 UU No 6 Tahun 2011, Menkumham dapat menolak permohonan cekal apabila tidak memenuhi persyaratan seperti tidak ada foto dan lamanya waktu dicekal.

 

“Kalau Menteri Hukum dan HAM tahun ini dicekal setahun (tidak sesuai dengan ketentuan UU No 6 Tahun 2011), mestinya dia menolak melaksanakannya,” tukasnya. Walau dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum, Yusril tidak lantas mengikutsertakan Menkumham dalam gugatannya ke PTUN. Karena, Menkumham hanyalah pejabat pelaksana cekal. Sementara, keputusan Jaksa Agung telah bersifat individual, konkrit, dan final karena tidak harus menunggu persetujuan dari Menkumham.

 

Untuk itu, “tunggu saja langkah selanjutnya. Karena, gugatan ini di PTUN, bukan surat keputusan Patrialis yang kami persoalkan. Dia cuma pejabat pelaksana saja, cuma melaksanakan sesuatu yang salah. Dan, itu soal lain saja, itu perbuatan melawan hukum,” terang Yusril.

 

Tags: